Aku Pergi

92 24 41
                                    

"Dan jika menjauh adalah keputusan terbaik, maka akan kulakukan meski hati ini melemah tatkala menjauh dari bagiannya."

Khaerunnisa Indah Paramitha

🥀🥀🥀

Lagi, hujan turun begitu saja dengan derasnya tanpa permisi. Membuat orang-orang yang tengah berjalan kaki mendadak berhamburan mencari tempat berteduh, tak terkecuali dengan Nisa, gadis itu tak peduli akan guyuran air hujan yang membuatnya basah kuyup.

Tak ada yang ia lakukan selain menangis bersama hujan, semesta mengetahui perasaannya saat ini.

"Sakit banget, Ya Allah ...." Lirihnya. "Apa ini, Ya Allah? Apakah ini jawaban dari keraguanku selama ini?" Sesekali, ia mendongak ke atas langit yang hitam itu yang sepertinya belum puas meluapkan isi hatinya.

Akibat terlalu larut dalam kesedihannya, sampai-sampai ia tak tahu ada lubang yang tak terlalu dalam di depannya, alhasil gadis itu tersungkur dan meringis kesakitan.

Tak lama, seorang gadis dengan mengenakan pakaian serba putihnya itu menghampirinya. Lalu, mengulurkan tangannya. "Kakak, ayo bangun!" Sontak, ia mendongak ke atas, gadis itu melemparkan senyuman ke arahnya. "Ayo, Kak Nisa."

Dengan terpaksa ia menerima uluran tangan tersebut dan berdiri, sesaat ia terdiam tatkala melihat wajah perempuan yang berada di depannya.

Nisa pun memegang kedua pipinya, dan menunjuk perempuan itu, rupa mereka hampir mirip. "Siapa kamu?!"

Gadis itu tersenyum, hujan yang sedari tadi turun dengan derasnya mendadak terrhenti semenjak gadis ini datang. "Aku Alena, Kak. Bener, 'ya, kata Kak Firman, kita berdua hampir mirip!" Benar, dia Alena, lalu ia memeluk Nisa. "Tapi kamu lebih cantik, Kak!"

"A--Alena? Alena adiknya Mas Firman?"

"Iya, Kak, ini aku Alena Raquellena Abimanyu, anak bungsu dari keluarga Abimanyu dan adik kesayangannya Kak Firman." Ia melepaskan pelukannya, itu.

Masih tidak percaya Nisa menampar kedua pipinya, hasilnya ia masih bisa melihat Alena yang ada di depannya.

Lagi, gadis itu melemparkan senyuman manisnya melihat tingkah Nisa. Namun, senyuman itu tak bertahan lamanya lantaran dirinya mengingat sesuatu. "Kak Nisa, maafin bunda, 'ya? Maaf, karena bunda udah bikin Kak Nisa sakit hati banget dan lepasin cincin itu." Gadis itu meraih kedua tangan Nisa lalu menggenggamnya.

Nisa menggeleng. "Nggak papa kok, Len, lagipula apa yang dikatakan ibu memang bener."

"Nggak, Kak! Itu bukan bunda, aku tau benar sifat bunda seperti apa. Kak, tolong ... tolong jangan pergi dari hidup Kak Firman, hanya Kak Nisa yang mampu mengobati lukanya, Kak, hanya Kakak." Gadis itu menangis sembari bersimpuh padanya, sontak Nisa mencegah Alena melakukan itu padanya.

"Lena, maafin aku. Aku harus melakukan ini demi kebaikan keluarga kalian, demi kesehatan Pak Hendra juga, Nisa nggak mau beliau kenapa-napa lagi hanya karena Nisa,"

"Asal kau tau, Kak, ayah sangat menyayangimu dan Kak Firman membutuhkan sosok seperti dirimu, Kak Nisa ...."

Nisa tersenyum tipis, lalu menepuk kedua lengan Alena. "Maaf, Alena, aku nggak bisa ngelanjutin ini. Aku nggak akan sanggup melawan restu orang tua."

Gadis dengan kerudung instan hitamnya itu baru saja meneteskan air mata meskipun tengah tak sadarkan diri. Melihat itu, Rena langsung membantu menghapusnya dengan jari telunjuknya.

"Perempuan malang dengan catatan kesehatan yang buruk, ah ... kalau saja kau tidak merebut dia dariku, aku tak akan melakukan hal sekeji itu." Ujarnya sembari membelai lembut kepala Nisa yang tertupi oleh kerudungnya.

"Kau spesial, sampai-sampai Hendra turun tangan sendiri untuk menanganimu. Kau beruntung, Nisa."

"Tapi, keberuntunganmu tak akan bertahan lama karena sebentar lagi kau akan mati. Alena liatlah, dia bernasib sama sepertimu!" Kelakarnya, lalu tertawa.

Sepulangnya Rena dari rumah sakit, ia tak sengaja melihat Nisa pingsan di trotoar. Tak ada siapapun di sana, hanya Nisa dan dirinya. Hal itu membuatnya lebih leluasa untuk membawa Nisa ke rumahnya.

"Bedanya, jika Alena dibunuh, maka kau sendiri yang membunuh dirimu sendiri. Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan cepat, tetapi dengan mati perlahan."

Sementara itu di Cianjur, Andra yang tengah mencari korban gempa yang masih tertimbun tanah seketika terdiam tatkala melihat sesosok perempuan dengan baju merahnya. "Nisa? Kamu di sini?"

"Itu Shely, bukan Nisa, Bang," sahut seorang pria yang ada di sebelahnya.

Benar, begitu ia menampar pipinya penglihatannnya kembali normal. Bukan Nisa, tapi Shely yang tengah menenteng tandu. Di sini, entah mengapa ia mendadak gelisah tanpa sebab, tiba-tiba saja ia sangat merindukan adiknya itu. "Nisa, kamu harus baik-baik aja, 'ya? Jangan buat kakak khawatir lagi ...."

"Bang Andra, ayo kita ke sana!" Ajak Shely, hanya dibalas dengan anggukan Andra.

Hari kian senja, mentari pun kian tenggelam di ufuk barat menampilkan lautan jingga yang terbentang di atas sana.

Bu Ani, wanita paruh baya itu sedari tadi mondar-mandir di depan teras sembari menggegam ponselnya. Berkali-kali ia menghubungi putrinya, namun hasilnya nihil.

Tak lama, Firman datang bersama dengan Diga. "Di kampus juga nggak ada, Bu, kata Pak Mun, beliau tidak melihat Nisa hari ini." Ujar Firman setelah bersalaman.

"Di restoran juga, bahkan Nisa sudah mengundurkan diri semenjak kejadian di kafe itu," timpal Diga.

Bu Ani menatap mereka berdua dengan penuh kekhawatiran, air matanya sekarang menjadi saksi betapa paniknya seorang ibu sekarang. Selang beberapa menit, sebuah notifikasi yang berasal dari ponsel Firman terdengar, sontak pria itu membaca sebuah email yang baru masuk tersebut.

Akan kubuat Nisa seperti Alena malam ini juga. Tidak usah panik, tenang ... akan saya kembalikan Nisa, tapi dalam keadaan sudah tak bernyawa.

"Kenapa, Man? Pesan dari siapa itu?" Tanya Diga penasaran melihat ekspresi Firman yang sangat ketakutan.

Pria itu menatap Bu Ani dan Diga secara bergantian. "N--Nisa dalam bahaya."

Mendengarnya, wanita paruh baya itu langsung syok dan terkulai lemas, beruntung Diga dengan sigap menangkap tubuh Bu Ani dan mendudukkannya di kursi.

"Ya Allah, Nisa ...."

Firman bersimpuh di depan wanita paruh baya itu dan menggenggam tangannya. "Ibu, jangan khawatir, Firman akan mencari Nisa sampai ketemu, dan membawa Nisa dalam keadaan baik-baik saja. Itu janji Firman pada Ibu." Ucapnya yakin sembari menghapus air mata Bu Ani.

"Ati-ati, 'ya, Nak. Doa ibu selalu menyertai kalian di manapun kalian berada. Tapi tolong, jangan beritahu Andra, 'ya, Man? Ibu nggak mau pekerjaannya terganggu hanya karena adiknya," lirih Bu Ani.

"Iya, Bu. Kalau begitu, kami pamit. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam ...."

"Apa ini ada hubungannya dengan Rena dan David? Apapun itu, aku harus segera menemui mereka." Batin Diga.

Di perjalanan, situasi sangat menegangkan ditambah dengan Firman yang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Ia tak peduli, keselamatan Nisa lebih utama saat ini menurutnya.

"Nisa, tunggu saya. Bertahanlah, Khaerunnisa Indah Paramitha."

"Man. Kendalikan dirimu, Man! Istighfar! Pikirkan juga keselamatanmu!" Teriak Diga yang menyusulnya, tetapi justru pria itu menaikkan kecepatannya.

"Saya tidak ingin terluka yang kedua kalinya. Olehnya saya tidak boleh terlambat."

***

To be next continue ....

Luka Yang Terobati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang