"Segala sesuatu yang berasal dari hati dan ketulusan, akan sampai juga pada hati sang penerimanya."
Adiga Maheswara Pandjaitan
🥀🥀🥀
"K--Kak Andra." Baru kali pertama ia membuka matanya tanpa kehadiran siapapun, biasanya selalu disambut oleh senyuman Andra dan perawat yang ada di sana.
Tiba-tiba jantungnya berdebar sangat kencang hingga membuat dadanya terasa panas, ia meringis kesakitan. Berkali-kali matanya mengerjap. "K--Kak Andra ...." Pasokan oksigen di sekitarnya kian menipis, dadanya sangat sakit sekarang. Sementara tangan kanannya mencoba meraih gawai yang ada di atas nakas, tangan kirinya pun mencengkram dadanya kuat-kuat.
"Astagfirullahal'adzim, Nisa!" Pekik Firman yang baru saja masuk ke dalam ruangan dan kedapatan melihat Nisa yang terjatuh dari brankarnya.
Jatuhnya Nisa bersamaan dengan jatuhnya sebuah figura foto hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras, sampai-sampai figura itu sudah tak berbentuk lagi. Tak ada hujan, maupun angin, figura yang terpajang dengan rapih jatuh begitu saja dari dinding seolah akan memberi kabar buruk bagi penghuni rumah ini. Beberapa saat seorang wanita paruh baya menghampirinya.
"Ya Allah, opo meneh iki? Mengapa perasaanku semakin ndak enak, 'yo? Apa sebaiknya sekarang ke Jogja aja?" Batin Bu Ani. "Lindungi anak-anak hamba di manapun mereka berada, Ya Allah ...."
Andra yang baru kembali setelah membeli beberapa keperluannya di luar dikejutkan dengan perawat yang keluar masuk dari ruangan adiknya berada, seolah tak ada beban, ia menjatuhkan tas belanjaannya tadi dan segera berlari menghampiri ruangan adiknya.
"Maaf, Pak, untuk sementara Anda tidak boleh masuk dulu," cegah salah seorang perawat.
"Tapi kenapa, Sus? Kenapa?! Adik saya kenapa?!" Cecar Andra.
"Saat ini keadaan pasien mendadak drop lagi, diduga karena jatuh dari ranjangnya. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan adik Anda. Saya permisi."
Bak disambar petir, kaki Andra lemas begitu saja seolah kakinya tak lagi mampu menahan tubuhnya. "Nisa, kamu udah janji bakal nggak kenapa-napa lagi, tapi apa ini, Dek? Kamu harus kuat melawannya, ayo segera buka mata indahmu."
"Kak Andra? Kak Andra, Nisa di mana?!" Seorang perempuan dengan kerudung pashminanya itu berlari menghampiri dirinya, lantaran pertanyaannya tak digubris sama sekali oleh Andra, Zera pun memberanikan dirinya untuk melihat ke dalam ruangan melalui jendela. Tampak para tenaga medis tengah berusaha menyelamatkan nyawa seseorang yang ia kenal, yang tidak lain dan tidak bukan, ialah Khaerunnisa Indah Paramitha.
"N--Nisa ada di dalam, K--Kak?" Kini, senyuman di bibirnya berubah menjadi tangisnya. "Nggak! Itu pasti bukan Nisa, 'kan, Kak?"
"Kenapa diam aja, Kak?!"
Andra mengangguk. "Iya, Zer, sahabatmu ada di dalam."
"Bu Guru, ayo kamu pasti bisa, katanya kamu pengen cepet wisuda, 'kan? Ayo, biar bareng-bareng foto make baju toga," lirih Zera dengan air matanya yang tiada hentinya mengalir membasahi pipinya. Kini, netranya tertuju pada pria yang terduduk di lantai. "Kak, bangun, yuk? Nisa di dalam lagi berjuang, sekarang tugas kita berdoa untuknya dan nggak boleh kayak gini." Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Andra bangkit. "Ayo, Kak."
"Kak, aku yakin Nisa itu perempuan yang kuat, dia nggak akan nyerah gitu aja kalau tujuannya belum tercapai. Ayo, Kak." Perkataan Zera ada benarnya, kali ini ia menerima uluran tangan Zera dan berdiri meskipun kakinya masih terasa lemas untuk menopang tubuhnya sekarang.
Setelah hampir satu jam lamanya Nisa bertarung dengan mautnya sendiri, seorang pria dengan jas putihnya itu keluar bersamaan dengan para perawat. Dengan tatapan dan senyuman kebahagiaan, lalu ia memeluk Andra.
"Bagaimana keadaan Nisa sekarang, Man? Dok?!"
Firman melepaskan pelukannya itu dan menatap Andra, ia mengangguk penuh arti. "Alhamdulillah, kondisi Nisa sudah stabil, Mas, dia sudah baik-baik saja sekarang."
"Alhamdulillah, Ya Allah!" Syukur Zera.
Lagi, Andra memeluk Firman. "Makasih, Dok, makasih banyak."
"Berterima kasihlah kepada Allah, Mas, karena berkat pertolongan-Nya, Nisa bisa terselamatkan,"
"Terima kasih, Ya Allah ...."
Untuk sesaat, kakak benar-benar menyesal telah meninggalkanmu, membiarkanmu kesakitan sendirian. Dan mengira bahwa kau tak akan kembali, jika itu terjadi aku tidak akan memaafkan diriku sendiri atas kesalahanku yang satu ini.
Malam ini, The Fragavidma baru berkumpul lagi setelah sekian lamanya. Sederet makanan telah tersaji di atas meja mereka, namun hanya bisa ditatap saja karena menunggu Firman datang.
"Vid, Lo udah bilang sama Firman, 'kan?" Tanya Brama memastikan.
"Udah kok, cuma tadi sore tuh dia nangani pasien darurat. Selebihnya, gue nggak tau,"
Setelah hampir setengah jam lamanya mereka menunggu, akhirnya sang pemeran utama hadir di tengah-tengah mereka bertiga. Tanpa merasa bersalah, pria itu menyengir kuda. "Maaf, Bro, lama, 'ya?
"Nggak kok, cuma sebentar," jawab Brama dengan senyumannya yang mencemooh. "Saking sebentarnya cacing gue udah pada demo minta gue turun jabatan." Timpal pria berambut gondrong itu.
"Itu cacing apa tikus berdasi, Bar?" Sarkas David.
"Udah, udah, ayo makan. Lambungku butuh asupan," ucap Diga.
"Maaf, ya, Bro," kekeh Firman seraya menatap ketiganya. "Wah, gudeg. Terima kasih kalian, tau aja kalau lagi pengen," imbuhnya, lalu meraih sepiring gudeg untuknya.
"Yoi. Btw, gimana kondisi Nisa, Man?" Tanya Diga.
"Alhamdulillah, kondisinya sudah stabil sekarang. Dia perempuan yang kuat," jelasnya, tak terasa bibirnya melengkung membentuk bulan sabit.
"Tandain, Guys! Kalau Firman bahas Nisa pasti dia selalu senyum," kelakar Brama yang berhasil membuat kedua pipinya memerah.
"Wadoh, kamu bener, Bram. Liat aja pipinya memerah," cibir David bersamaan dengan pecahnya tawa mereka berempat.
"Sepertinya Nisa akan memenangkan hatimu, deh, Man. Buktinya, untuk pertama kalinya dalam sejarah kamu salah tingkah ketika membicarakan Nisa," ungkap Diga. "Bisa dibilang, jatuh cinta pada pandangan pertama. Benar begitu, Dok?" Entahlah, pertanyaan dari Diga membuatnya terdiam seribu bahasa, pasalnya perkataan Diga benar bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Diem berarti setuju, AKHIRNYA TEMEN GUE ADA YANG MAU SOLD OUT JUGA! DAN THE FRAGAVIDMA NGGAK JOMBLO SEMUA!" Seru Brama, saking semangatnya sampai-sampai ia tersedak. Mereka sengaja memilih rumah Diga sebagai tempat makan malam karena lebih leluasa, itulah sebabnya Brama bebas meluapkan isi hatinya.
"Hahaha, mampus!" Ejek David.
"Air, mana air?!" Tak tega melihat temannya menderita, Firman pun mengambilkan segelas air putih untuk Brama.
"Ya Allah, punya temen gini amat, tapi nggak papa gitu-gitu juga membanggakan," gerutu Diga kekehan kecil terdengar di ujung pembicaraan.
"Setelah sekian lama mencari pelipur lara untukmu, akhirnya ketemu juga melalui perantara Gunung Ungaran. Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah mengembalikan sahabatku yang satu ini," batin Diga. "Mari kita lihat bagaimana kisah ini akan berjalan kedepannya,"
~~~
"Bukan apa yang kami miliki (harta dan jabatan) hingga bisa bertahan sampai sekarang, melainkan sebuah kepercayaan yang masih dipegang dengan tegak tanpa goyah sedikitpun. Percaya bahwa kita saling menunjukkan jalan kebenaran dan saling mengisi kekurangan dalam diri kita, itulah definisi sahabat sejati yang sebenarnya."
~ The Fragavidma ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang Terobati (END)
General Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] The Fragavidma dikejutkan dengan penemuan seorang pendaki yang tak sadarkan diri di lembah hantu, ternyata mempunyai wajah yang serupa seperti mendiang Alena. Namun, siapa sangka pertemuan itulah justru menjadi awal lembaran...