Resmi Secara Agama dan Negara

79 10 0
                                    

"Takdir selalu punya cara untuk mempersatukan kita. Kini, kapal kita tengah berlayar di lautan lepas dengan tujuan yang jelas mengarungi samudra."

✨✨✨

"Mas Andra, Nisa kenapa?!"

"Ayah, Ibu, tolong katakan Nisa kenapa?"

Dari raut muka mereka, dapat dilihat dengan jelas jawaban yang akan dilayangkan padanya. Manik yang silau akibat air mata yang tertahan di sana.

"Dokter Firman? Kau sudah datang? Segera temui istrimu, dia sedang menunggumu di dalam," ucap Riri yang baru saja keluar dari ruangan itu. Sama seperti yang lain, ekspresi yang sama ditunjukan oleh Riri, selaku Dokter yang memeriksa Nisa.

Begitu mendengar hal tersebut, pria itu bergegas masuk dan menghampiri Nisa. Ia meraih tangan yang dingin itu dan meletakkannya pada dadanya.

"Kau merasakannya, Nisa?"

"Separuhnya itu ada dalam dirimu, Nisa, olehnya saya nggak ingin kamu pergi. Kamu harus bertahan, 'ya, sayang?"

Firman tersenyum, memejamkan matanya, hingga terlelap di samping istrinya.

Buram, pandangannya sangat buram. Ia tak bisa melihat dengan jelas tempat di sekelilingnya. Merasakan genggaman dari seseorang, berusaha untuk menggerakkan jarinya dengan sekuat tenaga.

"K--K--ak ...." lirihnya. Dengan suaranya yang seperti itu, ditambah dengan masker oksigen yang masih melekat mustahil untuk didengar siapapun.

Gerakan jari Nisa di dalam genggaman membuatnya terbangun. "Nisa? Kamu sudah sadar?"

Seorang pria, pria yang selama ini dicintainya. Dia ada di hadapan matanya, sekaligus menjadi sosok yang pertama yang ia lihat setelah bangun dari tidur panjangnya. Ia dapat melihat dengan jelas sosoknya itu.

"M--Mas Firman ...."

"Iya, ini saya, Nisa. Saya di sini, dan akan tetap begitu."

"Nisa sebenarnya udah siuman daritadi, Man. Saya udah jelasin semuanya tentang itu." Andra tiba-tiba muncul dari balik pintu, menghampiri mereka berdua dengan senyumnya yang merekah.

"Mas Firman ... maafkan aku, maafkan atas kesalahanku selama ini." lirih Nisa.

Pria itu menggeleng sembari mengeratkan genggamannya. "Ini salah saya, Nisa, kamu nggak perlu meminta maaf."

✨✨✨

Empat bulan telah berlalu semenjak Nisa keluar dari rumah sakit. Kini, tempatnya berpulang bukan lagi pada rumah kecil nan lapuk, melainkan rumah mewah dengan orang-orang yang sangat menyayanginya di sana.

Perempuan dengan busana adat Solo putri hijab itu tengah bersiap, hari ini adalah hari yang paling ditunggu bagi setiap perempuan bagaimana tidak? Ia akan resmi menikah dengan sang pujaan hatinya.

Bibir merah merekah dengan sempurna membentuk lengkungan begitu melihat bayangnya di cermin, kelopak matanya dengan perpaduan riasan yang indah membuatnya begitu asing dengan wajahnya saat ini.

Alunan gending Jawa yang semenjak kemarin menemani rangkaian sebelum akad pun masih terdengar jelas di indera pendengarnya sampai ia bersahabat dengan alunan-alunan itu.

"Masya Allah, De, kamu pangling banget!  Cantiknya istri Pak Dokter ...." puji Andra.

"Kak, aku terbang iniloh," kekeh Nisa.

Akad nikah dilaksanakan di kediaman mempelai wanita. Sampailah di suatu titik, di mana adalah saat-saat mendebarkan. Kondisi jantungnya sudah berdetak tak karuan, berkali-kali buliran beningnya hampir luruh tak terbendung, beruntung Zera dan Maretha selalu mendampingi Nisa apapun yang terjadi sampai-sampai masih sempat melawak.

Luka Yang Terobati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang