Usai

136 15 47
                                    

"Jangan pernah terlalu berharap berlebihan pada manusia, karena ujungnya akan membuatmu sakit."

Pagi ini, tampak seorang gadis tengah bersiap-siap di depan kaca. Kemeja putih, lengkap dengan kerudung pashmina hitam yang menjulur menutupi dadanya, serta polesan di wajahnya yang sedikit lebih tebal daripada biasanya. Tinggal sentuhan terakhir yang membuat penampilannya sempurna.

"Dek, ini jasnya udah ibu setrika. Ibu bantu pakein, 'ya?" tawar Bu Ani yang masuk dengan membawa jas hitam.

"Boleh, Bu, monggo ....."

Sempurna. Kalimat yang bisa dideskripsikan dari seorang Nisa tatkala Bu Ani memakaikan jas hitam pada anak bungsunya.

"Masya Allah, Dek, kamu cantik banget hari ini!" seru Bu Ani. "Tapi kamu yakin pergi sendirian, Dek? Ibu khawatir kamu kenapa-napa di jalan,"

Nisa mengangguk yakin. "Iya, Bu. Lagian, nanti di kampus ada Zera,"

Tanpa aba-aba, tiba-tiba anak bungsunya itu langsung memeluk dirinya. "Maafin Nisa kalau selama ini banyak salah, 'ya, Bu. Maaf ... kalau selama ini udah menjadi beban kalian."

Bu Ani membelai pelan punggung Nisa. "Udah Ibu maafin kok, Dek, nggak papa."

"Titip salam buat Bapak sama Kak Andra, 'ya, Bu. Nisa takut kalau ngga bisa nemuin mereka lagi ...."

"Pasti, Nak, nanti ibu sampein, 'ya."

Seolah ini adalah pelukan terakhir, Nisa enggan melepaskan tautannya. Dirinya merasa, mataharinya akan redup. Begitu juga dengan kejadian semalam yang ia alami. Ia bersyukur masih bisa bernapas hingga detik ini, meski ia menahan sakit itu.

"Dah, gih, sana berangkat nanti telat, loh." Bu Ani melepaskan pelukannya.

"Nisa berangkat, 'ya, Bu. Doain semoga lancar, Assalamualaikum." Tak lupa pula mencium kening dan punggung tangan sang ibu seperti yang Nisa lakukan selama ini. Melenggang keluar dengan langkahnya yang berat.

"Ibu, maafin Nisa kalau setelah ini Nisa nggak kembali lagi."

Sesaat, ia menghentikan langkahnya, berbalik memandangi rumah dengan cat birunya. Di sana, rupanya Bu Ani juga tengah berdiri di teras menatapi dirinya sembari melambaikan tangannya.

"Doakan Nisa, 'ya, Bu."


"Kamu yakin mau pergi sekarang, Man?" tanya Pak Hendra dengan keraguannya.

"Iya, Ayah. Mungkin ini yang terbaik, lagian cuma beberapa bulan di sana. Kondisi ayah belum sepenuhnya pulih, untuk itu izinkan Firman mewakili ayah,"

"Jika itu yang kamu mau, pergilah, Nak. Kamu harus yakin, 'ya? Kalau dirasa memaksa, jangan dipaksa, lebih baik jangan diteruskan," ujar pria dengan kacamatanya itu.

Firman mengangguk mengerti. "Siap, Ayah. Doakan Firman, 'ya."

"Pasti. Titip salam buat Pak Menkes, ya? Kamu nggak mau nunggu bunda dulu?"

"Tidak, Ayah. Firman mau pergi sekarang saja. Titip salam untuk bunda, Assalamualaikum." Firman pergi dengan menyeret koper keluar dari rumahnya.

Luka Yang Terobati  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang