2. Dunia Deborah

5.7K 925 18
                                    

Jatuh dari ranjang ternyata bisa sangat menyakitkan.

Mati-matian aku menahan dorongan untuk melolong dan menangis. Pinggang terasa sakit. Nyeri! Selama beberapa saat aku memilih telentang tanpa melakukan apa pun kecuali menatap langit-langit.

“Tiga, seharusnya kamu memberiku peringatan terlebih dahulu sebelum menjatuhkanku,” gumamku dengan nada suara lirih.

Setelah berhasil mengumpulkan tenaga, aku bangkit secara perlahan dan mulai melakukan pengamatan.

Ruangan yang serbaasing.

Ranjang mungil dengan kasur yang amat tipis. Sekali rebahan di sana saja pasti memicu rematik. Selimut putih motif daun musim gugur teronggok di dekat kaki ranjang. Berbeda dengan hunianku yang beralaskan keramik, di sini lantai terbuat dari kayu. Ada satu meja. Bukan meja belajar, melainkan meja biasa tanpa laci. Meja itu pun diletakkan di pojok ruangan, dekat lemari berpintu ganda. Di dekat meja ada dua kardus. Begitu kudekati ternyata kardus tersebut berisi buku dan peralatan tulis.

Cahaya menyeruak masuk melalui jendela. Tirai putih berayun pelan ketika angin berembus masuk. Meja dan sebuah kursi plastik. Pasti cukup melelahkan belajar di sini. Aku menemukan tumpukan buku pelajaran, sebuah cermin, kalender, dan kaleng berisi spidol serta pensil warna. Ransel hitam bersulam bunga tergeletak di bawah jendela.

Benar-benar....

Kamar Deborah sempit! Selain sempit aku juga tidak menemukan poster maupun foto yang biasanya ada dalam suatu kamar pribadi. Pasti Deborah anak yang membosankan hingga tidak memiliki minat tertentu terhadap hal-hal yang berbau remaja.

Bagaimana aku yakin tengah menempati kamar Deborah?

Mudah! Tiga, kan, sempat memberitahuku mengenai misi menjadi Deborah. Pasti sekarang yang kutempati ini merupakan kamar Deborah.

“Seperti apa wajah Deborah, ya?”

Aku pun meraih cermin. Di dalam cermin ada sesosok gadis berambut hitam dengan mata biru. Sebagaimana tokoh sampingan, tampilan Deborah biasa saja. Bukan jenis cewek yang akan membuat orang berlama-lama menatapnya. Suara Deborah pun jauh dari kata merdu. SIAL dia sama sepertiku! Kami berdua biasa saja.

Kemudian aku melihat seuntai kalung melingkari leherku. Pengingat bahwa hidupku hanya akan berlanjut bila Kafka bersedia mencintaiku sebesar lima puluh persen!

“JAMBU!” umpatku dengan segenap kekuatan dendam kusumat.

***

Rumah yang Deborah tempati hanya dihuni oleh tiga orang; dia, Kafka, dan Stefanie—nenek kandung Deborah. Deborah tidak memiliki orangtua. Ayah Deborah kena gagal ginjal, sementara ibunya memilih melarikan diri ke ibu kota. Jelas wanita itu tidak peduli sama sekali dengan putrinya.

Lalu, seperti apakah suasana rumah yang dihuni oleh Deborah Noola?

Secara singkatnya keluarga Noola bisa dibilang berasal dari kalangan menengah. Stefanie memiliki usaha berupa toko buku. Penghasilan yang ia peroleh cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan Deborah. Apalagi mereka hidup di kota terpencil, jauh dari hingar-bingar metropolitan.

Rumah bertingkat dua. Tidak terlalu besar. Memiliki tiga kamar tidur, dapur merangkap ruang makan, satu kamar mandi, dan ruang tamu. Di sana juga ada halaman yang ditanami beberapa petak sayuran. Gambaran mengenai rumah impianku; tidak besar, tidak banyak pojok yang perlu dibersihkan, dan sejuk.

Lantas apa posisi Kafka di keluarga Noola?

Kafka Smith memiliki latar belakang yang rumit. Dia terpaksa dititipkan kepada Stefanie karena permasalahan intern dalam keluarga besar Smith. Ada beberapa oknum yang menghendaki kematian Kafka supaya leluasa memonopoli kerajaan bisnis Smith. Orangtua Kafka meninggal karena intrik jahat, sementara Gwen Smith—kakak perempuan Kafka—berusaha melindungi adiknya dengan cara mengirimnya keluar dari medan pertempuran.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang