15. Aku Bukan Itik Buruk Rupa

4.1K 869 33
                                    

Sepanjang perjalanan pulang dari pasar malam, Kafka terus menggandeng tanganku. Entah berapa kali bunyi penambahan kuota membuat telingaku berdenging sakit. Rasa-rasanya aku seperti tengah berada di awang-awang. Terasa tidak nyata!

Bukan hanya dering bel penambahan kuota saja yang membuat diriku kelimpungan, melainkan komentar Tiga.

[Target sedang senang. Bagus!]

[Cepat cium pipi Target!]

[Aaaah kenapa kamu tidak bisa membaca suasana hati Target? Dia ingin kamu menempel ke lengannya!]

[Kamu sepolos itukah hingga tidak berani mengambil inisiatif? Cium pipi woey!]

[Sudahlah, aku menyerah. Pantas saja kamu jomlo seumur hidup.]

... dan begitulah. Ocehan Tiga mengenai Kafka menjadi topik utama. Dia persis komentator drama romantis yang gemas dengan perjalanan tokoh utama. Andai bisa, pasti Tiga akan membenturkan kepalaku dan kepala Kafka lalu berteriak, “Kiss! Kiss! Kiss!”

Kucing satu itu seleranya perlu dipertanyakan.

Hanya ketika aku sampai di rumah; sudah mandi, berganti piama, dan rebahan di kasur; barulah melakukan pengecekan terhadap jumlah kuota. Liontin berbentuk hati kini menampilkan cairan merah muda—warna yang akan selalu mengingatkanku pada cinta pertama. Aku mengusap permukaannya sekali dan muncullah angka keemasan. 46.

Selama beberapa saat aku tidak sanggup merespons maupun sekadar berteriak. Angka itu terlalu asing sekaligus tidak nyata. 46. Hanya tinggal empat poin lagi, maka aku bisa menyelesaikan misi.

Air mata hangat mengalir. Jantungku berdegup kencang. Aku ingin bertanya, “Apa benar diriku diizinkan hidup?”

Tidak ada hal khusus selain ingin menjalani hidup sebagaimana mestinya. Aku tidak ingin mengulang rutinitas menjenuhkan. Dulu aku hidup demi kepentingan orang lain; entah keluarga ataupun rekan kerja. Sekarang aku ingin berusaha menjalani hidup dengan seratus persen tekad. Sekalipun tidak menjadi bagian dari kaum glamor, yang hidupnya serbamudah, aku takkan merasa kekurangan.

Aku ingin hidup dengan tubuh tegak, siap menghadapi tantangan. Dulu diriku berada di bawah naungan orang-orang berparas menarik. Kafka bilang bahwa itu bukan satu-satunya yang bisa membuatku merasa cocok di suatu tempat. Aku tidak harus menyesuaikan diri terhadap suatu standar kecantikan. Wajahku, wajah Deborah, yang tidak dianggap menarik oleh siapa pun ini bisa mengantarku ke gerbang kehidupan.

Kali ini aku tidak ingin hidup dengan rasa bersalah terhadap diri sendiri.

***

Kejadian ini mungkin sudah berlangsung sangat lama. Dulu sekali.... Ketika aku masih duduk di bangku SMA dan mengira bahwa pengalamanku akan amat indah sesuai dengan manga shoujo yang selama ini kubaca di persewaan.

Akan tetapi, hidup tidak seindah penggambaran mangaka. Milikku tidak menyenangkan. Orang melabeliku sebagai si buruk rupa, orang menjijikkan, dan tidak pantas mendapat perhatian.

Betapa mengerikan lingkungan SMA. Cewek berkulit putih selalu dianggap menarik, tidak peduli kelakuan mereka sesuai standar moral atau tidak. Asal mereka mengenakan seragam ketat, memakai kaus kaki dan sepatu keren, menggunakan liptint maupun bedak padat yang dipulas berkali-kali ... mereka adalah angsa di dunia sekolah.

Cewek mendukung cewek? Huh bisa terjadi, tapi tidak jarang “cewek menyakiti cewek”. Kasusku, ya. Aku selalu mempertanyakan kualitas diriku. Apakah yang meyebabkan mereka, anak SMA, begitu jijik terhadapku? Aku tidak pernah naksir dan melirik cowok orang lain. Tidak pernah ikut bergosip. Tidak pula membocorkan rahasia suatu perkumpulan anggota geng cewek keren. Namun, tetap saja aku mendapat diskriminasi.

Suatu kali seorang cewek bernama Nopia berkata kepadaku, “Hidungmu tuh amit-amit, menjijikkan.”

Setelahnya Nopia tertawa seolah komentarnya mengenai hidungku sangat lucu. Tidak ada yang memperingatkan Nopia bahwa omongannya mengenai fisikku itu amat jahat. Mereka semua menganggap tindakan Nopia sebagai hal yang wajar, lumrah.

Nopia cewek keren. Dia memakai seragam ketat, rambut lurus karena rebonding, hidung ditindik, dan gemar mengoleksi syal mahal. Tidak ada yang menilai Nopia salah sekalipun dia korupsi uang sekolah yang diberikan oleh orangtuanya untuk membayar buku. Dia bisa selalu mengatakan kepada orangtuanya mengenai biaya ini dan itu. Mereka akan selalu memercayai Nopia.

Berbeda denganku. Aku si jelek dan pantas tidak memiliki teman.

Hidungku jelek.

Aku jelek.

... sekarang itu semua tidak akan lagi mengekangku.

Kafka berhasil mencairkan sedikit ketidakbahagiaan yang mengendap dalam diriku. Aku ingin belajar mencintai diriku sendiri. Aku percaya aku bisa!

Nopia salah. Aku bisa menikmati hidup sekalipun hidungku jelek!

***

Acara ulang tahun sekolah telah usai. Kami kembali dipaksa kembali ke realitas: Belajar.

Tidak banyak hal yang membuatku merasa amat lelah selain tugas, tugas, dan tugas. Adapun sedikit penyegar di kala kerontang ialah, informasi mengenai Nathan Black. Dia berhasil menjadi salah satu model MV penyanyi cewek yang sedang naik daun. Vidio mengani Nathan Black yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam pun membuat jantung cewek-cewek dipompa energi dahsyat. Apalagi ketika adegan Nathan Black berbaring di atas tumpukan kelopak mawar merah.

Aku tidak berani bergibah mengenai betapa ganteng dan kerennya Nathan Black di hadapan Kafka. Bisa-bisa dia ngambek dan menolak memberiku kuota cinta. Kan sayang! Tinggal sedikiiiiiiit lagi.

Oleh karena itu, demi mempercepat proses kenaikan kuota aku pun rela mampir ke kelas Kafka. Biasanya aku akan disambut oleh pacar Angela atau Angela sendiri. Tidak jarang aku mendapat pelototan kesal dari cewek-cewek, tapi....

Hmmm maaf saja. Hidupku di ujung tanduk. Tanpa Kafka, aku mati! Mati sungguhan!

Kafka, anehnya, bersedia menemuiku. “Apa?”

“Makan bareng, yuk?” ajakku dengan nada manja. “Lapar. Kamu jajanin aku. Oke?”

Kafka menyenderkan kepala ke pintu dan tersenyum. “Mulai ngelunjak.”

“Kan aku nggak punya uang jajan sebanyak kamu,” ucapku membela diri. “Ganteng deh kalau mau subsidi nutrisi agar aku tumbuh seksi.”

“Oke.”

Kafka pun bersedia mengamini permintaanku.

Sepanjang perjalanan menuju kantin semua mata terarah kepadaku.

Koreksi, semua mata tertuju kepada Kafka. Apalagi ketika berpapasan dengan geng Siena. Tidak mau rugi, aku pun sengaja melingkarkan tangan ke lengan Kafka dan menyenderkan kepala di sana. Nyehehehe kekuatan tidak tahu diriku memang sedang tinggi.

Diva dan Siena seperti orang kebakaran jenggot. Mereka pasti ingin menghajarku, tapi takut dengan keberadaan Kafka. Yakin deh mereka tidak ragu menamparku berkali-kali.

“Kamu keberatan kepalakah?” Kafka meletakkan telunjuk ke pelipisku dan mulai mendorong kepalaku. “Sampai nggak bisa berjalan dengan benar?”

“...” Aku tarik ucapanku. “Kafka, sedang ingin pamer.”

“Kamu nggak takut kena pukul?”

“Aku tinggal ngadu ke kamu tuh ehehehe.”

Tentu saja aku tidak berlama-lama menempel kepada Kafka. Cukup sadar diri. Kartu VIP tidak bisa digunakan selamanya. Bisa-bisa Kafka jijik dan ogah dekat-dekat denganku.

Oh indahnya jadi pemegang kartu VIP. Ahahahahaha.

Selesai ditulis pada 23 Maret 2023.

Kafka ingin mengatakan sesuatu.

Kafka: 🙂

P.S: Hehehe maaf Deborah sedikit telat terbit. Ingin fokus menamatkan Baby Kayla. Ehehehehehe.

P.S: I love youuuuuuuu, teman-teman! MUAH. MUAH. MUAH.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang