Cukup merepotkan memperbaiki kesalahpahaman di antara kami. Ya maksudku aku, kan, tidak bisa menepis pesona Nathan Black. Semua cewek pasti sependapat denganku bahwa Nathan Black itu ganteng. Sialan sih si Kafka muncul di saat aku tengah melakukan tindakan normal seorang fans semacam memuji, berharap bisa bertemu secara langsung, dan sebagainya. Dih aneh deh. Biasanya juga Kafka tidak pernah mampir ke kelas, tumben sekali dia muncul.
Oke, oke, oke. Total kuota yang kumiliki sekarang sekitar tiga puluh lebih sedikit. Waktu yang kumiliki juga tidak banyak. Lagi pula, begitu ujian semester genap, lalu ujian akhir kelulusan ... oh aku bisa mati.
Oleh karena itu, aku mencoba merayu Kafka dengan cara mengajaknya berkunjung ke pasar malam yang di adakan di alun-alun. Untung saja Kafka tidak bicara, "Kenapa nggak ngajak Nathan, huh?" Menolak dan membuatku menangis. Untung dia tidak melakukan ITU!
Pukul lima sore kami berangkat menuju alun-alun. Aku mengenakan celana jins, kaos putih, dan cardigan bermotif bunga. Kafka hanya mengenakan celana jins hitam dan kaos lengan panjang. Sekalipun hanya memakai pakaian biasa, aura bangsawan masih melekat pada diri Kafka. Terbukti dari cara setiap cewek yang curi-curi pandang dan tersenyum genit.
Bayangkan sepanjang perjalanan aku merasa seperti kaktus yang bersanding di dekat Yang Mulia Kafka?! Kerontang, saudara-saudara. Bahkan ketika sampai di tempat pun lirikan nakal masih saja terarah kepada Kafka.
"Kenapa sih mereka melototin kamu terus?" celotehku tidak terima merasa dipandang sebelah mata. "Padahal aku, kan, juga ingin ... hmmm ya sudah, tidak apa-apa."
"Apa gunanya diperhatikan oleh ribuan orang kalau kamu hanya perlu satu orang saja yang setia kepadamu?"
DEG. Sontak aku berhenti melangkah.
Kami berdua sedang berdiri di depan komedi putar. Musik bernada ceria mengalun pelan diiringi tawa dan suara teriakan yang berasal dari permainan tong setan.
"Asal ada satu saja orang yang benar-benar paham mengenai dirimu," kata Kafka sembari memasukkan kedua tangan di saku celana. "Itu lebih dari cukup, bukan?"
"Bukankah lebih enak bila diperhatikan oleh banyak orang?"
"Kenapa kamu perlu banyak orang agar merasa eksis di dunia ini, Deborah?"
"Karena aku takut kesepian," jawabku, jujur.
Barangkali karena pengaruh dead line mengumpulkan kuota dan betapa tipis benang kehidupan yang sekarang menjagaku tidak jatuh ke dalam kematian, maka aku merasa begitu tidak berdaya. Orang lain bisa hidup sekian tahun dengan pencapaian, sementara aku merasa tertinggal dan tidak memberi kontribusi apa pun terhadap dunia ... bahkan diriku sendiri.
Aku ingin menjadi pribadi yang mudah disayangi dan dicintai oleh siapa pun. Namun, penampilanku terlalu buruk di mata orang lain hingga rasa-rasanya tidak pantas mendapat cinta sepeser pun. Ada orang yang tidak perlu berusaha menjadi sesuatu karena dia memiliki wajah cantik ataupun tampan. Bahkan sekalipun mereka-orang-orang berpenampilan menarik-tidak pintar, ceroboh, dan bersifat buruk; orang-orang selalu menoleransi dan memberikan maaf. Berbeda dengan orang sepertiku yang harus membuktikan diri cuma untuk dianggap sebagai bagian dari kelompok.
Bagaimana mungkin aku tidak iri?
Bagaimana mungkin aku tidak cemburu?
Bahkan makhluk seperti Tiga pun memiliki rekan. Tidak sepertiku; terkucil, kecil, dan buruk.
"Deborah, kamu nggak semungil itu hingga harus merasa kerdil."
"Kamu bisa bicara seperti itu karena sedari lahir segalanya ditumpahkan ke pangkuanmu," serangku. Gumpalan bara mulai menekan dada, membuat jantung berdegup kencang, dan suaraku pun tertekan oleh dorongan ingin menangis. "Semua orang pasti memujimu, sementara aku? Bahkan ketika kita berdua berdiri berdampingan pun peranku hanya sampingan saja."
"Apa buruknya jadi peran sampingan? Deborah, kamu tahu aku nggak pernah menganggapmu seperti itu."
Aku menggeleng, menahan luapan air mata yang menuntut ditumpahkan. Memang bukan salah Kafka, tetapi perasaan menyakitkan milikku ini memang kurang ajar.
"Kafka, aku takut lenyap. Takut dilupakan. Takut tertinggal sendirian. Rasa-rasanya aku seperti gelembung yang bisa meletup kapan saja. Sakit sekali."
"Kemari," pinta Kafka sembari menunjuk dadanya, "jangan sampai orang mengira aku menolakmu lho."
Aku ingin menangis sekaligus tertawa. Perasaan yang bergejolak dalam dadaku saling bersaing dan membuatku kewalahan. Alhasil aku tanpa ragu menghambur ke pelukan Kafka, membenamkan wajah ke dalam dadanya dan membiarkan kecemasan meleleh seperti salju yang tersentuh cahaya pertama musim semi.
DING! DING! DING!
Denting nyaring kini tidak lagi membuatku penasaran. Sekarang yang kuinginkan hanya menyerahkan diri pada kenyamanan yang Kafka berikan. Aku ingin beristirahat dalam pelukan Kafka, seperti ini, selamanya.
"Kamu nggak sendirian," ujar Kafka. "Ada Nenek dan aku."
"Jangan bohong, Kafka Smith!"
Kafka terkekeh dan membuat diriku ingin menghajarnya.
"Semua orang pasti pernah merasa kesepian, Deborah. Nggak aneh. Kamu bisa mencoba meminta tolong kepadaku ketika hal seperti ini terjadi lagi."
"Hormon remaja kadang meresahkan," aku membela diri, tidak terima dituduh cengeng. "Kamu, kan, seharusnya tahu bahwa cewek bisa marah dan menangis ketika hormon mengambil alih!"
"Deborah, hubungan kita...."
"Ya?" Aku menarik diri, mendongak, dan menatap Kafka.
"Sudahlah. Sekarang kita bisa mencoba bersenang-senang."
***
"AAAAAAAA!"
Sudah kuduga Kafka itu lebih setan daripada Nathan Black. Sudah kuduga.
"Aaaaa jangan mendekat!"
Sesosok wanita bergaun merah dengan rambut berantakan tengah tersenyum. Ada darah di bibir dan kedua tangannya yang pucat. Padahal dia hanya duduk di kursi goyang dan melambaikan tangan, tetapi itu saja cukup membuatku ketakutan.
Tanpa ragu aku memeluk Kafka, membenamkan wajah ke pelukannya, dan menangis seperti anak kecil kehilangan permen. "Buhuuuuu aku takut! Kafka, tolong kamu saja yang membimbing. Aku tidak berani melihat mereka. Buhuuu kenapa kamu harus memilih rumah setan sih? Aaaaaa jangan panggil aku! Jangan panggil aku!"
Ding! Ding! Ding!
Tidak lama kemudian terdengar suara Tiga.
[Wah kemajuan. Sudah kuduga kontak fisik memang efektif.]
Sialan! Aku ingin menyeret Tiga dalam kubangan penderitaan dan membiarkannya merasakan betapa LUAR BIASA menyaksikan setan yang terus saja berusaha membuatku kena serangan jantung.
[Ayo coba cium jakunnya, Sayang. Siapa tahu kuota cintamu jadi lima puluh.]
THE HELL! Aku paham Tiga penggemar genre dewasa, tapi tidak seharusnya dia menyuruhku melakukan pelecehan! Ini saja andai aku tidak terjebak di rumah setan, sudah pasti....
Oh terdengar tawa wanita yang melengking nyaring.
"Buhuuu Kafka, kapan kita keluar? Kapan?"
Aku terseok mengikuti arahan Kafka. Mengikuti: Membiarkan Kafka menyeretku ke mana pun asal bisa keluar secepatnya dari rumah setan!
[Sebaiknya kamu melihat keadaan sekitarmu. Hei, sepertinya dia sengaja mengarahkanmu ke sudut yang banyak menampilkan hantunya. Cerdas sekali Target ini.]
SETAN!
"Kafka, tolong kita keluar. Keluar!" teriakku dengan suara serak. "Aku berjanji akan membuatkan cokelat hangat di rumah nanti! Janji!"
"Cokelat? Aku bisa beli sendiri."
Tiga: [...]
Suara kikik mengerikan pun makin membahana. Saat aku mengintip, sepasang mata semerah darah balas menatapku.
[Berjuanglah.]
... dan semangat Tiga sama sekali tidak membantu.
"AAAAAA KAFKA!"
Selesai ditulis pada 15 Maret 2023.
Kafka ingin berbicara.
Kafka: ☺ 😏
KAMU SEDANG MEMBACA
PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)
FantasySalah satu petugas isekai memberiku misi mengumpulkan kuota cinta dari Male Lead. Berhubung pilihan hanya ada dua, hidup atau mati, maka aku pun menerima tantangan. Jangankan menaklukkan Male Lead, Villain pun akan kuterjang asal diberi kesempatan h...