8. Yang Kuinginkan

4.3K 891 19
                                    

Ada banyak hal yang kusyukuri ketika menjadi Deborah. Terlalu banyak hingga rasanya perasaan yang mekar dalam dadaku bisa meledak kapan saja karena terlalu senang. Hidup dalam kemiskinan itu tidaklah menyenangkan; ada banyak mimpi yang mati demi kepentingan keluarga, mengalah agar saudara lain bisa mengenyam kehidupan lebih baik dengan harapan sanggup mensejahterakan keluarga, dan merasa tidak memiliki peluang.

Di rumah, tempat yang seharusnya memberiku suaka, justru membuatku tercekik. Orangtua bertengkar di depan anak. Masalah ekonomi selalu menjadi pemicu utama. Ibu yang merasa muak dengan sikap suaminya yang lebih mementingkan rokok daripada perut keluarganya. Ayah yang merasa tidak memiliki hiburan selain rokok. Tipe lelaki yang hanya berpangku tangan saja setiap kali ada masalah. Lantas anak-anak yang menerima dampak terburuk dari pertikaian yang disulut oleh salah satu orangtuanya.

Sekolah pun menjadi neraka kedua setelah rumah. Andai punya uang, maka anak-anak bisa memilih sekolah yang baik; toilet bersih dan air kerannya berfungsi, pengajar profesional, perpustakaan yang menawarkan bermacam bacaan, dan peserta didik dengan sikap bagus.

Orang miskin tidak bisa memilih. Kalaupun ada pilihan, maka itu pastilah terbatas. Mengejar mimpi yang ujung-ujungnya demi menarik keluarga dari sumur kemiskinan. Anak sedari dini mendapat suntikan wejangan dari orangtua perihal kewajiban. Itu harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, bila tidak karma akan jatuh dan menyeret si anak ke neraka tujuh lapis.

Anak adalah investasi. Kadang aku tidak bisa mengesampingkan rasa takjub ketika mendengar secara langsung ucapan orang dewasa kepada anak-anak; “Nanti kalau kamu sudah besar, kamu harus belikan ibu bapakmu rumah bagus, mobil, dan pakaian.” Seolah yang menasihati telah menjalankan kewajibannya sebagai orangtua saja. Kenyataannya ketika anak-anak menangis karena satu dua hal, tidak jarang orang dewasa terpelatuk kemudian memarahi anaknya di depan umum. “Kenapa kamu nggak bisa seperti temanmu?” Tidak jarang antara satu anak dengan anak orang lain pun dijadikan adu perbandingan. Seakan ketika orangtua menyudutkan ketidaksempurnaan si anak kecil, maka itu akan menjadi pemicu kesadaran—jenis kesadaran berdasar standar orang dewasa bahwa anak kecil harus patuh dan memahami kesulitan orang dewasa.

Ironisnya anak-anak tersebut akan tumbuh sebagai orang dewasa. Mereka membawa masa lalu seperti jiwa kedua, menyeretnya ke mana pun, dan perlahan lupa bahwa ada luka yang perlu dirawat dan dipulihkan. Anak kecil yang belum sembuh lukanya ini terpaksa menghadapi realitas; bekerja demi memenuhi ego orangtua, hidup sembari bertahan dari tuntutan masyarakat, kemudian masa muda indah yang seharusnya mekar pun layu.

Aku pun memiliki luka masa lalu. Seperti hantu yang takkan bosan mengingatkanku pada kegagalan, keputusasaan, dan betapa tidak berdayanya diriku. Setiap kali bercermin dan melihat wajahku ... hanya kebencian yang bisa kurasakan. Benci pada diriku, benci pada ketidakmampuanku, dan ... kadang aku berpikir tidak sanggup menjalani hidup walau sehari saja.

Akan tetapi, Tiga memberiku kesempatan baru. Aku yakin sekalipun diriku hancur dan rusak, pasti ada sesuatu bagiku. Pasti ada seseorang yang memang diciptakan untukku. Sekalipun bukan Kafka, mungkin seseorang tengah menanti diriku. Aku ingin memercayainya. Aku HARUS meyakini harapan masih ada untukku.

Oleh karena itu, aku menolak menyerah. Aku ingin mencoba mencintai diriku sendiri. Aku ingin merasa pantas dicintai.

... untuk mewujudkan keinginanku, harus dimulai dengan cara menangkap kuota cinta.

Kafka, tidak bisakah kamu sumbangkan seluruh kuota cinta agar aku bisa hidup lebih lama?

***

Stefanie memotong bolu kurma. Selain berkebun dan membaca, hobi yang ia miliki ialah memasak. Sedikit banyak aku belajar beberapa hal mengenai dapur. Berbeda dari ibu kandungku yang hobi mengataiku tidak berguna dan gagal menjadi perempuan, nenek Deborah justru menyemangatiku ketika gagal melakukan sesuatu dengan kalimat penyejuk rohani: “Tidak masalah. Kuemu masih bisa dimakan kok.”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang