Tidak ada waktu untuk air mata. Jangankan memohon Kafka mengembalikan foto Nathan kepadaku, yang ada dia merengut kemudian berkata, “Deborah, waktu kita semakin terbatas. Bukankah seharusnya kamu belajar pendalaman karakter agar bisa mementaskan Penyihir Emilia dengan sempurna?”
SCRAM! Andai Tiga tidak ikut campur, maka sudah pasti aku tidak perlu repot belajar seni peran secara otodidak. Untung otak Deborah lumayan encer. Dialog dan akting tidak terlalu menakutkan. Mungkin Tiga ada sangkut pautnya dengan kemampuan tambahanku dalam area seni peran. Kucing yang satu itu sangat menyukai dunia novel dewasa. Berani taruhan semua penerima isekai yang Tiga bawahi pasti dikirim ke dunia novel plus! Entah plus drama, darah, atau uhuk uye!
Hahaha sepertinya aku harus berterima kasih karena Tiga tidak menyuruhku menjadi salah satu tokoh dalam novel erotis. Bisa-bisa aku muntah darah karena tidak sanggup menyelaraskan moral dan nyawa.
Aduh akan kuabaikan Tiga. Dia tidak penting! Sekarang yang jauh lebih penting daripada kepo terhadap kegiatan Tiga, lebih baik aku menyegerakan pengumpulan kuota cinta. Semenjak kejadian foto Nathan, Kafka makin dingin.
Ketika makan bersama, dia diam saja. Saat aku minta tolong diajari menyelesaikan PR, dia justru bilang, “Kan ada Nathan. Kenapa nggak minta tolong ke dia saja?” Kampret dong Kafka ini. Nathan ada di ujung dunia sana, sementara aku di kota terpencil. Ibarat kutu dan merak. Aku takkan mungkin bertemu dengan antagonis yang satu itu!
Kafka ngambek sampai acara pentas. Orang-orang sibuk mempersiapkan penampilan drama, sementara aku ingin menangis karena memikirkan tidak bisa melewati usia delapan belas tahun. Alhasil aku semakin iba dengan karakter yang kuperankan. Penyihir Emilia juga mati. Dia tidak bisa mewujudkan keinginannya dan sekarat di tangan pria yang ia cintai.
Terkutuklah hidup yang timpang ini!
“Deborah, siap?”
Aku mengangguk kepada Pak Thomas. Siap tidak siap, pertunjukan siang ini harus selesai. Lagi pula, Stefanie rela meliburkan diri dari toko buku demi menonton pertunjukkan drama di sekolah. Sekarang aku akan menampilkan Penyihir Emilia. Kostum dan riasanku telah sempurna. Bahkan anak-anak pun memamerkan dua jempol untuk penampilan “menakutkanku”.
Sangat berbeda dengan Angela. Dia terlihat sangat cantik dan menawan. Persis putri dalam dongeng. Jenis yang akan dilindungi oleh siapa pun.
Selama pentas tidak ada gangguan sama sekali. Kami berkutat dengan kewajiban masing-masing. Hanya sesekali aku tersentak karena melihat Kafka yang benar-benar mewakili pangeran. Bahkan semua cewek kelimpungan karena merasa detak jantung mereka semakin cepat dan butuh pertolongan.
Aku tidak terlalu kesulitan menghadapi Kafka di panggung. Tentu saja dong! Bagiku dia Howl, bukan Kafka.
Musik mengiringi setiap adegan. Kadang mendayu, kadang riang. Sesuai dengan adegan.
Lalu, tibalah di puncak akhir cerita.
Aku bersimpuh, mencengkeram jubah Kafka, dan berkata, “Kenapa Anda tidak bisa mencintaiku?” Air mata mengalir, tumpah, membasahi pipi. “Saya bisa mengorbankan segalanya bagi Anda, termasuk nyawa.”
“Pangeran,” Angela memanggil, “jangan sampai tertipu bujuk rayu iblis.” Dia melingkarkan tangan ke lengan Kafka. Suaranya terdengar bergetar seolah angin bisa saja meniup habis seluruh dirinya saat itu juga. “Dia hanya ingin memanfaatkan Anda.”
“Penyihir, mengapa engkau begitu menginginkan diriku?” tanya Kafka, dingin. Ujung pedang kini terarah kepadaku, tepat di atas jantungku. “Selama ini satu-satunya yang kaupahami hanyalah dirimu sendiri.”
“Oh Tuanku,” ratapku sembari meneteskan air mata, “hanya engkau yang kuinginkan. Tidakkah bunga akan layu bila matahari berhenti mencurahkan sinar kepadanya? Sama sepertiku, aku pun akan layu dan mati. Hanya engkau yang sanggup membebaskanku dari derita.”
“Dahulu engkau mengancam akan menghancurkan segala yang kusentuh, Penyihir!” Kafka maju selangkah. “Bagaimana bisa aku memercayai ucapan abdi iblis?”
“Bila jatuh cinta merupakan dosa,” ucapku sembari menggenggam bilah pedang. “Maka, biarkan aku mati sebagai bukti atas pengabdianku. Tanpamu seluruh hutan akan menjadi penjara jiwaku. Oh jiwa ini telah lama mati. Tanpamu, Tuanku.”
Kematian. Betapa tipis batas antara hidup dan mati. Milikku seperti seutas benang yang bisa putus kapan pun. Hanya Kafka saja yang bisa menyelamatkanku. Hanya dia seorang. Namun, kini dia mulai membuat batas yang takkan mungkin sanggup kulewati.
“Tuan,” ratapku dalam isak tangis, “engkau boleh mengabaikanku. Namun, ingatlah. Yang kurasakan itu nyata. Cintaku, hasratku, bahkan keinginanku agar tetap bisa berada di sampingmu. Jangan jadikan diriku sebagai pendosa. Tolong, Tuan....”
Sekarang seharusnya Kafka mundur dan kembali kepada Angela. Lalu, aku akan merangsek maju, menyerang Angela, dan saat itulah Kafka menghunuskan pedang—mengakhiri kehidupan penyihir.
Akan tetapi, adegan itu tidak terjadi. Alih-alih berbalik, Kafka justru menyarungkan pedang dan meraupku.
“WAAAAAAAA!” seru para penonton.
Mereka terkejut ketika menyaksikan pangeran mendaratkan kecupan di dahi penyihir. AAAA DAN PENYIHIR ITU AKUUUUUUU!
Ding! Ding! Ding!
Denting penambahan kuota cinta berdentang nyaring. Aku tidak bisa fokus! AAAAA OTAKKU!
“Jiwamu milikku, Penyihir.” Kafka tersenyum simpul. Di kedua matanya terlihat kilatan api yang membuatku merinding. Aku hendak mundur, melarikan diri, tapi Kafka menahanku di tempat.
AAAA INI TIDAK SEPERTI YANG TERTULIS DALAM TEKS!
“Pa-Pangeran....” Semua kata pun lenyap. Aku kehilangan kemampuan mengolah huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan ... seseorang seharusnya menyadarkan Kafka!
“Maafkan aku, Putri.” Kafka meraupku, membopongku seolah aku seringan bulu. “Penyihir ini berhasil mencuri hatiku.”
Angela pun mulai berimprovisasi. “Oh Pangeran, bila itu yang engkau harapkan. Maka, akan kudoakan kebahagiaan bagi kalian berdua.”
NO. NOOOO! Drama kacau! Salah!
Para penonton yang awalnya melongo pun kini menyuarakan dukungan seakan akhir cerita yang berbeda dari cerita aslinya jauh lebih bagus. Adapula yang meneriakkan dukungan: “Aku mendukung akhir Pangeran dan Penyihir!”
Musik pun mengalun. Nada-nada romantis membuat setiap orang menangis. Perlahan tirai pun diturunkan, menyembunyikan kami bertiga di balik layar.
Kepalaku pasti mengepul. Aku yakin ada asap yang membumbung tinggi karena otakku kepanasan. Saat Kafka menurunkanku pun semua energi hidup milikku belum kembali.
“Deborah, sadar. Sadar!”
Suara Angela terdengar jauh sekaligus dekat. Dia mengipasiku, memberiku udara.
Pak Thomas menyuruh seseorang memberiku air. Aku sampai tersedak gara-gara tidak sengaja bersitatap dengan Kafka. Kali ini dia tersenyum dan membuatku salah tingkah.
[Bagus. Target puas!]
Biasa. Tiga muncul di saat aku kebakaran jenggot.
[Jangan menyerah! Sebentar lagi kamu bisa memenuhi kuota dan ingat, ingat, hidup!]
Persetan dengan kuota! Jantungku sepertinya akan meledak! Kafka berbahayaaaaaaa!
Selesai ditulis pada 10 Maret 2023.
Kafka: Apa salahku?
KAMU SEDANG MEMBACA
PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)
FantasySalah satu petugas isekai memberiku misi mengumpulkan kuota cinta dari Male Lead. Berhubung pilihan hanya ada dua, hidup atau mati, maka aku pun menerima tantangan. Jangankan menaklukkan Male Lead, Villain pun akan kuterjang asal diberi kesempatan h...