6. Deep Talk

4.3K 875 13
                                    

Seharian melakukan kegiatan dari pagi sampai sore membuatku terserang kelelahan. LELAH BUKAN MAIN. Iya, semua kegiatan merayu-bujuk-tangkap ada sangkut paut dengan campur tangan Tiga. Petugas isekai satu ini menganggap diriku perlu bantuan. Dia sama sekali tidak mempertimbangkan mengenai etis atau tidaknya suatu tindakan. Sekalipun dunia yang kutempati merupakan rekaan dari seseorang, tetapi bukan berarti nilai moral yang selama ini kuyakini lantas kandas begitu saja.

Orang lain mungkin akan dengan senang hati melakukan berbagai perbuatan demi mencapai tujuan sekalipun hal yang mereka pilih jelas salah. Aku tidak bisa. Kuota cinta yang kuperoleh haruslah bersih. Kecuali kepepet, aku takkan melakukan pelet. (Padahal aku juga tidak tahu cara melakukan pelet.)

Sampai di rumah rasanya benar-benar payah. Aku merebahkan diri di ranjang, abai bahwa masih mengenakan seragam, dan membiarkan tubuh telentang seakan aku ini bibit bunga yang siap menyerap cahaya matahari.

Aku menyentuh liontin, mengusap beberapa kali dengan ibu jari, dan memperhatikan cairan yang tadinya hanya berisi beberapa tetes kini tampak jelas.

“Tiga,” panggilku menggunakan suara lirih.

Tidak perlu menunggu lama. Tiga langsung menyahut. Dia tidak memperlihatkan diri alias aku hanya bisa mendengar suaranya saja yang seolah berbicara langsung—merasuk ke kepala.

[Hei, aku sudah membantumu seharian ini!]

“Terima kasih,” ucapku setengah hati. Kulepaskan liontin, membiarkannya membentur tulang selangka, dan memejamkan mata. “Maaf ya, pasti repot mengurusku seharian ini.”

[Sadar, ya?]

Kucing yang satu ini suka sekali bicara sarkas.

Meskipun Tiga menjengkelkan, aku tidak berani membantah. Hidup. Aku ingin bisa hidup. Deborah memiliki segala yang kubutuhkan; Stefanie yang memedulikan pendidikan cucunya, tidak ada utang yang perlu kutanggung, akses ke pendidikan yang jauh lebih baik daripada kehidupan milikku, dan masa depan.

Masa depan? Sebagai diriku yang asli, aku tidak memilikinya. Masa depan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Bagiku masa depan telah lama padam. Yang ada bagiku hanyalah rutinitas mengumpulkan uang demi membiayai hidup milik orangtua dan adik lelakiku. Orangtuaku rela berutang demi membiayai sekolah adikku. Mereka pikir anak lelaki jauh lebih berharga daripada anak perempuan.

Oleh karena itu, aku terpaksa memenuhi segala tuntutan dan permintaan dari mereka. Bekerja demi mewujudkan masa depan orang lain. Aku tidak bisa berkencan, tak satu pun lelaki menganggapku menarik, dan semua orang yang dekat denganku pun harus menjalani kehidupannya sendiri.

Kali ini aku ingin berusaha membahagiakan diriku sendiri.

[Kamu tahu? Aku sengaja memanipulasi bus, membiarkanmu duduk di pangkuan Kafka, menjadikanmu kandidat dalam drama, dan semuanya. Agar kamu bisa menyelesaikan misi sebelum dead line!]

“Maaf, tapi cium kening terlalu ... emmm keterlaluan.”

Bisa kurasakan wajahku kembali memanas setiap kali mengingat ekspresi triplek milik Kafka. Dia diam saja mampu membuat jantungku kelabakan jedag-jedug-jedag-jedug. Memang pesona tokoh utama bukan main.

“Itu nggak sopan.” Aku membuka mata....

... dan mendapati Tiga melayang di atasku.

“Hei!”

“Asal kamu tahu, ya,” Tiga menjelaskan. Ia menjentikkan paw dan langsung menabok keningku PLAK tanpa ampun. “Novel yang kamu tempati saat ini memiliki standar kehidupan yang berbeda dengan dunia asalmu. Apa kamu tidak bisa melihat perkembangan transportasi, teknologi, sampai pendidikannya? Beda, ‘kan? Jangan lupakan kualitas udara yang sekarang kamu hirup; bersih, segar, persis daerah pegunungan hijau. Mana ada yang seperti ini di tempatmu?”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang