17. Mengapa Kuota Tidak Naik?

4.1K 873 10
                                    

“Kenapa kamu takut meninggalkan kota ini, Deborah?”

Dalam cerita kisah Deborah berakhir dengan kematiannya; tidak bisa melawan penyakit, membiarkan sel-sel beracun menggerogoti kehidupan dalam dirinya, dan kalah. Tidak ada masa depan. Di dalam buku kehidupan Kafka, bab mengenai Deborah hanyalah berupa paragraf sederhana; tanpa makna, tidak penting, dan takkan ada satu orang pun ingat mengenai keberadaan Deborah.

Aku pun bisa mengikuti jejak Deborah andai kuota cinta, yang tinggal sedikit lagi genap, tidak bisa terpenuhi. Dulu aku berjuang agar bisa bertahan hidup dalam kerasnya persaingan di era modern yang semuanya terasa serbakapitalis. Sekarang pun masih. Hanya karena Tiga memberiku pertolongan, bukan berarti segalanya jadi mudah.

“Karena aku tidak ingin meninggalkan ruang nyamanku,” aku menjawab Kafka.

Kebenaran terasa pahit. Dengan segenap kekuatan aku mencoba bersikap jujur di hadapan Kafka. Dia pantas mengetahuinya. Tidak boleh ada dusta dalam sebuah hubungan. Segala yang diawali dengan kebohongan akan berakhir buruk.

“Di sini segalanya bagiku,” aku melanjutkan. “Kota ini memang mungil. Tidak sebesar kota-kota tetangga, tetapi di sini rasanya aman dan nyaman. Kafka, aku tidak punya bakat khusus. Apabila aku pindah ke suatu kota, maka sebaiknya mempertimbangkan mengenai profesi yang ingin kugeluti. Kerja kantoran? Menghadapi akuntansi saja aku tak sanggup. Melamar sebagai resepsionis? Aduh kemampuan berkomunikasiku payah. Mencoba CPNS? Hmm tidak usah. Sekalipun ada tunjangan hari tua, sayangnya semua profesi yang diterima dalam kepemerintahan tidak membutuhkan manusia sepertiku yang hanya bisa memasak dan sedikit membuat lelucon garing.”

“Kamu memandang masa depan amat suram, ya?”

“Ah nggak juga,” kilahku sembari merapikan rambut. “Menjadi pekerja di toko buku juga cukup menyenangkan kok. Eh jangan cemas. Nanti akan kuikuti beberapa les kerajinan tangan dan menyempurnakan bisnis Nenek. Sudah ada rencana, tinggal dijalankan saja. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan istrimu he he.”

Sebenarnya yang kubutuhkan saat ini hanyalah kuota cinta. Lima puluh! Lima puluh saja! Persetan andai di kemudian hari Kafka jatuh hati kepada cewek lain ataupun memilih menghabiskan masa tua dengan bertarung melawan Nathan Black. Masa bodoh. Deborah, aku, akan menetap di kota ini dan menghabiskan masa tuanya sebagai nenek-nenek yang memelihara kucing.

Bagus, ‘kan? Aku bisa memelihara kucing atau anjing, menanam sayur, merekomendasikan bacaan, menjual hasil karyaku lewat media internet, dan mungkin melakukan kerja sama bisnis dengan beberapa orang? Semua bisa terjadi.

“Kamu yakin?” Kafka sama sekali tidak memperlihatkan senyum meskipun orasiku cukup menghebohkan bagai penjual jamu di pinggir jalan. “Tidak ingin mengasah insting dan bakatmu? Di universitas mana pun? Benar-benar ingin tinggal di kota pinggiran ini?”

Kota terpencil ini jauh lebih aman daripada menetap di dekat Kafka setelah lulus SMA. Begitu lulus petualangan Kafka akan dimulai. Dia akan menempati posisi penyerang, membantu kakak perempuannya, dan menumpas orang-orang yang bertanggung jawab.

Siapa juga yang ingin menjadi papan sasaran panah musuh-musuh Kafka?

Hidup sebagai budak korporat dan tumbal kapitalis sudah cukup mengerikan. Tidak perlu mencicipi dunia bisnis yang uangnya mengalir deras. Aku tidak seberani itu. Panggil saja aku ayam penakut.

“Emm ... Kafka, aku nggak suka meninggalkan cita-citaku sebagai penjual buku berdedikasi. Sebenarnya selain menyukai kota yang tenang dan udara bersih, impianku ialah, menjadi penjual buku.”

Ini benar! Aku tidak keberatan jadi penjual buku!

“Deborah, kamu bisa percaya kepadaku. Nenek akan membiarkanmu pergi bersamaku. Kita bisa mencoba kehidupan baru di luar sini. Lagi pula, kakaku nggak keberatan menyokong biaya kuliahmu. Jangan lupakan orang-orang bijaksana yang mungkin bisa kamu temui di kota besar.”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang