14. Kamu Nggak Harus Berubah

4.2K 912 70
                                    

Jantungku bekerja ekstra keras. Aku sempat berpikir bahwa kematian akan segera datang menjemput. Bukan karena aku gagal mengumpulkan kuota sesuai perjanjian, melainkan akibat melihat hantu. Bahkan setelah Kafka akhirnya bosan dan bersedia membawaku pergi dari rumah setan, ketakutan masih menyelimuti diriku; keringat dingin, dada seakan tertekan, sesak, dan aku ingin muntah.

Keren aku tidak menangis. Eh bukan tidak menangis sih, lebih tepatnya: Ketakutan terlalu kuat hingga meneteskan air mata saja lupa. Oke deh, aku menangis. Sedikit.

“Aku bersumpah akan menghantuimu sepanjang umur, Kafka!”

Tanpa ampun kujatuhkan pukulan ke lengan Kafka. Dia tidak berjengit, hanya tertawa karena tahu bahwa pada akhirnya akulah yang kesakitan. Gila, apa semua cowok memang terbuat dari besi dan baja? Keras! Buhuuu tanganku, tanganku.

“Nggak usah ngambek. Aku traktir makan,” Kafka menawarkan. “Mau?”

“Awas kalau bohong,” ancamku.

Kami berdua menuju salah satu kedai mi. Ada banyak pengunjung dan untungnya kami masih kebagian tempat. Kafka memesan teh hangat dan mi sayur, sementara aku....

Nyehehehe kapan lagi bisa makan enak tanpa merasa bersalah kepada dompet?

Tanpa tahu malu aku memesan mi khusus. Mi kuah kari dengan potongan daging sapi, irisan daun bawang, taburan bawang merah goreng, ditambah sawi hijau, dan masih ada lauk pendamping berupa tumisan sayur serta suwiran ayam rasa asam manis. Minum pun aku minta sari jeruk hangat. Hehe dengan begini tidak ada dendam. Impas.

Omong-omong, Siena pasti akan terkena serangan darah tinggi nih. Andai dia tahu bahwa Kafka secara sukarela mengajakku makan, yang bisa diartikan sebagai kencan, jelas kepalanya akan serupa bencana; panas, meletup, dan berasap. Ah sayang sekali. Di sekolah dia memang mulai menjaga jarak denganku. Barangkali peringatan dari kepala sekolah dan hukuman berhasil menyadarkan dan meredakan gelora hormon remaja dalam diri Siena.

Aduh-aduh. Lebih baik aku tidak menyeret Siena ke dalam lingkaran kesenanganku hari ini. Apalagi yang kurang, huh? Kuota cinta, makanan, dan Tiga mendadak terkena serangan kejang entah karena alasan apa. Malam ini sempurna. Terutama makanan! Makanan!

Berhubung aku tidak mahir menggunakan sumpit, maka pilihan terbaik makan mi jatuh pada garpu dan sendok. Yah makan ala-ala spageti gitu. Putar-putar di sendok menggunakan garpu dan hup! Lezat....

“Boleh tambah enggak, Kafka?”

Aku menyendok kuah dan meniupnya sebelum menyeruput. Gurih dan segar. Makanan enak pasti bisa menghangatkan perasaan. Hidup memang kadang berengsek, tapi kalau ada makanan enak rasanya semua hal masih sanggup kuhadapi.

Iya, kuhadapi sambil menangis.

Menangis dan meratap.

“Ngelunjak.” Kafka menjulurkan tangan dan menjentikkan jari tepat di keningku.

“Kamu bersalah lho.” Aku mengusap kening dan lanjut makan!

“Deborah, kenapa kamu terobsesi dengan pendapat orang lain mengenai dirimu?”

Sejenak aku menghentikan kegiatan makan. Kuletakkan sendok di mangkuk, meraih gelas dan mengaduk. Sendok dan gelas beradu, menciptakan suara denting.

“Kamu tahu, Deborah?” Kafka sudah selesai makan. Tidak ada apa pun di mangkuk selain sumpit dan sendok. “Coba belajar masa bodoh.”

“Hmmm,” aku menggumam, tidak tahu harus memberi komentar apa kepada Kafka.

“Pasti sulit memuaskan keinginan semua orang, bukan? Daripada kamu pusing mengutamakan kepentingan orang lain, yang belum tentu peduli terhadap perasaanmu, lebih baik kamu fokus menyenangkan diri sendiri.”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang