“Deborah, wajahmu mirip udang rebus lho.”
Di kantin yang ramainya bukan main, Stefanie tiada henti menggodaku. Sebagai penonton merangkap saksi perubahan plot antara Penyihir Emilia dan Pangeran, dia terus saja pamer senyum, seolah dialah yang dicium Kafka dan bukannya keningku.
Aku sudah berganti pakaian; seragam sekolah. Terlalu pening hingga tidak peduli dengan riasan Penyihir Emilia yang masih kukenakan. Satu-satunya yang ada dalam benak hanya cara mengubur diri dan melupakan rasa malu. Andai semudah keinginanku ... andai saja!
“Nenek, tolong....” Aku membenamkan wajah ke dalam telapak tangan, pura-pura tidak peduli terhadap sorotan para pengunjung kantin—jenis tatapan penuh ingin tahu yang membuatku tercekik. “Huuu besok aku nggak bisa melihat teman-teman dengan wajah tegar.”
“Kamu berlebihan,” Stefanie menukas. “Kafka pasti tidak sengaja.”
Tidak sengaja?! Aku lebih percaya pegasus punya sayap warna pink daripada “ketidaksengajaan” Kafka!
“Tidak sengaja berpikir genit,” sambarku, ganas. Kali ini aku menatap Stefanie yang masih saja memasang cengiran lucu.
“Tidak sengaja mencetuskan perubahan cerita.”
Untung Kafka dipaksa David ikut pertandingan basket, bila tidak sudah pasti dia akan ikut duduk di sini, bersamaku, dan kemungkinan menertawakan reaksiku. Dia lebih setan daripada Nathan Black! Untung aku hanya perlu mengumpulkan kuota sejumlah lima puluh. Apa jadinya bila seratus full? Berhubung semua novel yang Tiga sukai ternyata berhubungan dengan muatan dewasa ... hahaha tidak, TIDAK, terima kasih. Pinggangku tidak sekuat itu buhuuuuu.
“Deborah, kamu sudah memikirkan mengenai masa depan?”
Kali ini Stefanie, terima kasih, memilih topik selain Kafka. Topik yang kusambut dengan tangan terbuka. “Nek, sepertinya aku nggak ingin kuliah.”
Ini—kuliah—sudah kupikirkan dengan matang. Deborah mungkin tidak keberatan masuk ke universitas yang menawarkan pelajaran seni. Namun, aku berbeda. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah meneruskan usaha Stefanie.
Ada begitu banyak hal yang harus aku korbankan demi kuliah; uang, waktu, tenaga, bahkan pikiran. Dulu kupikir setelah lulus dari salah satu perguruan tinggi di kotaku, akan mudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuanku. Namun, salah. Sekadar S1 saja tidak cukup.
“Deborah, Nenek kuat membiayai kuliahmu.”
“Ya, Nek. Aku yakin Nenek mampu. Sayangnya aku sungguh tidak tertarik kuliah.”
“Andai ayahmu masih ada bersama kita, pasti dia akan mengomentari semangat juangmu. Kamu tahu, ‘kan? Ayahmu tidak pernah menyerah dalam apa pun, termasuk mengejar mimpi.”
Sebenarnya Tiga tidak salah dalam menilai kepribadianku. Aku tidak pintar. Terlalu bodoh dalam menyerap informasi maupun ilmu, terlebih yang berkaitan dengan rumus dan hitungan. Meski bodoh dan lelet, aku tidak keberatan belajar komputer dan kerajinan tangan. Barangkali Stefanie pun juga melihat kekuranganku—kekurangan milikku, bukan Deborah—dan berharap bisa memberi sedikit pencerahan.
“Ya,” aku membenarkan ucapan Stefanie, “Papa pasti akan menjitak kepalaku dan memarahiku. Lantas Papa akan memberiku semangat mencoba menikmati hidup dan mengabaikan ketakutanku.”
Seulas senyum mekar di bibir Stefanie. “Dia memang orang yang seperti itu. Selalu melihat segala hal dari segi positif alih-alih buruknya.”
“Nek, aku benar-benar tidak berminat melanjutkan pendidikan. Kuliah bukan untukku.”
Kuliah bukan untukku. Stefanie tidak memiliki cukup simpanan. Semua uang yang selama ini dia gelontorkan pastilah berasal dari toko buku. Aku ingin langsung membuat lapangan pekerjaan bagi diriku sendiri. Lagi pula, sudah kuteliti dan pelajari kebudayaan di dunia Deborah. Ada banyak cara mengumpulkan uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)
FantasiSalah satu petugas isekai memberiku misi mengumpulkan kuota cinta dari Male Lead. Berhubung pilihan hanya ada dua, hidup atau mati, maka aku pun menerima tantangan. Jangankan menaklukkan Male Lead, Villain pun akan kuterjang asal diberi kesempatan h...