32. Bertemu Kembali

2.5K 563 15
                                    

Seumur hidup aku tidak berani membayangkan opera sabun bisa terjadi kepadaku. Tahulah, drama picisan mengenai calon ibu mertua yang menolak calon menantu pilihan putranya. Hal semacam itu hanya mampu aku konsumsi sebatas hiburan belaka dalam layar kaca ataupun novel. Lagi pula, sebagai warga Indonesia kelas proletar mengajariku hidup semampu finansial: cukup bayangkan barang mewah masuk golongan tersier, bekerja demi makan, dan liburan sebatas cuci mata di toko online. Begitu saja, tidak unik. Sungguh mengagumkan.

Akan tetapi, setelah bertemu dengan ibu tiri Nathan akhirnya aku mendapat pencerahan. Sungguh beruntung diriku. Bersama Kafka aku hanya perlu menghadapi Gwen. Namun, beda cerita dengan Nathan Black. Dia memiliki ibu tiri yang pahitnya melebihi pare, ayah yang mungkin berharap putranya memilih calon menantu dengan bibit unggul, dan sejumlah penggemar garis keras. Sialnya, si Nyonya Pare tidak memberiku informasi penting! Dia tidak menjelaskan asal-muasal bisa mendapatkan foto ayah Deborah! Dih wanita satu ini tidak jelas!

Untung aku tidak langsung menemui Kafka. Selepas pertemuan mencengangkan, aku berusaha menenangkan diri. Duduk di bangku, menatap jalanan yang kian ramai, dan berharap Tiga bisa memberiku kata kunci terkait kemungkinan Nathan Black sungguhan menjadi antgonis. Apa dia tidak bisa memberiku tanda? Yang besar. Mungkin papan baliho bertuliskan, “HAI, ADA ANTAGONIS DI SINI!” Begitu, kan, beres. Tidak buang waktu dan tenaga. Hidup harus serbaekonomis dan praktis. Memangnya Tiga pikir urusan duniawi milikku sebatas mengagumi ketampanan Kafka sajakah? Dasar kucing mesum. Sedari dulu aku curiga dia tidak beres. Sekarang prasangkaku terbukti.

“Tiga sialan,” keluhku sembari memijat pelipis. “Dasar kucing nakal. Nakal!”

Aku mengamati jalanan, berharap beban hidupku ikut tergilas.

“Eh?”

Sebuah sedan hitam perlahan menepi. Penumpang berpakaian setelan mewah keluar dari sana dan berderap ke arahku. “Deborah!”

“Wah, halo.”

Ada pepatah barat yang menyatakan bahwa iblis pun akan datang ketika tengah diperbincangkan. Saat aku pusing mencari jalan keluar “cara menghindarkan Kafka dari serangan Nathan”, oknum yang bersangkutan muncul. Heran deh bisa seajaib ini. Andai setiap aku memikirkan ingin dapat empat milyar rupiah responsnya bisa cepat! Iri!

“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Sendirian.”

Apa gunanya menyimpan beban pikiran seorang diri kalau ada yang bisa menerimanya saat ini?! Lupakan malu-malu. Aku bisa gila bila tidak menemukan solusi!

“Sebaiknya duduk dulu,” aku menyarankan. “Ada hal penting yang perlu kita bicarakan.” Hal penting yang kumaksud ialah, memindahkan beban hidup kepada Nathan. Pintar!

Nathan mengikuti permintaanku. Dia duduk tepat di sampingku.

“Ya?”

“Begini,” aku mencoba menjelaskan, tatapan mataku fokus ke jalanan, “hari ini aku mendapat panggilan dari seseorang. Dia memintaku bertemu di kafe. Kupikir cukup aneh karena dia tahu mengenai masa laluku. Bukan sekadar tahu, melainkan benar-benar tahu.” Kali ini aku menoleh, menatap Nathan yang serius menyimak penjabaranku.

“Dia bahkan memiliki foto masa kecilku bersama mendiang ayahku,” ujarku melanjutkan. “Mau tidak mau, aku pun bersedia mengabulkan keinginannya bertemu denganku. Kupikir dia hendak memberitahuku mengenai hal penting. Sesuatu yang sungguh kubutuhkan. Namun, tidak. Dia mengaku sebagai Nyonya Black.”

Perlahan ekspresi di wajah Nathan berubah. Kerutan muncul di kening, rahang mengeras, dan ... aku berusaha mengabaikan apa pun yang ia pikirkan. Awas saja andai dia berencana melibas Kafka.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang