5. Ini Bukan yang Kuinginkan!

4.4K 825 5
                                    

Sistem pendidikan di dunia Deborah sedikit berbeda dari tempat asalku. Di sini tidak menyebut kelas sembilan, sepuluh, dan seterusnya tapi kembali ke angka satu. Jadi, Deborah dan Kafka saat ini berada di kelas 3 SMA atau di sistem pendidikanku setara dengan kelas dua belas. Dua semester (ganjil genap), tidak ada ujian kelulusan hanya ujian akhir, dan ketika ingin masuk ke suatu sekolah maupun perguruan tinggi para siswa diwajibkan mengikuti tes ujian masuk sesuai kriteria masing-masing sekolah.

Adapula sekolah khusus minat dan bakat. Bila seseorang ingin mengasah kemampuan dan memperdalam keahlian, maka mereka tinggal memasuki sekolah tersebut.

Aku dan Kafka merupakan murid SMA swasta yang namanya cukup terkenal. Di sini jurusan hanya ada tiga saja; sosial, seni, dan ekonomi. Kafka masuk jurusan ekonomi, sementara Deborah memilih seni. Kepada Deborah aku ucapkan terima kasih karena dia tidak memilih ekonomi. Bisa rontok rambutku menerapkan segala macam rumus dan perhitungan.

Akan tetapi, sekalipun jurusan yang Deborah pilih tidak mengandung rumus sayangnya pihak sekolah tetap mengharuskan setiap murid belajar matematika dan beberapa ilmu YANG MEMBUATKU MUNTAH DARAH sebagai bekal hidup di masyarakat.

Sungguh indah.

***

Di kelas bisa dikatakan konsentrasiku buyar. Selalu saja ada hal yang membuatku kesulitan fokus. Semua huruf yang tertulis di papan pun seakan bergerak seperti barisan semut, menolak bekerja sama denganku. Begitu pelajaran usai, baterai hidup milikku nyaris habis.

Lantas ketika tiba jam istirahat, seorang cewek mendatangiku. Dia bukan berasal dari kelasku dan sepertinya Deborah pun tidak mengenalinya.

“Emmm bisa bicara sebentar?”

Karena yakin diriku ini hanya tokoh sampingan, maka aku pun menyanggupi permintaan cewek itu. Aku keluar dari kelas dan mengikutinya. Ternyata cewek itu mengajakku ke kelas ekonomi. Anak-anak di sana jauh lebih mengerikan daripada teman sekelasku. Selalu membaca, berdiskusi mengenai pelajaran, dan sama sekali tidak tertarik dengan kehadiranku.

Cewek yang mengajakku menarik kursi dan mempersilakanku duduk. Tidak lama kemudian beberapa cewek mengerubungiku. Tiba-tiba terbit penyesalan dalam diriku. Takut andai mereka memojokkan dan menghajarku.

“Oke, langsung ke intinya.” Cewek yang mengajakku mulai menampilkan senyum malu-malu kucing. “Kamu bisa enggak memperkenalkan kami kepada Kafka?”

Hah? Koiga taki! Saingan cinta!

“Maaf ya,” ujarku berusaha mengempiskan balon harapan setiap cewek, “aku dan Kafka tidak sedekat apa pun yang kalian asumsikan. Oke?”

“Kamu, kan, sering berangkat dan pulang sekolah dengan Kafka?” tuduh salah satu cewek berwajah bulat. “Jangan ngeles, ya?”

“Pulang bareng bukan berarti dekat,” kilahku menutupi kebohongan. Ya maaf, aku akan mempertahankan kuota cinta Kafka (yang entah jumlahnya bertambah jadi berapa karena belum sempat menengok kali terakhir acara gendong). “Aslinya aku dan dia sama sekali nggak dekat.”

“Kamu ingin memonopoli Kafka, ya?” celetuk cewek yang mengajakku. “Hei jangan begitu. Selama Kafka masih jomlo, itu artinya semua cewek sama-sama punya kesempatan.”

Sungguh ingin kubiarkan semua serigala betina menggigit Kafka sebelum Nathan muncul. Masalahnya aku terikat misi! Tiga pasti akan mengutukku andai aku tidak memiliki motivasi.

“Enggak kok,” dustaku. “Dia dan aku bahkan nggak ada ikatan khusus selain ... teman KW.”

“Teman KW yang mau gendong dari halte sampai gerbang sekolah?”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang