4. Gara-Gara Nomor Kontak

4.6K 874 12
                                    

Semalam aku kesulitan tidur. Pertama, perkara kasur. Maklum sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Biasanya aku butuh beberapa hari hingga bisa terbiasa. Cukup merepotkan. Kedua, jantungku seolah akan meledak. Aku tidak bisa melupakan cara Kafka bicara. Padahal dia masih bocah ingusan! Anak SMA pula! Pasti penulis lupa mencantumkan peringatan mengenai betapa berbahaya Kafka! Tiga, liontin. Awalnya tidak ada apa pun di dalam liontin. Sekarang di sana, dalam liontin, ada pasir merah muda yang jumlahnya....

Hanya seuprit!

Ucapan Tiga mengenai lima puluh persen kuota cinta makin membuatku tidak bersemangat menjalankan misi. Andai bisa ganti tugas, maka sudah pasti kulakukan. Tugas apa pun. Seperti menghitung jumlah mobil merah yang melaju di suatu jalan A, memperbaiki nilai mata pelajaran Deborah, atau sekalian saja menyuruhku pura-pura jadi batu; itu semua tugas yang jauh lebih mudah daripada memastikan Kafka memberiku kuota cinta.

Semalam saja aku hanya dapat satu persen! Masih kurang 49!

Oh selain itu, aku juga mendapat beberapa ingatan dari Deborah. Cukup membantu secara aku ini orang luar yang butuh arahan selain dari Tiga. Berdasarkan ingatan Deborah aku mendapat beberapa fakta seperti hobi, kenangan masa kecil, bahkan pendapatnya mengenai Kafka. Dia tidak memiliki sedikitpun rasa suka mengarah naksir. Alias, biasa-biasa saja. Satu-satunya impian Deborah hanyalah bisa bekerja di penerbitan. Wow luar biasa. Aku bahkan mendapat beberapa rekomendasi buku yang ia sukai.

Sayang sekali Deborah tidak bisa mewujudkan impian. Dia mati. Mungkinkah Deborah juga sama sepertiku? Pindah ke dunia lain? Ke mana pun dia pergi, kuharap kebahagiaan selalu menyertainya.

“Deborah, jangan melamun.”

Peringatan Stefanie berhasil membuatku siap siaga. Sarapan baru kuhabiskan setengah. Lekas kutandaskan roti hingga nyaris tersedak.

“Pelan-pelan,” kata Stefani seraya menyodorkan segelas air kepadaku, “tidak ada yang menyuruhmu tidur larut, ‘kan?”

Katakan itu kepada Tiga dan Kafka. Seharusnya mereka berdua bisa mempermudah hidupku, tapi tidak! Tiga sebagai penanggung jawab isekai nyaris membuatku jadi tersangka pelecehan. Bisa-bisanya dia menyarankan mencium Kafka hanya karena seharian bosan bertugas. Lalu, Kafka....

Aku mengamati Kafka yang duduk di seberang meja. Seragam sekolah yang ia kenakan makin membuat sosoknya memukau. Kemeja lengan pendek warna biru muda, dasi biru tua, celana hitam. Sempurna.

Sejujurnya aku suka seragam sekolah Deborah. Jauh lebih baik daripada seragam SMA-ku. Mohon maaf, rok sekolahku dulu modelnya membuat perutku terlihat menggelembung. Aku lebih suka rok sekolah Deborah yang modelnya menyamarkan timbunan makanan di perutku; rok kotak-kotak berwarna biru tua dan muda. Dasinya pun lucu, berbentuk pita! Ah seragam impianku. Seragam ala dorama Jepang dan drama Korea. Sepatunya pun lucu. Seharusnya aku dulu sekolah di SMA semacam ini. Gaya! 

Usai sarapan, aku dan Kafka bergegas menuju halte. Sepanjang jalan dia tidak mengatakan apa pun. Diam.

Kami berjalan berdampingan, membiarkan udara pagi membasuh kulit dan mengirim aroma bunga yang tumbuh di sepanjang jalan.

[Ada celah!]

... dan Tiga tidak lupa meracuni hariku dengan saran.

[Hei, ayo. Gandeng tangan Target! Dia pasti tidak keberatan.]

Aku bukan pacar Kafka! Edan! Dia pasti akan menepis sentuhanku.

[Percayalah, dia tidak akan membunuhmu.]

Sekarang, iya. Namun, di kemudian hari? Tidak ada jaminan.

Sampai di halte, kami duduk. Ada beberapa orang yang ternyata juga tengah menanti bus. Sebagian adalah murid, yang lain pekerja kantoran. Ada pula nenek-nenek dan ibu-ibu bersama putranya. Begitu bus sampai aku dan Kafka langsung naik. Aku hampir saja terpeleset, tetapi seseorang menolongku.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang