3. Ding!

4.6K 840 14
                                    

Aku dan Kafka memutuskan belajar di dapur. Di sana ada meja dan kursi yang cukup bagi kami berdua. Berbeda dengan kamar tidur. Baik menggunakan kamarku maupun kamar milik Kafka, keduanya terasa salah. Tidak baik memicu kebakaran. Sekalipun aku yakin Kafka tidak akan menyentuhku karena minatnya hanya pada Smith dan Nathan (semoga tidak benar), tetap saja jaga diri itu penting.

“Oke, aku mengerti,” sahutku sembari mengoreksi jawaban yang ternyata sebagian besar salah! Padahal metode pengerjaan sudah sesuai petunjuk buku, tapi tetap saja aku keliru.

Di meja ada dua cangkir cokelat hangat. Aroma manis sedikit membantuku menenangkan diri. Barangkali gejolak emosi yang tadi menghantamku mulai memudar. Terlebih setelah menyesap cokelat hangat perlahan rasa dingin yang sempat menyergapku pun lenyap. (Sekadar informasi, bukan Kafka yang membuatkan cokelat hangat. Aku. AKU! Dia ternyata jauh dari tipikal jentelmen.)

Orang boleh menyebutku pengecut, tidak tahu malu, apa pun. Terserah. Aku hanya ingin hidup. Benar-benar hidup. Bukan sekadar menjalani setiap hari dalam rutinitas yang kemudian secara perlahan mematikan diriku dari dalam. Kehidupan yang kuinginkan hanya....

Aku ingin menjalani hidup tanpa perlu merisaukan kepentingan orang. Tidak masalah bila aku bukan putri seorang direktur perusahaan ternama. Tidak apa-apa andai aku tidak terlahir dengan paras jauh dari standar cantik. Sebab hidup bukan perkara itu saja, ‘kan? Ada banyak hal yang ingin kunikmati. Ingin makan odeng, ayam pedas di salah satu resto cepat saji terkenal, duduk di dalam kereta sembari menikmati pemandangan sawah, menyantap mi instan berkuah ... hal-hal semacam itu. Bahkan aku tidak keberatan menjalani masa sekolah asalkan tidak diburu biaya hidup. Belajar sambil memikirkan cara melunasi SPP dan sederet pembiayaan itu melelahkan.

Akan tetapi, hidup tidak seperti kantong ajaib milik Doraemon. Manusia dituangkan ke dalam mangkuk semesta, berlomba-lomba berenang menuju permukaan, dan kemudian merangkak keluar dari kubangan penderitaan.

[Kalau kamu sempat memikirkan mengenai filosofi hidup, maka aku sarankan cobalah merayu Target!]

Suara Tiga menggelegar, menyadarkanku dari lamunan. Aku menengok ke kanan dan kiri, coba mencari keberadaan kucing yang menjadi penanggung jawab isekai.

Nihil. Tidak ada siapa pun. Hanya ada aku dan Kafka.

[Kamu seorang yang bisa mendengar suaraku.]

Kafka yang sedari tadi memperhatikan kegiatan menulisku pun mengalihkan pandang dari buku kepadaku. “Ada apa?”

Haruskah aku memberi jawaban: “Oh nggak apa-apa kok. Cuma mendengar suara dari penanggung jawab keselamatan jiwaku.” HELL. Kafka akan menganggapku aneh.

[Cepatlah, rayu Target. Kamu harus segera mengumpulkan kuota cinta.]

Sialan. Aku juga paham wajib menjerat Kafka. Namun, dia tidak seperti tokoh cowok mana pun yang pernah ada dalam dunia fiksi! Senyum? Lihat saja bibirnya yang terkatup rapat! Bicara pun irit!

[Target! Cepat. Lakukan. Sesuatu.]

Aku menelan ludah, mencoba mendorong kegugupan dan keinginan muntah. “Kafka, terima kasih.”

Kafka masih tidak menyahut. Dia diam. Tidak ada ekspresi apa pun yang bisa kubaca di wajahnya.

“Maksudku,” ujarku dengan suara yang mulai goyah, “atas bantuanmu.”

“Aku hanya memenuhi permintaan Nenek.”

“A-apa?” Pias. Aku yakin rona wajahku mulai surut. Seolah ada Dementor yang menyedot habis tenaga serta kebahagiaan dalam diriku. Perasaan dingin menjalar ke dalam tubuh, membuatku lumpuh. “Nenek?”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang