7. Howl. Kamu Howl!

4.3K 913 15
                                    

Aku curiga kuota cinta akan naik pesat apabila ada interaksi antara diriku dan Kafka ... Oke, ringkasnya pemicu utama penambahan kuota dikarenakan sentuhan—segala yang berhubungan dengan fisik. Kukira tugasku sekadar membuat Kafka tertarik saja. Ternyata aku salah. Tiga menginginkan hubungan romansa lain.

OH NO!

Aku ini tidak punya pengalaman romantis. SE-DI-KIT-PUN! Nol besar. Iya, aku tahu. PAHAM. Sangat mengerti keputusanku mengikuti uji nyali mendekati Kafka bisa dibilang bodoh banget! Namun, namanya juga manusia. Aku, kan, ingin hidup. Apa salahnya berusaha? Tidak ada larangan, ‘kan? Masalahku sekarang hanyalah KONTAK FISIK!

Kecurigaanku makin menguat semenjak insiden Kafka mencubit hidungku. Kuota naik dari sepuluh menjadi lima belas! Hanya gara-gara ITU? Seharusnya aku tidak terkejut menyadari informasi demikian. Toh Tiga memilih novel dewasa daripada romansa unyu. Jenis genre yang menyajikan tragedi, keputusasaan, dan sakit hati. Hanya orang tertentu saja yang sanggup mengikuti cerita semacam itu dari awal sampai akhir tanpa terganggu psikisnya.

Tidak masalah ketika posisiku cuma penggembira, tapi lain cerita saat AKU yang jadi objeknya!

Telanjur basah. Sekarang yang bisa kulakukan ialah, bertahan hidup. Masa bodoh dengan nanti. Pokoknya dapatkan lima puluh kuota cinta dari Kafka sebelum diriku menginjak usia delapan belas tahun sebagai Deborah. Begitu berhasil, maka akan kukatakan: “ADIOS, MALE LEAD! Terima kasih atas segalanya. Silakan kejar Nathan dan semoga sejahtera menyertaimu.”

Oleh karena itu, dengan kesabaran setebal bata kuhadapi Kafka dengan senyum dan kadang cemberut. Seperti saat ini!

“Penyihir Emilia seharusnya tersenyum ketika melihat Pangeran, Deborah!”

Pak Thomas, sekali lagi, memberiku peringatan.

Adegan yang tengah kami perankan ialah saat Emilia pertama kali berjumpa Pangeran. Penyihir Emilia tidak seperti penyihir dalam novel ceri atau lemon. Jenis penyihir seksi, berbibir ranum, dan berdada indah. IYA, TIDAK. Emilia buruk rupa. Dia memiliki bekas luka bakar di sebagian wajahnya hingga membuat siapa pun enggan menatap. Seharusnya saat ini aku, sebagai Emilia, merayu Pangeran. Namun, alih-alih merayu aku justru menampilkan ekspresi TERBEBANI.

Anak-anak yang lain sampai terbahak melihatku tidak bisa tenang di dekat Kafka. Berbeda dengan Siena yang justru bersemangat setiap kali beradu peran dengan Kafka. Dia bahkan secara terang-terangan menggelendot manja (padahal tidak ada dalam naskah) dan membelai wajah Kafka. Bahkan aku sempat menangkap basah Siena menempelkan dadanya di lengan Kafka. AWWW agresif! Bagus, lanjutkan. Siapa tahu, kan, Kafka kepincut? Eh? Aku bagaimana?

“Maaf, Pak,” ucapku dengan penuh penyesalan, “saya ... emm itu.”

“Apa?”

Aku menutup wajah dengan telapak tangan. “Kafka terlalu ... emm.”

Terdengar tawa menggelegar dari teman-teman yang sadar mengenai deritaku. Ya maaf, melihat wajah tampan terlalu lama dalam jarak dekat tidak baik bagi kesehatan jantungku! Aku tidak sanggup! (Kecuali G Dragon. Aku TIDAK KEBERATAN MENATAP G DRAGON SELAMA-LAMA-LAMA-LAMANYA.)

Pak Thomas pun hanya bisa geleng-geleng dan berkata, “Anggap saja dia labu atau lobak. Kamu juga bisa membayangkan wajah idolamu kalau itu semakin menyemangatimu. Dengan begitu kamu nggak akan merasa canggung. Oke?”

Sekali lagi adegan diulang. Kali ini aku tidak setegang sebelumnya. Kutatap wajah Kafka, kubayangkan di depanku ini Howl. IYA DIA HOWL!

Barangkali keajaiban sihir telah merentangkan tangannya kepadaku hingga samar-samar terdengar denting piano lagu kesukaanku: Merry Go Round of Life.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang