19. Setelahnya....

4.2K 916 13
                                    

Kegiatan. Pekerjaan. Dua obat terampuh membunuh waktu dan cara terbaik mengalihkan perhatian dari benakku. Di toko buku aku memiliki satu orang pegawai bernama Yona. Dia seorang gadis cantik berusia sekitar delapan belas tahun. Berdasarkan pengakuan Yona, ia tidak melanjutkan kuliah dan memilih bekerja di sini, di toko buku milikku, karena tuntutan ekonomi. Dia tulang punggung keluarga. Ayahnya seorang pemabuk, ibunya buruh cuci, dan ... Yona memiliki tiga adik yang perlu dirawat olehnya.

Aku tidak mempermasalahkan latar belakang kehidupan Yona. Lagi pula, semua orang punya rahasia gelap dan masalah. Siapa aku berani memberi penghakiman terhadap manusia lainnya? Ya, aku bukan siapa-siapa. Hanya salah satu manusia cukup beruntung yang diberi kesempatan hidup oleh Tiga.

Bicara mengenai Tiga. Dia benar-benar lenyap. Tidak pernah mendatangiku bahkan dalam mimpi sekalipun. Kadang ketika tidak sengaja berjumpa kucing liar yang warna bulunya mirip dengan Tiga, aku keceplosan memanggilnya sebagai Tiga. Tentu saja tidak ada sahutan. Kucing yang kutemui hanyalah kucing normal. Jenis kucing yang suka menghabiskan waktu dengan berjemur, berkumpul dengan anggota geng, dan mungkin bergosip perihal betapa bodoh manusia yang pernah mereka jumpai.

Hidup terus berlanjut. 25 tahun. Aku ternyata memang tidak berbakat dalam membina hubungan asmara. Terbukti dari betapa benar ucapan Tiga bahwa ketika ingin menghilangkan status jomlo, perlu perjuangan.

Perjuangan dan bakat.

Aku cuma menang di perjuangan dan kalah di bakat.

“Bos,” Yona memanggil, “sepertinya novel yang bersampul biru itu tidak terlalu menjual.”

Aku berusaha memindahkan sekardus buku bekas ke belakang konter. Kedua tanganku makin terampil dalam urusan menjadi kuli dadakan. Sebagai wanita single, hanya diri sendirilah yang bisa diandalkan! Sial, aku ingin jadi kaya raya saja!

“Biru? Ada banyak novel dengan sampul warna biru,” tuturku sembari berjongkok, mengecek buku yang bisa kujual di internet dengan harga miring. “Lagi pula, pada dasarnya semua buku pasti menemukan pembacanya. Mungkin buku yang kamu maksud tidak sesuai dengan target pasar di toko kita. Hmm tunggu siapa yang mengambil persediaan permenku?!”

“Bos, toples permen yang Bos maksud pasti sudah habis dijarah anak kecil. Bukankah kemarin Bos secara sukarela memberikan semua permen bintang kepada pengunjung yang anaknya rewel?”

Aku menepuk jidat. “Ah iya juga.”

“Apa novelnya akan dipindah?”

“Jangan,” aku melarang, “agen yang meminta rak depan sebagai promosi bersikeras menempatkan novel biru ... ah Cinta Lama. Iya, ‘kan? Itu yang kamu maksud? Cinta Lama. Penulisnya cukup disegani di kalangan penulis romansa. Barangkali novel yang ini, Cinta Lama, kurang mendapat respons positif si sini saja yang notabene dikelilingi remaja penyuka cinta yang menantang.”

Yona bersender di konter, matanya mengawasiku yang kini mulai mengeluarkan buku satu per satu dari kardus. “Tahu dari mana?”

“Internet,” jawabku, pasti. “Sebagai penjual buku, aku setidaknya harus membaca beberapa ulasan mengenai buku yang sedang digandrungi orang-orang. Di sini kita sering menjual novel romansa, komik, dan buku resep. Namun, di luar kota ini ada banyak orang yang tertarik dengan tema bacaan yang berbeda. Hanya karena tidak ada seorang pun yang menganggap bacaanmu keren, bukan berarti seleramu payah. Ini hanya masalah selera, kebutuhan, dan ... anggap saja perkara bisnis.”

Terdengar suara bel berdenting, tanda ada pengunjung. Kepalaku pening karena berdiri secara tiba-tiba. Untung tidak menghantam apa pun hingga menyebabkan diriku pantas dipermalukan di depan umum.

Yona segera menghampiri pengunjung. “Selamat siang,” sapanya.

Ada dua pengunjung. Yang satu mengenakan jaket, pakaian bahan kaos berkerah tinggi yang menutupi leher, celana jins, masker hitam, dan kacamata. Di belakangnya berdiri pria dalam setelan lengkap yang mengenakan kacamata berbingkai emas.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang