16. Bersama Kafka (Kupikir Kita Pasangan)

4.1K 942 21
                                    

Tingkat kepercayaanku terhadap kebaikan umat manusia tidak terlalu bagus. Bisa dibilang anjlok. Sekalipun bertemu manusia baik, pada kehidupan asliku sebelum menjadi Deborah, pasti bisa dihitung jari. Populasi manusia baik sepertinya sedang memasuki kondisi gawat darurat, nyaris punah. Sebentuk entitas langka. Hanya segelintir orang beruntung yang bisa bertemu dengan mereka, para orang baik dan bijaksana.

Tentu saja aku tidak bisa berharap orang akan baik seratus persen. Pasti ada celah maupun kekurangan pada disi seorang manusia. Anggaplah perpaduan manusia seperti ini; 50% baik dan 50% buruk, 60% baik dan 40% buruk, atau 25% baik dan 75% buruk. Variabel tertentu akan membedakan sikap tiap orang; lingkungan, pola didik, bacaan, dan bermacam faktor. Entah aku lahir di tahun yang salah atau aura milikku memang buruk sekali hingga hanya hal tidak menyenangkan, buruk, dan jahanam saja yang dulu sering kuterima. Patut dipertanyakan karena begitu melihat kehidupan orang lain rasanya tidak terlalu buruk dibanding milikku yang seperti rawa tempat tinggal monster pemakan bangkai.

Manusia yang menyakitiku sepertinya tidak menganggap tindakannya salah. Justru ketika aku berbuat jahat, sekalipun tidak sengaja, beberapa hari kemudian langsung mendapat karma. Orang yang merundung dan membuatku merasa jijik terlahir sebagai manusia justru bisa menikah, membangun keluarga bahagia, dan terlihat baik-baik saja. Timbul pertanyaan dalam diriku: “Apakah aku sebegitu hinanya sampai tidak pantas mendapat kedamaian?” Setiap malam aku selalu mempertanyakan mengenai eksistensiku sebagai manusia. Apa tujuanku terlahir di dunia? Mengapa aku menjadi manusia? Kenapa aku tidak berguna? Bagaimana bisa aku mengalami pelecehan dan perundungan? Mengapa tidak ada orang yang menyukai diriku hanya karena fisik dan finansialku?

Semua pertanyaan berjejal jadi satu, menyumpal semangat hidup dan membuatku kehilangan minat menjalani kehidupan sebaik mungkin. Bahkan aku takut ketika pada suatu saat mendapat sedikit saja kesenangan. Takut. Sangat takut. Bagaimana bila kesenangan ataupun kebahagiaan yang sempat mampir itu hanya ilusi belaka? Aku tidak berani berekspektasi. Tidak berani berharap perhatian. Jauh lebih masuk akal ketika seseorang meninggalkanku daripada bertahan berada di dekatku.

Barangkali latar belakang hidupku menjadi salah satu faktor Tiga memilihku. Kesempatan memperbaiki taraf hidup. Sebentuk usaha menjadikan diriku terlahir kembali sebagaimana manusia pada hakikat asli; makhluk pantang menyerah yang siap menghadapi perubahan iklim terburuk sekalipun, pemikir yang selalu mencari solusi, dan seorang pemimpi yang tidak akan takut jatuh.

Dunia Deborah jauh lebih baik dari tempat asalku.

Oleh karena itu, aku ingin berusaha bertahan hidup. Kali ini takkan ada hal buruk. Semua akan baik-baik saja.

... selama Tiga tidak menyuruhku melakukan pelecehan seksual terhadap Kafka.

***

[Kenapa kamu bisa sesantai ini?]

Suara Tiga terdengar menggelegar.

Rasanya Tiga seperti tengah menjewer telingaku karena tidak ada aksi nyata. Maksud aksi nyata di sini; menyentuh Kafka, mencium Kafka, dan ... hmmm aku tidak ingin mengetahui tips dan trik menjerat cowok menurut Tiga. Pasti tidak jauh dari deskripsi novel dewasa berbumbu pedas. Hahaha aku tidak sekuat itu, saudara-saudara.

Minggu sore tidak ada acara selain memasak kue. Resep yang kutemukan di internet terlihat menggiurkan. Kue madu dengan taburan kacang dan kismis. Cara merayu pria? Lewat perut! Ini aku sih oke.

Kafka seharian di rumah membantu Stefanie mengurus rumah. Stefanie mulai dari pukul delapan harus pergi ke toko buku, semua tugas rumah jatuh kepada kami; aku dan Kafka.

Hehe rasanya seperti suami istri baru menikah. Awww lucu!

Usai memotong kue dan meletakkannya di piring, lekas saja kucari Kafka di teras. Dia sedang membersihkan rumput liar yang tumbuh di antara sayuran yang ditanam oleh Stefanie.

“Kafka, kemari. Istrimu berhasil memanggang kue!”

[...]

[Oke. Kadang kamu nggak tahu malu, tapi baguslah.]

Mengabaikan komentar Tiga, aku meletakkan kue di meja dan duduk di kursi.

Kafka meninggalkan kegiatannya. Dia melepas sarung tangan, meletakkannya di dekat pot bunga, dan mencuci tangan di kran yang biasa digunakan untuk menyirami tanaman.

“Mana istriku?” Kafka duduk. Dia mulai meraih garpu dan mencicipi kue.

“Aku dong,” sahutku dengan bangga. Yakin deh hidungku maju lima sentimer seperti Pinokio. “Istri berbakti, ramah, humoris, dan penyayang.”

“Bila ada maunya.”

“Mauku, kan, kamu,” godaku dengan nada genit. “Tidak mungkin yang lain.” Lantas aku mulai menyanyikan lagu ciptaanku dengan suara sumbang, “Kamu. Hanya kamu. Pokoknya kamu.”

[Kamu yang berbuat, tapi aku yang merasakan malunya. Ampun!]

Cih, Tiga pasti kesal karena aku tidak mengikuti sarannya. Dasar kucing mesum!

Ah biarlah. Toh Kafka tidak menyangkal mengenai “istri”. Itu artinya dia tidak keberatan. Ayo, kuota cinta. Cepatlah genap lima puluh! Ih kenapa tinggal sedikit justru sulit terpenuhi?

Kue di piring tandas dalam beberapa kali suapan. Lantas aku pun bertanya, “Kafka, rasanya?”

Beberapa kali aku mengedip sok genit dengan harapan bisa memancing kuota cinta. Namun, kuota tetap saja tidak naik. Seolah aku harus melakukan misi khusus agar tergenapi kuotaku. AH MENGAPA BEGITU? Aku ingin sekali menarik Tiga dan meminta kemudahan misi. Apa saja boleh asal tidak menyerempet adegan dewasa.

“Deborah, apa rencanamu setelah SMA?”

Di luar dugaan Kafka justru memberiku pertanyaan yang berkaitan dengan masa depanku. Dia pasti sudah menentukan keinginannya; membantu kakak perempuannya dan membalas dendam.

Betapa berbeda kehidupan kami. Aku seperti ngengat yang hanya memiliki waktu singkat dalam hidup, sementara Kafka bagai cahaya api yang membuatku terbakar ketika berdekatan dengannya. Dia adalah duniaku. Segalanya bagiku. Tanpa dia aku akan raib dari duni ini.

“Aku ingin mengikuti kursus,” jawabku, jujur. “Tidak tertarik kuliah karena otakku tidak mampu mengikuti ilmu apa pun selain  ... yah sesuatu yang membuatku bekerja dengan tangan. Aku suka merajut dan mungkin melukis. Bakatku akan kukembangkan dan hei! Hei aku ingin meneruskan toko buku Nenek! Yup, aku akan tetap di sini. Di kota kecil ini.”

“Kamu tidak ingin pergi ke kota besar?”

Aku menggeleng. “Tidak. Di sana berat. Pasti orang-orangnya bergerak cepat mengejar target. Mana bisa aku hidup di lingkungan seperti itu? Enak di sini. Damai, sejuk, dan ada banyak kedai serta restoran yang menyajikan makanan enak.”

Kafka menjulurkan tangan, meraih jemariku dan menggenggamnya. “Ikutlah denganku.”

Selama beberapa saat mulutku terkatup rapat. Ada ribuan pertanyaan berseliweran di otak dan tidak satu pun berani kuutarakan.

“Aku tidak ingin ke sana, Kafka.”

Ya maaf saja! Di sana ada Nathan Black dan sejumlah musuh Kafka. Itu sama saja terjun ke kolam api. Aku ingin hidup, bukan jadi target incaran pesaing Kafka. Lalu, jangan lupakan cewek yang tertarik menarik Kafka ke ranjang. Sudah pasti mereka, para cewek, akan menikamku!

Tidak usah. Mahkota tokoh utama perempuan terlalu berat. Aku hanya ingin hidup damai, bukan romusa! Tidak perlu.

“Aku bisa membantumu sekolah ke tempat yang menyokong bakatmu,” Kafka mengajukan penawaran. “Di sana ada banyak pengajar dan kesempatan. Apa kamu tidak ingin mencobanya?”

Hehehe kemudian mati dicekik cewek yang naksir Kafka? OGAH!

“Kafka, istrimu akan menikmati masa mudanya di sini dan kamu hanya perlu fokus mengembangkan sayap di mana pun. Jangan cemas. Nggak ada acara selingkuh karena sibuk kerja dan cari uang kok. Serius!”

Tolong jangan suruh aku menumbalkan diri. Diva dan Siena cukup membuatku kesusahan. Tidak perlu bertemu dengan cewek lain yang mungkin lebih gila daripada mereka berdua.

Buhuuuu tolong lepaskan aku dari kewajiban mempertaruhkan nyawa.

Selesai ditulis pada 29 Maret 2023.

Semoga kalian sukaaaaaaaaaa!

I love you, teman-teman!

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang