21. Bukankah Dia Rival?

4.2K 925 22
                                    

Kuputuskan tidak mau tahu dengan berita apa pun yang tengah berkembang di luar sana. Ketidaktahuan merupakan berkat dan aku memercayainya! Lebih baik tidak tahu sama sekali mengenai ocehan Nathan Black di media sosial daripada nanti kena serangan darah tinggi. Satu-satunya yang kuinginkan ialah, bekerja secara profesional sesuai permintaan tim film. Peduli setan dengan gosip. Lagi pula, selalu ada cewek yang diseret ke dunia berita; mengaitkannya dengan Nathan sebagai cinta sejati, atau membumbui narasi campur dusta, atau entahlah!

Andra barangkali mengira pertemuan antara diriku dan Nathan akan berlangsung dramatis sebagaimana tulisan novel romansa. Cinta pada pandangan pertama, si pria terpikat kebaikan hati si cewek dan bukannya penampilan fisik, kemudian terjalinlah ikatan rahasia yang takkan diketahui oleh penggemar maupun siapa pun.

Howek! Itu, drama picisan, hanya bisa terjadi pada segelintir orang saja. Aku? Sudah pasti tidak mungkin terjadi. Mimpi pun tidak berani. Apabila Tiga mendengar omong kosongku ini, pasti dia akan menendang pantatku dan menyuruhku intropeksi.

“Say, nggak semua cowok itu berengsek!”

Iya, tidak semua cowok berengsek, tapi jumlahnya, kan, terbatas. Sekalinya ada cowok baik dan tanggung jawab, pasti sudah ada pawangnya! Lantas bagiku, cewek bertampang biasa dengan kemampuan ala kadarnya, ini harus memancing di laut mana agar bisa memperoleh pasangan baik hati, tanggung jawab, bermulut manis, tidak tukang pukul, dan mau diajak bicara dengan kepala dingin ketika ada masalah?

Nah aku harus ke mana?

Jalan yang bisa kutempuh untuk menghibur diri sendiri hanya melalui buku. Coba bayangkan sihir ajaib yang buku ciptakan kepada setiap pembaca. Orang bilang baca fiksi romansa itu kegiatan tidak berguna. Halah sembarangan. Fungsi membaca bagiku merupakan pelarian. Hmmm aku ingin melarikan diri dari realitas, walau sejenak, dan menghibur luka hati jomlowati ini. Sedikit taburan gula dalam hidupku bisa sangat ampuh mengusir beban pikiran.

“Haaah,” desahku ketika selesai merapikan rak yang mengandung novel-novel remaja bertema cinta. Beberapa hanya menyisakan satu dua buku sementara yang lain masih berjumlah banyak. Pengunjung yang mengetahui bahwa toko buku tidak bisa dikunjungi untuk sementara waktu pun memilih belanja lewat internet.

Oh ya, aku lupa mengabarkan bahwa selain menjual buku dan segala pernik yang berhubungan dengan dunia tulis dan pendidikan, toko milikku juga memberi pelayanan istimewa. Bukan sekadar membungkus saja, melainkan menghiasnya dengan tema tertentu; surat ala era Victoria, tambahkan hiasan bunga kering, atau buku jurnal yang khusus dibuat sesuai tema buku yang dipesan pembeli.

Kadang aku juga menyelipkan kerajinan tanganku; entah gantungan kunci, pembatas buku, origami, yah sesuai dengan insting saja.

Kru film sedang istirahat makan siang. Pak Sutradara mengajak tim makan di restoran. Aku dan Yona memilih berdiam di toko dan mengejar pundi-pundi uang! Kami berdua, aku dan Yona, bisa makan siang bersama.

Di toko juga ada dapur. Stefanie jarang makan di luar. Dia biasanya memilih memasak sendiri atau membawa bekal dari rumah. Itulah yang kuikuti! Berhemat!

Kebetulan aku membawa bekal sendiri. Cukup banyak. Setelah puas memastikan susunan buku dalam rak, aku mengajak Yona ke teras depan. Ada sebatang pohon wisteria merah muda yang tengah mekar sempurna. Ranting-ranting yang diselimuti untaian bunga pun menaungi bagian depan toko. Romantis.

“Ah aku lupa teman kencanku mengajakku makan siang!” Yona menepuk jidat. “Bos, maaf ya?”

Maksudnya dia mau bilang, “Bos, maaf ya? Maaf karena tidak bisa menemanimu yang jomlo.” Namun, takut akan kena damprat dariku.

Oke deh. “Pergi sana,” kataku menyemangati.

Yona langsung melesat menuju motornya yang diparkir di bawah naungan pohon. Dia mengenakan helm, melambai kepadaku, dan wuuuuz melejit menuju cinta sejatinya.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang