33. (Calon) Suamiku Memang yang Terbaik!

3.1K 560 11
                                    

Aku sampai rumah tepat pada pukul delapan malam. Ada banyak hal yang membuatku kesal sekaligus jenuh, terutama yang berkaitan dengan misi khusus pemberian Tiga. Alahasi alih-alih langsung pulang setelah bercakap dengan Nathan, aku pun memutuskan mengalihkan tenaga sekaligus beban pikiran dengan cara jalan-jalan ke mana pun yang menurutku menarik. Cara itu ampuh mengembalikan tenaga, cuma minus satu saja. Tidak belanja. Padahal terapi belanja merupakan salah satu cara terbaik ketika aku stres! Ya masalahnya uang. Uang!

“Deborah, wajahmu.”

Peringatan Kafka berhasil menyadarkanku dari lamunan. “Maaf.”

Kami sedang berada di dapur. Kebetulan Kafka pun baru pulang dari kerja. Dia meyampirkan jas di kursi. Tanpa ragu menggulung kedua lengan kemeja hingga sebatas siku. Jangan lupakan celemek gambar hati. Pink! “Kamu mau makan apa?”

“Kamu.” Inginku jawab begitu, tapi sadar diri. Sadar diri. Aduh sayang sekali.

“Terserahmu,” sahutku sembari memperhatikan Kafka mulai mempersiapkan bahan.

Kafka berhasil membuat nasi goreng udang hanya dalam waktu sekian menit. Dia bahkan sempat menyeduh teh sebagai teman pendamping. Kami berdua makan dan tidak mengatakan apa pun hingga seluruh makanan di meja tandas takbersisa. Calon suamiku perlu diganjar cium pipi kanan dan kiri!

“Bagaimana pertemuanmu dengan orang asing ini?”

“Cukup menegangkan,” jawabku sembari mengedip genit. “Ternyata hanya kesalahpahaman saja. Nggak penting, tapi ngeselin.”

“Maksudmu?” Kafka merapikan meja. Dia mulai menumpuk piring dan meletakkan sendok di bagian teratas. “Bukan orang gila, ‘kan?”

“Entahlah, ya. Dia hanya mengaku sebagai Nyonya Black, ibu tiri Nathan Black.”

Sejenak Kafka menghentikan kegiatannya. Dia menatapku seolah aku dalam bahaya. “Kamu perlu bantuan?”

“Enggak dong. Lagi pula, tuduhannya nggak beralasan. Enak saja dia bilang aku ada hubungan khusus dengan Nathan Black! Jelas aku tangkis. Gara-gara nggak sanggup mendengar kicauannya mengenai kasta, kelas, dan bibit unggul ya aku langsung pulang. Mana kuat? Aneh deh dia. Siapa juga yang butuh mama mertua cerewet? Bukannya menolong meringankan beban hidup, yang ada aku bolak-balik ketemu psikolog untuk konseling.”

Kafka terkekeh mendengar ocehanku mengenai betapa sulit menjalani hidup serumah dengan mertua berlidah tajam. “Gwen tidak mungkin membuatmu terbebani.”

“Kakakmu yang terbaik,” pujiku sembari memamerkan dua ibu jari. “Dia terbaik! Lagi pula, menikah bukan perkara aku suka kamu doang, ‘kan? Sekarang aku yakin seratus persen bahwa bersamamu memang ... hmm membuatku aman dan lega.”

“Semoga calon istri artis kesayanganmu diberi ketabahan, ya?”

“Eh kebetulan kedua, aku bertemu Nathan Black. Kamu pasti nggak bakalan percaya dengan hal yang kutemukan.”

“Bahwa dia nggak kompeten.”

“Ih bukan,” aku mengoreksi, “dia naksir aku! Naksir!”

Kafka sontak memamerkan senyum yang bisa kuartikan sebagai peringatan.

“Aku tolak kok!” ucapku berusaha mencairkan kesalahpahaman yang mungkin saja terbentuk. “Andai dia nggak ngomong aneh mengenai ... hidup bersama, masak, dan ... aaah pokoknya kamu nggak perlu cemas! Aku menolaknya. Bagaimanapun juga kamu tetap yang utama di hidupku. Kamu!”

“Yakin?”

“Dih kok nggak percaya gitu?”

“Soalnya dulu kamu penggemar Nathan Black garis keras. Bukannya kamu sempat ngambek gara-gara aku menyita foto Nathan Black?”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang