Sampai sekitar pukul sepuluh malam Gwen masih belum pulang. Aku sampai menguap persis kucing kurang rumahan kebanyakan makan enak. Kafka menertawakan diriku dan kemudian menyuruhku tidur.
Barangkali akibat terlalu lelah, sampai mataku terpejam erat dan kesadaran meluncur dengan mulus menuju alam mimpi.
Tebak apa mimpiku?
“Ada hal serius.”
Tiga. Dari sekian kemungkinan bermimpi menjadi dinosaurus hingga milyader, justru Tiga yang memonopoli zona alam bawah sadarku.
Tempat yang kudatangi dalam mimpi pun sama persis dengan dunia awan yang pertama kali kudatangi setelah mati. Sungguh mencurigakan. Dalam film ketika bertemu lagi dengan makhluk ajaib, bisa diartikan akan ada hal penting atau hal buruk tengah menanti tokoh utama. Oke, aku tidak ingin jadi tokoh utama yang wajib menerima plot berat. Biarkan aku menikmati enaknya menjadi pacar tokoh penting!
“Bukankah aku sudah menyelesaikan tugas?” Rasanya ingin kuhantam diriku sendiri demi melegakan luapan emosi sebab menghajar Tiga pasti akan mendatangkan petaka. Makanya, hajar diri sendiri paling aman dan masuk akal. Eh maaf melantur. “Lima puluh persen. Kan sudah aku kumpulkan sesuai kesepakatan.”
Tiga menggoyangkan ekornya ke kanan dan kiri. Dia berjalan mondar-mandir di depan pohon awan; batangnya berwarna putih, daunnya berupa awan putih lembut, dan ada bintang-bintang berwarna oranye menempel di setiap cabang. “Atasanku tidak puas dengan kinerjaku,” keluhnya sembari mengacak-acak bulu kepala. (Kucing tidak punya rambut. Oke?)
Aku bersedekap, siap melawan. “Apa urusannya denganku?”
“Sekalipun kamu bisa hidup di dunia ini, tetapi bila atasanku kecewa ... hmm mungkin lebih baik kubiarkan saja.”
“Hei mana boleh begitu?! Nasibku tengah dipertaruhkan. Jelaskan pokok permasalahan dan kita mungkin bisa mencari jalan keluar.”
“Bosku tidak puas dengan kinerjaku.”
“Kan tadi kamu sudah bilang begitu.”
“Dia ingin meminta sisa kuota sampai penuh. Sama seperti peserta lainnya. Tidak boleh ada ketimpangan dalam perlakuan.”
“DULU KAMU BILANG LEVELKU JELEK LHO!”
“Dan ternyata kamu bisa menghadapi tantangan, bukan?”
Sekarang Tiga berhenti mondar-mandir. Dia mendongak, memperhatikan kumpulan kupu-kupu berwarna kuning emas yang terbang di antara cabang pohon.
“Sebutkan saja.”
Tiga menjentikkan paw. Dua angka muncul di udara 89.
“Sebenarnya ketika kamu menjalani hidup di sana pun kuota cinta tetap berlanjut,” Tiga menjelaskan. “Tinggal sebelas poin. Kamu hanya perlu menyelesaikan misi. Kali ini bukan sekadar membuat Kafka termehek-mehek, melainkan membantunya melindungi keluarga dari antagonis.”
“Gila! Kamu menyuruhku menghadapi Nathan Black? Halo, Tiga. Apa kamu lupa genre novel ini? Tragedi. Itu artinya kamu mengantarku ke mulut harimau. Lagi pula, jalan cerita kemungkinan besar berubah. Lihat, Kafka belum tentu bertarung sampai mati melawan Nathan.”
“Itulah yang bisa kamu lakukan. Cegah Nathan Black menyakiti Kafka.”
“Boleh juga.” Aku manggut-manggut sok paham. “Tinggal minta tolong ke Nathan supaya tidak menyentuh Kafka. Beres.”
Tiga melempar segumpal awan ke kepalaku.
“Aaaa memangnya apa yang bisa kulakukan?” protesku sembari membersihkan rambut dari gumpalan awan lengket. “Atasanmu marah dan aku harus menyelesaikan misi. Kamu pikir aku pintar? Ya maaf, aku bukan Dan Brown yang bisa memberimu tur sejarah. Andai aku mewarisi kebijaksanaan Murakami, walau satu persen, mungkin akan mudah bagiku memberimu semangat dukungan melalui filosofi kehidupan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)
FantasySalah satu petugas isekai memberiku misi mengumpulkan kuota cinta dari Male Lead. Berhubung pilihan hanya ada dua, hidup atau mati, maka aku pun menerima tantangan. Jangankan menaklukkan Male Lead, Villain pun akan kuterjang asal diberi kesempatan h...