25. Dilema

3.7K 795 19
                                    

Hanya kutinggal sekitar satu jam dan lihatlah kedua tokoh utama sepertinya siap saling bunuh. Di dalam manga pasti di belakang Kafka dan Nathan ada sosok harimau dan ular; siap serang, melukati, dan berebut kuasa.

Lelaki di mana pun sama saja,’ pikirku dengan kekesalan menggunung bagai tumpukan cucian di musim hujan.

Sekarang aku paham alasan Yona memilih kabur dengan pacarnya (sebagai motif keselamatan). Berada di antara dua makhluk buas tidak akan membuatku selamat. Justru sekarang posisiku “sepertinya” terancam. Kafka sih bisa kupahami alasan di balik cemberutnya. Namun, Nathan?

“Sepertinya sebentar lagi kru akan kembali,” kataku mencoba mencairkan suasana. “Kafka, kamu yakin nggak bosan nungguin aku sampai sore nih?”

“Ya,” Nathan menyahut, “menunggu pasti membosankan. Silakan beristirahat di hotel.”

Seseorang perlu menyumpal mulut Nathan sebelum Kafka meledak!

Alih-alih tersulut provokasi dari Nathan, Kafka justru memasang senyum (paling manis yang pernah kulihat), meraih tanganku dan menggenggamnya. “Tidak perlu. Aku bisa menunggumu,” ucapnya seraya memperhatikanku alias: Mengabaikan Nathan secara terang-terangan.

Kumohon biarkan aku hidup. Kuota cinta yang kukumpulkan bukan untuk tersia-siakan!

... dan doaku terjawab. Yona datang diikuti beberapa kru film. Pada akhirnya aksi saling serang pun berakhir. Sutradara paling semangat memberi arahan mengenai pengambilan gambar. Dia juga yang berhasil menarik Nathan dari zona petarung. Aku sampai tergelitik ingin bernyanyi, “We are the champion....”

Sungguh mati kutu. Lebih baik proses shooting segera selesai saja daripada setiap bertemu Nathan rasanya seperti disuruh menerima suntikan menjadi titan! Apa sih yang Nathan inginkan? Aku jadi Beast Titan dan menghancurkan seantero kota? Sekalian dengan latar belakang lagu: “Ist das der Zerstörer oder der Schöpfer?” Begitu?

Ayolah.... Seorang Nathan Black kekurangan hiburan? Omong kosong. Aku berani taruhan ada puluhan cewek rela mengantre sekadar dua sampai tiga menit berbincang. Jangankan bicara dari hati ke hati, mereka—para cewek—sanggup menyerahkan seluruh waktu miliknya. Salah satu cewek yang kumaksud ialah, Andra. Dia masih, dan akan selalu, menjadi pembela Nathan garis keras.

Begitu proses shooting usai, semua orang mulai berberes dan mengakhiri satu hari melelahkan. Yona menyibukkan diri dengan cara membantuku membungkus paket buku. Kafka memberi sumbangsih dengan cara menghalangi Nathan mendekat. Bagus. Sekarang aku sungguh fokus dengan pekerjaanku. Luar biasa.

Apa selesai begitu saja?

Tentu tidak.

“Tertarik pindah domisili?”

Kafka mengutarakan ide, yang sepertinya selalu ia inginkan, kepadaku ketika kami sedang menonton televisi.

Duduk berdua di sofa, menatap tayangan mengenai reptil, dan menikmati waktu santai.

Indah. Romantis. Oh ayolah, indah. Pasangan macam apa ini? Tidak ada acara menonton di bioskop. Hanya berdua, begini, dan ... biasa saja.

“Enggak dulu deh,” sahutku.

“Aku nggak suka dengan Nathan Black.”

“Kamu ‘selalu’ nggak suka dengan cowok mana pun kecuali yang sudah punya pacar, ‘kan?”

Layar kini menampilkan seekor ular gurun. Makhluk tersebut berusaha mengubur diri dalam timbunan pasir. Narator menjelaskan mengenai cara ular berburu; menunggu, lalu datang pengerat sial, dan hup!

Omong-omong mengenai ular. Dulu, di kehidupanku sebelum menjadi Deborah, aku sempat mengalami kejadian aneh. Ada seekor ular hitam. Ular tersebut bukannya melata di lantai, seperti seharusnya semua makhluk tanpa kaki dan tangan, ia justru kedapatan terjebak di antara celah di daun pintu. Oke, dia terjepit.

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang