1. Kucing Bernama Tiga

11K 999 34
                                    

Sebagai manusia yang telah melewati 33 tahun masa hidup, aku termasuk kategori produk gagal. Entah karier, percintaan, penampilan, maupun kesehatan sepertinya tidak satu pun di antara semua hal tersebut mendapat bintang emas. Jangankan bintang emas, perak pun takkan menempel. Sungguh 33 tahun menyedihkan, ironis, dan berisi drama tragedi komedi. Barangkali selepas kematian singkat karena kurang tidur dan makan sembarangan, jiwaku melewati penyeberangan antara alam manusia menuju....

Tunggu. Aku baru menyadari bahwa diriku berada di suatu tempat aneh. Sejauh mata memandang hanya ada gumpalan awan seputih salju. Udara terasa segar, persis ketika berada di tengah perkebunan teh di pagi hari. Ketika aku mendongak bukan langit biru yang kutatap, melainkan bentangan awan.

“Aneh sekali,” gumamku sembari meraba diri sendiri, memastikan masih memiliki raga.

Tangan utuh, begitupula kaki dan seluruh anggota badan. Satu-satunya yang menyebalkan hanyalah kaos yang warna birunya mulai luntur dan celana bermotif batik bunga-bunga tampak salah tempat ketika berada di hamparan awan.

Ya, aku tahu diriku ini telah mati. Sungguh mengagumkan kesadaranku tidak lenyap.

Belum sempat aku berkontemplasi mengenai anomali kematianku, mendadak terdengar suara gemuruh. Awan-awan seakan gemetar, satu sama lain saling menyenggol, bertubrukan. Aku tersungkur, secara serampangan meraih apa pun untuk kugapai. Kali ini gumpalan awan pun mengerubungiku, membawaku semakin turun, turun, dan turun. Rasanya seperti tenggelam, tapi tanpa tersedak dan perasaan tercekik. Lagi pula, aku sudah mati. Mana ada hantu sesak napas?

Oke, anggap saja aku sebagai hantu.

Gumpalan awan berhenti bergerak. Seperti gergasi meludahkan makanan tidak enak CUIH. Aku pun terpental, jatuh ke tumpukan jerami kering. Kali ini tidak ada barikade awan maupun suara guntur mengerikan. Pemandangan hijau ala pertanian barat menyambutku; padang rumput subur, barisan pepohonan apel, deretan gandum emas, dan sesosok kucing tengah mengamatiku.

Bukan kucing imut hobi mengeong, melainkan sosok kucing belang hitam putih yang berdiri menggunakan kedua kaki. Kedua kaki! Dia juga mengenakan kemeja lengkap dengan dasi.

“Selamat datang,” sapanya menggunakan suara yang amat lembut. “Kamu bisa memanggilku dengan sebutan Tiga.”

Kucing bisa bicara? DIA BISA BICARA?

Mulutku membentuk huruf O sempurna. Jangankan memikirkan mengenai duduk anggun, menggerakkan tubuh saja enggan. Aku terlalu terpaku pada penemuan mengenai kucing bisa bicara. Namun, seharusnya ini tidak aneh. Kucing bisa bicara itu tidak aneh. Aku, kan, sudah mati. Wajar!

“Kamu seharusnya duduk,” Tiga menyarankan. “Karena kita akan membahas hal penting.”

“O-oke.”

Apakah hantu bisa tersipu? Entahlah. Aku hanya perlu merapikan diri dan duduk manis di atas jerami seperti penggembala budiman.

“Nah, sekarang kita bisa bicara.” Tiga menjentikkan jari, maksudku paw. Awan pun membentuk gumpalan lembut sebagai singgasana Tiga. “Empat dan Lima tidak bisa menemanimu, Satu dan Dua pun sudah memiliki agendanya sendiri. Enam, Tujuh, Delapan, dan Sembilan ada tugas penting menangani monster.”

Penamaan menggunakan angka. Aku curiga ada seratus lebih agen kucing tersebar di sepenjuru semesta.

Tiga memicingkan mata dan bertanya, “Kamu pasti sadar bahwa sekarang dirimu sudah mati, bukan?”

Aku mengangguk.

Tidak perlu ditanya, aku sadar!

Tiga menggaruk dagu. “Sebagai penanggung jawab isekai akan kuberitahukan kesempatan emas kepadamu. Selamat kamu bisa menempati salah satu novel yang pernah kamu baca!”

PROTAGONIST'S LOVEMOMETER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang