4. Pelecehan

13.7K 1.2K 24
                                    

Hellow guys! Mumpung baik, hari ini aku update lagi, pas malem Minggu. 2 kali lebih banyak dari chapter biasanya. Baik kan?

Janlupa voment! 1 vote dari kalian berharga banget buat aku!!

Happy reading 💐

Disaat sedang asyik melamun, Vellyn sedikit terkejut tatkala sebuah suara masuk ke indera pendengarannya.

"Hiks.. ah hh.. to--longh.."

Vellyn mempertajam pendengarannya. Matanya bergerak ke arah semak-semak yang terlihat bergoyang. Berjalan mendekati sehingga suara itu semakin terdengar jelas.

"Shh, hentikanh ituu hik,"

Pemuda berambut pink itu menangis sesenggukan meminta pria diatasnya berhenti melakukan sesuatu pada lehernya.

Seolah tidak mendengar, pria itu terus melakukan kegiatan bejatnya. Mencium dan menghisap leher pemuda manis di bawah kungkungannya hingga menimbulkan jejak kemerahan yang terlihat jelas di leher putih pemuda itu.

"What the fuck?! are they gay?!" umpat Vellyn tatkala melihat kejadian yang menggelikan itu dengan mata kepalanya sendiri.

Tak ingin berlama-lama melihat kejadian tersebut, Vellyn menendang bahu sang pria hingga tubuhnya terjatuh kesamping. Si pria itu terlihat tak terima kala kegiatan kesenangannya diusik.

Namun Vellyn tak memberikan kesempatan untuk pria bejat itu melawan. Dirinya lantas memukul rahang si bejat itu hingga kepalanya tertoleh kesamping tak lupa menendang kemaluannya beberapa kali. Dan sebagai pemanis ia tendang pinggang pria itu dengan kuat. Yang mungkin saja beberapa tulangnya sedikit bergeser dari tempat seharusnya.

Dirasa pria itu sudah tak sadarkan diri, Vellyn menoleh pada pemuda yang ditolongnya itu. Dengan sedikit terengah-engah dia menghampirinya setelah memungut pakaiannya yang berceceran.

"Hey, are you okay?  Mau saya bantu pakai pakaian ini?" tawar Vellyn dengan suara yang lembut.

Pemuda itu menggigit bibir bawahnya pelan. Lalu mengangguk sekali tanda menyetujui penawaran gadis di depannya setelah dirasa dirinya tak dapat memakai pakaiannya karena  tubuhnya yang masih gemetar.

Vellyn memakaikan pakaian di badan pemuda berambut cokelat itu dengan hati-hati. Tenang saja, celana pemuda itu masih aman. Karena kejadian tadi belum sampai tusuk menusuk.

Merapikan jaketnya agar menutupi kissmark-nya. Setelah semua tertutupi, Vellyn menatap pemuda di hadapannya.

"Kamu mau saya antar? Daripada nanti kamu dilecehin lagi?" tawar Vellyn.

"Umm," jawabnya dengan mengangguk.

Pemuda itu mencoba berdiri namun kembali duduk saat merasa kakinya seperti jeli. Vellyn yang mengerti keadaannya langsung menyuruh pemuda itu naik ke punggungnya.

Pipi si pemuda terlihat memerah. Dia bergegas naik ke punggung Vellyn agar rona merah di pipinya itu tidak terlihat.

Vellyn menyusuri jalan setapak hingga kakinya berhenti di depan sebuah rumah bercat oranye. Rumah pemuda yang ditolongnya. Tentu saja Vellyn sampai ke rumah ini dengan arahan pemuda itu. Rumahnya tak jauh, hanya beberapa belokan dari tempat kejadian tadi.

Mengetuk beberapa kali pintunya hingga menampilkan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat segar bugar.

"Astaga Vian, kamu kenapa kak? Aduh, masuk dulu nak. Vian-nya dibawa ke sofa aja," panik wanita paruh baya itu.

Vellyn menurunkan pemuda yang di gendongnya di sofa.

"Saya--"

"Duduk dulu nak. Kita ngobrol sambil duduk aja biar santai" suruh wanita itu.

Vellyn duduk di sofa single. Sedangkan wanita paruh baya yang sepertinya ibu si pemuda yang ditolongnya duduk didepannya. Mengelus anaknya untuk menenangkannya.

Mata wanita itu beralih ke anak muda dihadapannya. Dilihat seragamnya sudah sangat kotor dengan jejak darah yang menempel. Tubuhnya pun kusam. Namun dia tak bertanya tentang itu, ia hanya ingin mengetahui nama dari orang yang menolong anak tunggalnya.

"Kamu namanya siapa?"

"Vellyn, Tante."

"Ohh gitu. Kenalin Tante Hera, ini anak tante, Vian"

Vellyn mengangguk kecil dan sedikit tersenyum. Setelah perkenalan singkat itu ia langsung menjelaskan kejadian itu sejelas-jelasnya tanpa ditambahi maupun dikurangi.

"Hhh, disini memang banyak preman bejat apalagi malem-malem begini. Vian sudah Tante larang tapi masih aja suka ngeyel. Jadinya kan begini." Wanita itu menghela napas panjang. Bukan sekali-dua kali dia menasehati anaknya itu agar tidak keluar saat malam hari. Ia selalu menasehati, kalau ada keperluan diselesaikan saja sebelum petang agar saat malam hari tidak perlu keluar rumah. Dan karena anak tunggalnya itu kepala batu, dia tetap keluar. Kejadian ini mungkin bisa dijadikan pelajaran untuknya.

"Hehe iya tan-

-em, saya mau nanya. Rumah keluarga Avstroa dimana ya?"

Meskipun agak bingung Hera tetap menjawab "dari rumah ini kamu tinggal belok kiri, jalan lurus terus sampai ada perempatan kamu belok kanan. Rumahnya tingkat 2 cat warna abu-abu."

"Terima kasih tan. Saya izin pulang ya, ini udah malam juga."

"Aduh, ini Tante yang harus ngucapin makasih loh. Makasih sebanyak-banyaknya  udah nolongin anak tante dari preman tadi. Maaf jadi ngerepotin kamu," ucap Hera sambil mengantar Vellyn ke depan rumah.

"Gapapa kok. Permisi Tante Hera"

"Iyaa, hati-hati."

Vellyn hanya mengangguk dan sedikit tersenyum.

Hera masuk ke dalam, membangunkan anaknya untuk berpindah ke kamar. Soal ini akan ia bahas besok hari saja. Menunggu anaknya itu tenang.

"Kak, pindah ke kamar yuk. Tidur di sofa bikin badan kamu sakit nanti. Mau mama bantuin ke kamar ga?" tutur Hera dengan lembut.

"Iya ma, Vian ke kamar sendiri aja" ucap Vian yang sebenarnya sedari tadi tidak tertidur. Hanya menutup mata saja.

Vian berjalan menuju kamarnya. Saat sampai di kamar bercat pink pastel itu ia berbaring di atas kasur setelah menutup dan mengunci pintunya.

Ia mengambil bantal dan meletakkannya di wajahnya lalu berteriak.

'AAAAAA, Mamaaa Vian maluuu..'

Setelah lelah berteriak Vian menurunkan bantalnya. Menggigit bibir bawahnya dan bergumam.

'T-tapi-- kakak itu sangat baik. Vian suka,' gumamnya dengan wajah yang berubah semerah tomat.

Dan yang Vellyn tidak ketahui, dia telah merubah alur novel dengan genre romance itu.

Published: 18-02-2023

Vellyn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang