34. Demam

1.5K 143 9
                                    

Haii, masih ingat cerita ini?

"Kak, bangun. Udah pagi, kamu ngga sekolah?"

Hera mengetuk pintu kamar anaknya itu beberapa kali. Namun tidak ada sautan. "Vian, bangun kak."

...

"Mama buka pintunya yaa.."

Begitu pintu terbuka ia melihat anaknya sedang tertidur dengan seluruh tubuhnya yang ditutupi selimut. Hera segera mendekat, sepertinya anaknya sakit dilihat dari gerak-geriknya.

Dia membalikkan tubuhnya kemudian menempelkan punggung tangannya ke dahi milik Vian. Ternyata cukup hangat. Hera pergi ke dapur dan mengambil kain bersih serta air hangat dan meletakkannya di baskom. Kemudian dia kembali ke kamar anaknya.

Saat dia duduk tiba-tiba Clevian memeluk mamanya, itu membuat Hera sedikit kaget. Ia tambah kaget lagi merasakan baju bagian perutnya basah. Sepertinya Clevian menangis.

"Kenapa kak? Sakit banget ya, atau kita ke rumah sakit aja?"

Hera merasakan anggukan dan gelengan, ia menjadi bingung.

"Vian ngga bisa jadian sama kak Vellyn maa, Vian cuma dianggap adiikkk," dan terdengarlah suara tangisan.

Hera membuka mulutnya namun tertutup kembali karena dia bingung cara menanggapinya.

Saat hari Sabtu itu anaknya terlihat sangat senang. Bahkan dengan semangat menceritakan akan kemana dirinya malam nanti. Juga, tersenyum sambil membisikkan sesuatu kepadanya.

"Nanti kayaknya Vian bakalan jadian sama kak Vellyn."

Hera ikut tersenyum melihat Clevian yang sedang kasmaran. Ia kembali melihat wajah anaknya itu memerah. Mungkin terakhir kali saat berumur 11 tahun, saat diberi hadiah oleh teman yang disukainya. Walau tak lama karena perempuan itu sudah punya pacar.

Tetapi melihat wajah lesunya saat pulang dan terus mengurung diri di kamar hingga esok harinya, Hera paham apa yang terjadi. Hera tidak menegur karena dulu juga seperti itu dan setelahnya kembali ceria. Namun sepertinya yang kali ini lebih menyakitkan hingga Clevian sakit.

Ia mengelus rambut putranya, "udah ya nangisnya nanti pusing. Nak Vellyn punya pacar apa nggak?"

Clevian menggeleng. Hera tersenyum, "tuh masih ada kesempatan. Kamu pepet aja terus, kasih perhatian. Pasti lama-lama nak Vellyn ngga nganggep kamu adik lagi," ucapnya menyemangati. "Sekarang kamu berbaring dulu, mama mau kompres kamu."

Clevian menurut. Kemudian ia merasakan hangat di dahinya. Dia terpejam, kepalanya terasa sangat pusing. "Huhuuu, pusing banget. Ma, kalau nanti Vian ngga ada motornya dikasih ke kak Vellyn ya," ujarnya berwasiat.

"Hushh, ngawur banget ngomongnya,"  Hera mendelik menatap anak tunggalnya itu. Memang saat Clevian demam, ucapannya kesana kemari. Tak hanya Clevian, semua laki-laki yang pernah dia rawat juga begitu.

"Mama mau ke pasar dulu, sekalian nganter surat izin ke sekolah." Hera segera pergi meninggalkan Clevian yang sedang meracau tak jelas sambil memegangi kepalanya.

"Rasanya kayak naik wahana yang mutar-mutar itu hehehe."

"Wow, lampunya ada banyak."

"Eh ada cacing di atas."

Mari kita tinggalkan Clevian yang ucapannya semakin ngawur itu.

***

Vellyn sedang berdiam diri di warung dekat sekolah. Dia sengaja membolos untuk menghindari seleksi festival olahraga. Malas saja rasanya, dan dia sudah membolos sejak seminggu yang lalu. Untung saja tidak dicatat bagi siapa saja yang tidak masuk, dia mengetahuinya dari sistem.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vellyn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang