Bab 1 ~ Tersesat di Hutan

2.7K 111 0
                                    

Rendy dan Daus sudah dua kali mengitari Hutan Kalimantan yang baru saja beberapa jam mereka masuki untuk melakukan survey pembukaan lahan perusahaan kertas.

Sebagai orang Survey, Rendy dan Daus memang selalu dipasangkan sebagai partner setiap ada pembukaan lahan yang dilakukan perusahaan tempat mereka bekerja, sehingga keluar masuk hutan adalah makanan sehari-hari bagi mereka.

Akan tetapi, mereka mulai merasakan hawa yang lain saat memasuki Hutan Kalimantan ini.

Terbukti, mereka sudah menghabiskan waktu hampir enam jam namun selalu kembali ke jalan semula.

Rendy mulai membuka kompas memastikan. Tidak ada yang salah, dia heran karena jalur yang mereka lintasi berulang kali tetap di jalur yang sama.

“Kenapa kita kembali kemari lagi? Apa ada yang salah dengan kita? Atau kita berjalan dengan tidak fokus makanya jalan yang sama kita lewati dua kali ini,” suara Daus mulai terdengar cemas.

Rendy masih menatap kompas di tangannya. Dia mengetuk benda bulat kecil itu berulang kali berharap jika benda itu masih berfungsi. Rendy menghela napasnya panjang karena kompas dalam keadaan baik-baik saja.

“Sebaiknya kita beristirahat dulu disini, siapa tau saja setelah beristirahat keadaan akan jadi lebih baik,” ujar Rendy.

Daus menurut. Mereka mulai mengeluarkan botol minuman dari tas ransel masing-masing dan meneguk air putih dengan pelan sembari melihat sekeliling.

“Kita sudah sering bolak balik masuk hutan, hanya hutan disini yang rasanya aneh. Dari awal kita masuk tadi pagi aku merasakan ada sesuatu yang aneh disini, aku tidak tahu apa itu,” sebut Daus.

Rendy tak menyahut, dia mengeluarkan peta kemudian memeriksa satu persatu jalur jalan di Hutan Kalimantan.

“Kalau mengikuti peta ini, jalur yang kita lewati sudah betul. Hanya saja … aku bingung arah kita kenapa terus kembali kesini, di tempat yang sama,” Rendy memberikan peta ke tangan Daus.

Daus menerimanya, Rendy mengambil bungkus rokok dari kantong bajunya, sebatang rokok dikeluarkannya dan dia menyulut, menghisapnya dalam-dalam setelahnya dihembuskannya. Rendy nampak berpikir.

“Kamu ingat tidak, saat pertama kali kita mau masuk ke dalam hutan ini. Kita bertemu dengan orangtua berbaju serba hitam mengingatkan kita supaya kita berhati-hati masuk ke Hutan yang katanya masih perawan ini,” ucap Rendy. Daus malah tertawa pelan.

“Ya, orang itu lucunya bukan main, dari tampangnya seperti orang lokal sini. Dia juga membawa tas dibelakangnya dari rajutan rotan, tanpa pake alas kaki lagi. Tiba-tiba kita didatanginya supaya berhati-hati masuk ke dalam hutan sini, aku ya jelas tertawa karena kita ini sudah khatam keluar masuk hutan dan ini kerjaan kita setiap harinya. Jadi buat apalagi peringatan seperti itu, hanya buang-buang waktu saja,” Daus masih tertawa.

“Aku paling ingat itu saat melihat ekspresinya. Mukanya kelihatan tidak senang saat aku tertawakan. Lucu aja kalau ingat orangtua itu. Orang kampung memang suka yang aneh-aneh, apalagi mempercayai sesuatu yang katanya berhubungan sama makhlus halus lah. Mau menakuti orang yang suhu seperti kita, buat apa? Kita ini sudah puluhan tahun masuk hutan, tapi nggak pernah kejadian tuh yang aneh-aneh, kerja juga lancar-lancar aja,” cerocos Daus.

“Tapi bisa saja orangtua tadi betul adanya. Buktinya sekarang ini kita kebingungan mencari jalan. Seharusnya sudah daritadi kita memasang pita-pita ini sesuai lahan yang diminta perusahaan. Bila begini, sama saja kerja mati berjam-jam nggak ada hasil,” tukas Rendy.

“Ahh kamu juga, malah ikut-ikutan percaya yang begituan. Udahlah, sebaiknya kita mulai lagi berjalan karena sebentar lagi gelap,” Rendy menoleh memperhatikan Daus.

“Tahu darimana sudah gelap, sedangkan kita dari tadi muter-muter di hutan semuanya serba gelap gini,” jawab Rendy.

Daus memperlihatkan jam di tangannya. Benar saja, jam sudah menunjukkan Pukul setengah enam sore.

Di Hutan Kalimantan, pohon-pohon berjejer yang diperkirakan usia ratusan tahun menutupi matahari yang masuk ke area hutan, tak heran, Rendy dan Daus sudah tidak mengetahui hari apakah siang atau malam, hanya jam saja sebagai penunjuk waktu. 

Rendy dan Daus pun mulai melanjutkan perjalanan. Rendy percaya jika Hutan Kalimantan benar-benar virgin, sebab awal mereka masuk tadi untuk membuka jalan.

Sepanjang jalan mereka harus menebas ranting-ranting dan rerumputan setinggi kepala mereka. Dengan dua kali melintasi jalur yang sama, membuat mereka kali ini hanya mengikuti jalan yang telah mereka buat sebelumnya. Daus kini yang memimpin dengan jalan di depan, Rendy mengikutinya dari belakang. Daus mulai gelisah dan menggaruk-garuk badannya.

Rendy awalnya hanya diam saja, namun lama-lama dia tergugah juga melihat Daus sudah seperti orang kesurupan tak berhentinya menggaruk.
Rendy memutuskan memeriksa Daus. Rendy meminta Daus membuka bajunya.

Pelan-pelan dibuka ternyata ada dua ekor lintah yang menempel di badannya. Rendy mencongkel lintah yang masih kecil itu, akan tetapi lintah bukanlah mudah untuk dilepaskan saat binatang hitam itu belum kenyang.

“Sabar ya, Us. Tunggu dia kenyang, baru dia lepas nih. Ada dua lagi, Us,” rendy terlihat santai sambil kembali mengisap rokoknya.

Tak lama lintah tadi mulai membesar dan melepaskan diri. Darah muncrat dari bekas gigitan lintah. Rendy mengeluarkan kapas dan plester untuk menutupi luka Daus. Daus menggunakan pakaiannya kembali, setelahnya mereka melanjutkan perjalanan.

Lintah atau orang lokal Kalimantan biasa menyebutnya dengan sebutan Pacat. Pacar biasa ditemukan di dedaunan di dalam hutan. Mereka akan mengisap darah orang yang kebetulan melintas di depannya.

Pacat sulit dilepaskan. Kecuali dia sudah kenyang mengisap darah korban, pacat yang semula kecil akan berubah menjadi bulat gemuk barulah melepaskan diri dari korbannya. Bentuknya sendiri persis cincau hitam yang mengkilap.

Setelah hampir dua jam perjalanan, mereka yang sudah kelelahan, tetap saja menemui jalan buntu. Mereka memutuskan membuat tenda seadanya untuk mereka tidur malam ini.

Begitu mereka selesai membuat tenda, terdengar seperti suara orang memanggil. Sayup-sayup terdengar namun mereka masih mendengar jika orang dari arah kanan mereka terus memanggil.

“Ouyyyy .. ouyyyyy,” mereka saling berpandangan.

Rerumputan di sebelah kanan mereka juga nampak bergerak-gerak selayaknya ada orang yang sedang melangkah disana. Mereka tak bergerak dan hanya mendengarkan saja sembari memperhatikan. Setelahnya, suara itu menghilang begitu saja.

“Apa kamu dengar suara orang memanggil-manggil tadi ya?” tanya Daus. Rendy mengangguk. 

“Sebaiknya kita tutup telinga dan mata saja jika mendengar yang aneh-aneh disini, sebab kita masih belum tahu bagaimana keadaan hutan disini, kita masih baru disini, betul saja kata orangtua tadi yang kita temui di depan jalan menuju hutan, berhati-hati adalah pilihan terbaik saat ini,” kata Rendy mengingatkan.

“Udah deh nggak usah diingatkan soal orangtua itu, jadi pengen ketawa terus bawaannya. Lucu parah,” Rendy hanya memperhatikan Daus yang terus tertawa, Daus yang bergaul ala kota, tidak mungkin mau mempercayai hal-hal berbau takhayul.

“Ya sudah terserah kamu, yang penting aku sudah mengingatkan,” ucap Rendy kesal melihat Daus yang tak berhenti tertawa.

Rendy mulai mengumpulkan ranting-ranting kecil untuk membuat perapian agar dia dapat tidur dengan tenang sebentar malam karena gangguan dari nyamuk-nyamuk hutan.

Suara Daus tiba-tiba terhenti dan matanya melotot melihat kearah depan. Rendy menoleh dan mendapati temannya yang mematung kaku.

“Heiii kenapa kamu, udah kayak orang kesambet jin aja,” senggol Rendy kepada Daus.

Daus tak menyahut, tangannya naik ke atas sejajar dan menunjuk persis di depannya. Rendy mengikuti tunjukkan tangan Daus. Sosok laki-laki tua yang daritadi mereka bicarakan, berdiri disana dengan pandangan tajam kearah mereka.   



Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang