Bab 17 ~ Proses Evakuasi

681 58 1
                                    


“Suara apaan tuh,” tanya Rahman yang mendegar suara teriakan yang cukup keras dan menggema.

Rahman mulai was-was, matanya diarahkan ke sekitar namun tidak ada apa-apa, diapun lantas berjalan cepat menyusul rombongan dan mencoba berjalan beriringan dengan Bambang, Petugas dari Kepolisian tersebut.

Sedangkan Bambang nampak lebih tenang, begitu juga dengan Petugas Medis lainnya. Sedangkan Rahman dan Suharto terlihat lebih mulai merasakan ketakutan, bulu kuduk merinding.

Tak lama terdengar suara teriakan kembali yang datang dari arah belakang mereka, semak belukar yang ada di belakang nampak bergoyang-goyang. Rombongan pun berhenti, melihat dan menunggu.

Beberapa menit kemudian muncullah Rendy dan Darham yang berlarian mengejar rombongan.
Begitu sampai di hadapan mereka, napas mereka tersengal-sengal tak beraturan. Mereka tak lagi bisa berbicara, hanya tangan mereka menunjuk-nunjuk kearah belakang. Rahman dan Suharto penasaran.

“Ada apa sih? Kenapa kalian berlarian seperti habis melihat penampakan setan atau jin gitu,” Suharto melihat wajah mereka yang penuh dengan peluh.

“Kami .. kami .. kami melihat Daus tadi di depan mobil, dia berbicara sama kami tadi. Makanya kami lari kesini,” jawab Rendy. Darham hanya sibuk meludah ke tanah berusaha mengatur napasnya.

“Lohh, apa kalian yakin? Bukannya kalian juga yang bilang kalau Daus sudah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, terus mengapa kalian bilang baru bertemu dengannya. Sebenarnya Daus itu sudah meninggal apa belum?” Bambang bertanya, kurang yakin.

“Dia sudah meninggal, Pak. Sumpah, kami bertiga yang menemukan mayatnya maghrib tadi dan sudah kami angkat di pinggir sungai, mayatnya menyangkut di pohon nipah. Kami bertiga nggak mungkin salah melihat. Biarpun sudah gelap maghrib, tapi kami pakai senter dan kami bisa melihat mayatnya sudah penuh dengan belatung, jadi dia bener-bener sudah mati,” jawab Rendy. Darham dan Rahman kompak mengangguk.

“Jadi... yang barusan kalian lihat itu apa?” Mereka bertiga terdiam, tak menyahut.

“Sudahlah, Pak. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Sepertinya cuaca tidak baik dan mungkin sebentar lagi mau hujan, sudah beberapa kali kilat terlihat. Sebaiknya kita mempercepat langkah kita supaya cepat sampai di sungai, tempat mereka menemukan mayat Daus,” ajak Suharto.

Rombongan pun melanjutkan perjalanan dengan diam dan langkah yang sedikit cepat. Tak lama mereka sampai di kawasan tenda yang mereka dirikan untuk mereka menginap. Mereka hanya memandang sekilas dan tetap fokus melanjutkan berjalan menuju sungai.

Beberapa menit berselang, mereka sampai di sungai tempat dimana mereka menaruh mayat Daus. Anehnya, mayat Daus tidak ada di sana, mereka pun mencari-cari di sekitar. Tetap nihil. Akhirnya, Darham menyarankan agar rombongan mengarahkan senter ke sekitar pohon nipah, benar saja mayat Daus masih teronggok di sana.

“Kok bisa ya masih ada di sana, bukannya jelas-jelas tadi kita mengangkatnya ke pinggir sungai. Dan kita lihat sendiri bagaimana rupa wajahnya yang penuh belatung itu, bau busuk pula sampai kita semua mual dan muntah. Ditambah lagi Rendy aja sampai pake acara pingsan segala. Bener-bener aneh,” lirih Rahman.

“Sepertinya apa yang kita lakukan sia-sia karena tuh mayat Daus tetap kembali ke tempatnya. Apa memang dia maunya diangkat sama Petugas ya biar afdol. Daus ini memang gampang bikin kita keki, bikin kesal aja dia. Sudah capek-capek mengangkat dia malah kembali lagi ke tempat semula,” keluh Rendy.

Darham menyuruh Rendy untuk diam. Darham menunjuk dengan bibirnya kearah pohon nipah. Di bawah pohon nipah ada mayat Daus disana, tapi Daus juga terlihat berdiri dan menatap tubuhnya dari atas. Tatapannya sangat sendu. Rendy bergidik ngeri. Bulu kuduknya meremang.

Petugas Kepolisian sebanyak dua orang dengan dibantu Petugas Medis mulai melakukan evakuasi terhadap jenasah Daus. Rahman, Rendy dan Darham juga Bos mereka, Suharto hanya memandang dari bantaran sungai.

Para Petugas dengan sigap menyeberangi sungai dan menghampiri jenasah Daus. Tak terlihat mereka geli ataupun merasakan bau dari tubuh Daus. Mereka pelan-pelan membawa mayat Daus sampai ke pinggir sungai. Saat sampai di tanah. Mereka bertiga memperhatikan dengan seksama, wajah Daus memang tidak ada yang berubah saat mereka menemukannya pertama kalinya. Wajah yang hancur dan penuh belatung.

“Tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama saat kita pertama kali menemukan dia,” sebut Rendy. Darham dan Rahman mengangguk setuju.

“Tapi, apa yang dia genggam itu? Coba lihat tangannya seperti menggengam sesuatu, penasaran mau lihat tapi aku  nggak berani,” lirih Rahman.

Rendy dan Darham memperhatikan. Benar saja, Daus menggengam sesuatu dengan sangat erat. Darham benar-benar penasaran, dia mendekat dan mencoba membuka tangan Daus namun tangan Daus sangat kaku dan sulit untuk dibuka. Rendy menarik baju Darham.

“Udahlah, nggak usah dibuka-buka. Takutnya dia nanti bangun tiba-tiba terus gentayangan dan mengejar kita kembali, gimana ?”  ucap Rendy. Darham pun mengurungkan niatnya.

Para Petugas keluar dari dalam air, kemudian mereka menyiapkan peralatan berupa brankar yang bisa dilipat yang sedari tadi memang mereka bawa. Setelahnya jenasah Daus diikat di tiap sisi  brankar kemudian barankar pun mulai diangkat. Petugas Medis begitu sigap melakukan tugasnya.

“Pak, coba tanyakan pada Pak Bambang, itu yang ditangan Daus apaan, kayak ada yang digenggamnya kuat, tapi kita nggak tahu itu apa?” Rahman berbisik kepada Suharto.

“Yang namanya mayat sama seperti anak yang baru lahir, mereka biasanya menggengam. Paling juga tidak ada apa-apa ditangannya, sudahlah .. kita cepat-cepat saja berjalan pulang, aku sudah mengantuk sekali,” sahut Suharto mengacuhkan kata-kata Rahman. Rahman akhirnya memilih diam.

Baru saja mereka melangkah, suara yang sudah sangat di hapal oleh Rendy terdengar. Suara Hantu Bilau begitu sangat nyaring. Biasanya posisinya sangat dekat dengan mereka.

“Ouyyyyy .. Ouyyyyyy,” Rendy langsung merapat dengan rombongan begitu juga dengan Darham.

“Suara apa itu!” pekik Suharto yang belum terbiasa mendengar suara Hantu Bilau.

“Hantu Bilau, Pak, hantu yang biasanya menyesatkan jalan kita di dalam hutan,” ujar Darham. Suharto ketakutan.

“Kita tetap dalam barisan dan jangan ada yang duluan atau tertinggal di belakang. Insha Allah kita akan sampai pada tujuan, jangan lupa berdoa,” ujar Bambang mengingatkan. Mereka mengikuti arahannya.

Suara Hantu Bilau sudah tak terdengar lagi, mereka terus fokus menemukan jalan kembali pulang. selang hampir satu jam , mereka pun sampai di depan Hutan dan dengan mudah mengevakuasi jenasah Daus yang diletakkan di dalam mobil.

Beberapa mobil untuk proses evakuasi jenasah Daus pun pelan-pelan meninggalkan Hutan Kalimantan. Rendy, Darham dan Rahman dengan jelas melihat Daus dari kejauhan melambai ke arah mereka. Mereka diam hanya saling bertatap-tatapan dengan segudang pikiran mereka masing-masing.    

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang