Bab 22 ~ Teror

677 54 0
                                    


“Sudahlah, Ren. Mumpung mereka sedang mengantar Jenasah Daus ke Bandara untuk dikembalikan kepada keluarganya mending kita gunakan kesempatan ini beristirahat sebab besok pagi lah baru kita mencari pondok perempuan yang katanya Pemilik kalung ini, kalau perempuannya bening. Bisalah kita bermalam barang semalam atau dua malam disana,” tukas Rahman.

“Ya, boleh aja menginap di sana, setelah itu kamu menyusul Daus menuju ke pangkuan Sang Ilahi, mau kamu !!” sengit Rendy. Rahman malah tergelak tertawa.

Dia mengira jika Rendy hanya kesal karena di perintahkan mengembalikan kalung dan kembali ke dalam hutan. Padahal apa yang dikatakan oleh Rendy memang benar adanya. Rahman maupun Darham belum mengetahui mengenai hal ini.

Rendy, Rahman dan Darham menuju ke kamar dan kembali membawa peralatan mandi. Mereka bersiap melaksanakan ritual mandinya, setelah semalaman lelah di kejar-kejar roh Daus. Setelah selesai, mereka menuju ke dapur Basecamp. Disana sudah ada beberapa karyawan yang bersiap sarapan pagi dan akan bertugas masing-masing sesuai tupoksinya.

“Man, apa benar kami dengar katanya Si Daus menghantui kalian selama di Hutan? Terus dia ada ngomong-ngomong apa gitu bagaimana dia bisa mati,” ujar Nanang, Kepala Bagian Penanaman.

“Ngomong-ngomong, kau pikir Hantu Si Daus mau berghibah, menggosip gitu, ehhh Man, kamu tau nggak ? aku matinya karena apa? Begitu dia ngomongnya, ngawur kami,” Rahman mendengus kesal. Rendy dan Darham tertawa renyah mendengar jawaban Rahman.

“Yeeee, dia marah.. kan aku cuma nanya, apa emangnya aku salah?” Nanang balik menyengit.

“Lagian kamu juga, Nang. Pertanyaan kamu tuh aneh. Mana ada sejarahnya kita ketemu Hantu pake acara ngobrol-ngobrol sambil rujakan, ya .. nggak mungkin lah. Dengar suaranya dikit aja atau melihat penampakannya, dipastikan kami terbirit-birit, lari sekencang mungkin,” sahut Rendy.

“Ya, sangking takutnya. Sampai-sampai duri sudah menempel di kaki, di tangan nggak ada yang dipedulikan. Sudah suasana aman, sakitnya baru terasa. Begitu tuh kalau pengalaman ketemu Hantu atau makhluk gaib,” jelas Darham menggebu-gebu. Nanang mencebikkan bibirnya yang tebal dan hitam itu.

“Jika penampakannya kayak Daus barusan sudah pasti aku mencicing lari ketakutan, tapi seandainya penampakannya cewek bening, mulus, cantik boleh lah diajak kencan sekalian,” sahut Nanang sambil tertawa.

“Idihhh ..berarti kamu suka tuh modelan kayak si Ridwan, perawat yang tulangnya lunak, lemah gemulai. Dia jelmaan setengah dewa, setengah cewek dan sebagian lagi cowok. Bening juga tuh dia, bisa tuh ketemu dia nanti pas keluar dari hutan. sekalian kamu ajak kencan, Banggggg .. minta satenya seribu tusuk,” ujar Rendy menirukan adegan hantu di film.

Trio Rendy, Rahman juga Darham kontan tertawa, mereka terpingkal-pingkal menertawakan Nanang. Memang karyawan di basecamp seratus persen seluruhnya adalah laki-laki.

Tak heran, mereka terbiasa berbicara ceplas ceplos, langsung tanpa basa basi. Dan apapun itu, selalu mereka tanggapi dengan candaan, sekedar hiburan bagi mereka yang bertugas di tengah hutan setiap harinya dan jauh dari keluarga.

“Ya, lihat aja nanti. Si Ridwan datang pasti langsung aku bawa kencan. Mau ku banting-banting dia, biar dia teler dan puassss,” jawab Nanang sekenanya, tak mau kalah. Trio tadi semakin mengeraskan suara tawanya.

“Jadi pengen rupanya orang satu ini, efek melihat lato-lato si Ridwan yang bergelantungan tadi, hahaha.. Secara petugas medis itu juga masih muda, Bro, masih Fresh graduate alias baru lulusan sekolah. Biasanya napsunya masih menggebu-gebu, kamu main banting melawan pedang dengan pedang pun pasti dijabaninya, ntar malam kalau kita dengar ada suara gaduh di kamar si Nanang cuekin aja ya, pasti dia lagi seru-serunya ntar,” Rahman menimpali.

Rendy dan Darham semakin tidak terkontrol, mereka terus tergelak. Mba Rindu meminta mereka untuk diam dan duduk sarapan, karena sarapan sudah selesai dibuatkan oleh tukang masak, janda seksi nan cantik itu.

Mereka bertiga langsung duduk dan tenang saat menikmati sarapan. Setelah bercanda-canda dengan Mba Rindu yang mereka rindukan, mereka pun kembali ke kamar dan tak lama Rahman, Rendy dan Darham pun terlelap di satu kamar, kamar milik Rahman yang cukup luas ketimbang kamar milik Darham ataupun Rendy.

Mereka bertiga terbangun ketika mendengar ada suara orang yang berteriak-teriak meminta tolong, mereka bangun dengan mata yang masih sulit terbuka, menahan kantuk. Rendy menatap jam di dinding. Tak terasa mereka tidur seharian, dan baru terbangun pada Pukul tujuh malam.

“Gila ya, lama banget kita tidurnya. Itu ada apa di luar ada rame-rame,” tanya Rendy. Darham dan Rahman kompak menggelengkan kepalanya.

Mereka bergegas menuju halaman basecamp dimana arah suara meminta tolong berasal. Begitu mereka kesana, sudah banyak orang-orang berkumpul di sana. Beberapa Karyawan termasuk Nanang menghadapi warga lokal yang datang ke basecamp.

“Ada apa?” tanya Rendy menghampiri Nanang. Diikuti oleh Darham dan Rahman.  Nanang diam tak menyahut, dia asik menyimak apa yang dikatakan oleh warga lokal tersebut.

“Sejak siang tadi, kami tidak tenang karena kami didatangi laki-laki tapi kayak perempuan juga gayanya, agak bingung juga itu laki atau bencong (waria). Dia bergelantungan di pohon. Dia bilang dia kelaparan, Dia datang ke kandang ayam kami dan beberapa ayam kami langsung mati dengan posisi semua lehernya rusak seperti habis dikerat sama benda tajam dan darahnya habis, entah diapakan sama makhluk itu. Kami minta tolong, kasih kami perlindungan karena terus terang kami takut kejadian puluhan tahun yang lalu terulang lagi,” beber laki-laki paruh baya itu.

Dari wajahnya, dia terlihat habis berlari ketakutan. Dia datang bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil berumur sekitar lima tahunan. Rendy, Rahman dan Darham saling berpandang-pandangan. Nanang wajahnya memucat pasi.

“Bapak tinggal dimana?” tanya Rendy penasaran.

“Kami tinggal kira-kira dua kilo dari camp ini, kami menanam jagung, beras dan sayuran lain. Sedangkan untuk kebutuhan kami makan, kami memelihara ayam. Tapi semua ayam kami beberapa mati di kandang dan kami takut dengan kejadian ini, istri ku sudah tidak mau tinggal lagi sendirian di rumah kami, takut katanya. Kami datang kesini, meminta tolong supaya kami diijinkan tinggal sementara di sini sampai keadaannya aman,” pintanya.

“Nama Bapak siapa?” tanya Rahman.

“Nama ku Balang, ini istri ku Alus,” katanya memperkenalkan diri.

“Sebaiknya Bapak sama Ibu juga anak Bapak, naik dulu ke dalam, kami akan meminta ijin kepada pimpinan mengenai keinginan Bapak beserta keluarga yang ingin mengungsi dulu di basecamp kami. Nang, kamu bawa Bapak ini ke dapur dan kasih makan dulu... biar aku sama Rendy dan Darham meminta ijin ke Pak Bima,” titah Rahman. Nanang menurut.

“Ayo, kita harus ketemu Pak Bima dulu, karena Pak Suharto sedang jalan ke kota mengantar Jenasah Daus ke Bandara kan, kita harus meminta ijinnya cepat. Kasihan juga keluarga tadi, kelihatan sekali mereka ketakutan,” ujar Rahman. Rendy dan Darham manggut-manggut.

Sementara Nanang membawa Pak Balang bersama istrinya, Alus juga anaknya ke dapur untuk memberinya makan. Di sana ada beberapa karyawan yang sedang menyantap makan malam. Balang dan Alus mengambil bangku yang paling tengah yakni di antara para karyawan.

Debugggg …debuggg ..debuggg..

Terdengar seperti suara orang sedang memanjat atap dan melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka yang sedang asik menikmati makan malam menjadi tertunda, mereka was-was sambil memperhatikan langit-langit yang tidak berplafon tersebut.

“Apa itu !!!” tunjuk Alus, Ibu si warga lokal itu.

Tatapan Nanang melihat persis tak jauh dari tengah-tengah atap bergerak, atap dari seng itu mulai terbuka perlahan. Tidak bisa dibayangkan, seng yang berpaku kuat hanya dengan sekali tarikan langsung terbuka menciptakan lubang panjang.

Dari tempat itu nampak sepasang mata semerah darah dan liurnya menetes hingga terkena lantai dapur. Mereka terkesiap kaget dan menyatu di satu tempat. Mba Rindu yang paling heboh berteriak. 

“Arhkkkkk … arkhkkkkk .. pergiiii .. tolongggg,” teriaknya sambil memeluk tiang penyangga dapur.


  

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang