Bab 21 ~ Membersihkan Jenasah

704 53 1
                                    


“Hahhhhhh..,” Kompak mereka kaget. Rendy, Rahman dan Darham yang sejak tadi bercanda, auto terdiam.
Mereka tak menyangka sama sekali.

“Bagaimana sudah ini? Setiap hari harus berhadapan dengan yang begini-begini terus,” ujar Suharto.

“Begini saja, untuk urusan Ridwan. Setelah hari sudah mulai terang, kita akan mulai mencarinya. Jika sampai dalam 1x 24 jam ini, Beliau belum diketemukan sebaiknya laporkan saja ke pihak keluarganya. Namun proses pencarian akan tetap kami lakukan bersama dengan personel nanti dan bantuan Kai Hasan,” ujar Bambang yang sedari tadi hanya diam terpaku di tempatnya.

“Baiklah, kalau begitu kita urus jenasah Daus terlebih dahulu. Karena Ridwan sudah tidak ada. Untuk kalian bertiga bantu satu orang Petugas Medis untuk membersihkan mayat Daus,” Trio Petugas Survey langsung lemes mendengar perintah Suharto.

Bersama-sama mereka mengangkat jenasah Daus. Ketika melewati kerumunan karyawan yang menonton, sebagian harus menutup hidung mereka karena tidak tahan dengan bau busuk yang keluar dari tubuh Daus. Dan sebagian lagi melongo melihat wajah Daus yang hancur dipenuhi dengan belatung.
Saat sudah sampai di belakang Basecamp, tempat dulu Rendy melihat Daus memakan tikus hidup, Daus siap untuk dimandikan dan dibersihkan. Beberapa orang lagi membantu mengangkatkan meja panjang untuk dipakaikan buat alas mandi Daus.

Mayat Daus diletakkan di atas meja panjang dengan melepas tandu lipatnya. Pelan-pelan sekali mereka melakukannya, sebab jenasah Daus sebagian sudah membusuk dan rapuh. Suharto memerintahkan kepada sebagian karyawannya untuk mengumpulkan parfum yang masih ada untuk proses pemandian. Mereka melakukan pemandian dengan seadanya. Melepas baju yang dikenakan Daus dengan menggunakan gunting. Lalu setelah memandikan, digunakan kain untuk menutup tubuhnya.

Rendy sempat kaget saat melihat bercak tubuh Daus, persis seperti apa yang pernah dia lihat di belakang tubuh Inuy. Bercak seperti lukisan burung namun abstrak, tak jelas. Dia hanya diam saja, tak memberitahukan kepada yang lain.

Mengingat proses pemandian jenasah harus dilakukan dengan khidmat.
Setelah itu, jenasah diangkat dan di sholatkan di mushola basecamp. Dan Jenasah Daus siap diantarkan kepada keluarganya. Suharto telah lebih dulu menghubungi istrinya, Shinta. Jika tidak ada kendala maka Jenasah Daus sudah diterima pada sore hari.

“Apa kata istrinya?” tanya Rendy kepada Suharto. Suharto menghela napas panjang.

“Istrinya shock pasti dan sempat juga pingsan beberapa kali, jadi aku tadi sempat menghubunginya sebentar. Sisanya adik dari Daus yang menerimanya, Dedi kalau nggak salah namanya,” Rendy menatap kosong ke lantai, memikirkan nasib keluarga Daus yang ditunggu pulang dari bertugas, telah menjadi mayat.

“Mereka itu baru menikah sekitar setahun lebih, dan yang ku dengar istrinya ikut program bayi tabung karena katanya istrinya yang bermasalah. Kasihan istrinya pasti sangat sedih sekarang ini,” gumam Rendy.

Tak lama pesan masuk dari ponselnya, ternyata istri Rendy yang menghubungi, dia menanyakan kabar Daus. Rendy malas mengetik pesan. Dia langsung menghubungi istrinya, Nilam.

“Assalamualaikum, Sayang. Soal Daus, jenasahnya sudah dimandikan dan mungkin sore ini juga udah sampai ke tangan keluarganya. Kami baru selesai memandikan dan menyolatinya,” Nilam juga shock mendengar kabar Daus.

“Kapan mulai meninggalnya, Mas?” tanya Nilam.

“Kalau dilihat dari pakaian yang dia pakai, kemungkinan dia sudah meninggal dunia sekitar empat atau lima hari yang lalu,” sahut Rendy.

“Lohh .. kok bisa begitu?” Nilam seakan tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Suaminya.

“Ya, bisalah karena sebelumnya kami sempat kehilangan Daus, begitu ditemukan dia sudah ada di antara pohon nipah di sungai, dan sudah dalam keadaan tidak bernyawa,” jelas Rendy.

“Bukan begitu, Mas. Shinta cerita kalau semalam, Si Daus sudah pulang dari beberapa hari yang lalu dan mereka sudah beberapa kali dinner gitu, makan di luar. Makanya aku sempat heran, kalian partner tapi kok Daus pulang sendiri. Aku sudah sejak kemarin berusaha menghubungi kamu, tapi ponsel mu nggak aktif. Makanya tadi pas denger Shinta bilang dia dapat kabar Daus sudah meninggal beberapa hari yang lalu di camp, dia dan aku jadi bingung, karena sejak kemarin nggak bisa telpon, ya udah aku coba aja kirim pesan, ehh ternyata aktif,” Penjelasan Nilam membuatnya pusing, melayang.

“Ya, maaf Sayang. Beberapa hari ponsel Mas matikan karena kalau dalam hutan juga buat apa dinyalakan, nggak ada sinyal jadi Mas hanya fokus sama tugas, ini ponsel aktif karena Mas sudah kembali ke basecamp makanya ada jaringan di sini, udah dulu ya. Nanti Mas jelaskan semuanya,” tutup Rendy. Kepalanya langsung berdenyut nyeri.

Rendy memanggil Darham dan Rahman untuk berbicara penting. Mereka menjauh sebentar dari Suharto, Bambang dan lainnya.

“Shinta, istrinya Daus tadi di telpon sama Pak Suharto seakan tak percaya suaminya sudah meninggal dunia, sebab beberapa hari ini Daus sudah pulang ke rumahnya dan mereka mesra sekali pake acara Dinner segala tiap malam, istri ku yang menyampaikan ini juga masih tak percaya karena katanya Daus sudah pulang beberapa hari yang lalu,” ujar Rendy. Rahman dan Darham benar-benar kaget.

“Selain menghantui kita di sini, ternyata dia datang juga ke tempat istrinya ya, hebat juga si Daus bisa ada dimana-mana, nggak heran istrinya pingsan terus kata Pak Suharto, karena begitu istrinya tahu dia meninggal, nggak kebayang sedang bersama roh penasaran selama beberapa malam, kira-kira mereka ketemu wik – wik an nggak ya?” tanya Rahman. Rendy lantas menoyor kepala temannya itu. Dia tak peduli jika Rahman lebih tinggi jabatannya ketimbang dia.

“Masih sempat-sempatnya kamu mikir dia wik - wik apa nggaknya sama bininya. Tapi.. iya juga sih.. yang namanya kita lama nggak ketemu apalagi tugasnya di hutan, pulang-pulang pasti langsung wik – wik lah, ehhh kok aku jadi ikut-ikutan ya, sialan kamu, Man, bikin pikiran ku travelling kemana-mana,” Rahman tertawa puas.

“Kalau aku malah mikirnya, Si Daus punya ilmu membelah diri makanya dia bisa ada di mana-mana, kayak anime gitu. Pakai ilmu apa dia itu,” Rendy dan Rahman tergelak mendengar candaan Darham.

“Mau kamu punya ilmu hebat begitu, mati dulu kau, Ham. Baru bisa membelah diri, hahahaha,” Rendy dan Rahman menutup mulutnya ketika rombongan Jenasah melewati mereka. Suharto berhenti menghampiri mereka bertiga.

“Kalian sedang bahas apa? Kalian bertiga kali ini tidak akan aku suruh untuk mendampingi Jenasah Daus yang akan diantar ke Bandara. Tapi tugas kalian, mulai besok harus mengantar kembali kalung yang ada di genggaman Daus sebelumnya. Kalungnya masih adakan sama kalian?” Mereka bertiga kompak merogoh kantong celana, ternyata ada di celana Rahman. Rahman pun kemudian mengangguk.

“Ingat ya, harus dikembalikan ke tempatnya dan wajib ketemu langsung sama yang punya kalung, jika tidak maka kalian yang akan terima akibatnya,” ancam Suharto. Rendy tak terima.

“Siapa yang mengambil, siapa yang mengembalikan. Tapi, kok malah kami yang harus menerima akibatnya, Bos suka ngomong sembarangan, udah syukur kami bersedia mengembalikan ini barang dan kembali lagi masuk ke dalam hutan yang jelas-jelas bisa menghilangkan nyawa. Kami ini harus bertaruh nyawa hanya untuk mengembalikan barang yang diambil oleh Daus,” sebut Rendy.

“Husssttt.. kamu jangan ribut dan nggak usah lagi menyebut-nyebut namanya. Apa mau kalian entar malam dia datang lagi?” Rendy bungkam. Matanya mendelik sinis, Kesal. Suharto berlalu pergi.

“Dunia ini betul-betul nggak adil, bukan kita yang berbuat, tapi kita yang malah harus bertanggung jawab. Kalian tau sendiri kan gimana hutan itu tapi malah tugas berat diserahkan kita kembali, nasib ..nasib,” keluh Rendy. Rahman dan Darham mematung.

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang