Bab 27 ~ Di luar Nalar

673 50 0
                                    


Pak Balang dan Bu Alus bergidik ngeri melihat kenyataan di depan mereka. Nanang berubah menjadi orang yang sangat menakutkan dengan kulit yang terbuka hampir ke seluruh tubuhnya. Setelah selesai dengan tubuhnya, kini Nanang beralih membuka seluruh kulit wajahnya satu persatu.

Bu Alus ingin berteriak, namun segera di cegah oleh suaminya. Dia tak ingin suara istrinya dapat menarik perhatian Nanang nantinya. Begitu asyiknya Nanang mengupas kulit wajahnya.

Tak lama terdengar suara langkah yang cukup ramai dari arah kamar yang lain. Nanang melihat ke arah suara, beberapa detik kemudian, dia langsung bersembunyi di kolong basecamp.

“Heiii, ngapain Pak Balang? Main petak umpet? Ini udah tengah malam mau menuju pagi,” suara Darham mengagetkan Pak Balang dan Bu Alus yang bersembunyi di balik tirai jendela kamar yang mereka tempati.

Pak Balang terlihat kikuk, ketahuan. Namun dia merasa lega karena kedatangan trio petugas survey itu. Karena tingkah suami istri yang kelihatan mencurigakan ini membuat Darham, Rendy dan Rahman berhenti ikut memperhatikan arah yang dilihat oleh mereka.

“Lihat apa, Pak? Apa ada melihat sesuatu,” tanya Darham lagi memastikan.

“Disitu tadi ada Nanang, duduk diam sendiri sambil ..,” Pak Balang tak berani meneruskan kalimatnya sebab tiba-tiba saja Nanang keluar dari tempat persembunyiannya dan melewati mereka kemudian dengan tanpa banyak bicara masuk ke dalam kamarnya. Menghempas pintu dengan sangat keras. Pak Balang meneguk salivanya. Takut.

Pasalnya, dengan mata kepala Pak Balang dan Bu Alus, Nanang yang tadinya badannya hancur karena terkelupas seluruh kulitnya juga wajahnya yang membuat siapapun akan geli dan ketakutan, ternyata malah Nanang terlihat baik-baik saja, Suami istri ini seakan sedang bermimpi. Tak percaya dengan apa yang mereka lihat barusan.

“Sambil apa, Pak? Sambil memandangi rembulan kah?” Rendy menimpali.

“Nggak .. Nggak apa-apa, Bapak tadi kayaknya salah lihat, kenapa kalian belum tidur, ini sudah jam berapa?” Pak Balang mengalihkan pembicaraan.

“Kami baru selesai main catur, karena lapar makanya kami mau masak mie instant plus telor ceplok, kenyang juga paling kami tidur kembali,” sahut Rahman. Matanya menatap tak berkedip melihat ke kamar Nanang.

‘Oya sudah, kami juga mau tidur kembali, sampai ketemu besok pagi,” tutup Pak Balang, dia lantas menutup pintu dan menguncinya.

Rendy, Darham dan Rahman gegas menuju dapur untuk membuat makanan tengah malam mereka. Darham yang bertugas memasak mie instantnya. Dia cekatan soal masak memasak di dapur, beberapa menit kemudian mereka sudah mulai menyantap masakan Darham.

“Ehh, kalian nggak merasa curiga dengan kelakuan Nanang tadi, terus kok aku sempat melihat matanya  kayak mata si Ridwan saat dia ketempelan. Apa kira-kira dia ketempelan juga ya,  karena terus terang aja masih ingat pengalaman kita sama si Ridwan itu, jangan sampai kejadian lagi, tapi tetap saja masih ku pikirkan ada yang berbeda dengan Nanang kali ini,” lirih Rahman.

“Waduh, sudah-sudah lah jangan ungkit masalah itu lagi, Kita ini baru saja beberapa jam yang lalu bebas dari hal begituan, masa mau diungkit lagi. Ini aja kita bersyukur kayaknya Pak Suharto sudah mulai lupa menyuruh kita masuk kembali ke hutan kalimantan untuk mengembalikan kalung yang dicuri Daus waktu itu, hehehe,” tukas Rendy.

“Ya juga ya, tumben dia lupa, semoga saja dia lupa selamanya jadi kita udah nggak perlu lagi masuk hutan situ, aku jadi seram jika ingat pengalaman tak menyenangkan kita, Bayangkan ya kita setiap harinya harus mengalami teror yang nggak karuan, yang datangnya dari teman kita sendiri,” urai Rahman.

“Ya, ditambah lagi rasa air kopi yang bau busuk dan bau lumpur, ternyata airnya di ambil si Rendy dari air sungai tempat rendaman mayat si Daus, lengkap sudah penderitaan kita. Belum lagi sampai sekarang masih ku pikirkan darimana datangnya Payau itu dan dimasak, besoknya malah ludes seakan-akan kita tidak pernah memasak apalagi memakan daging itu, banyak sekali kejadian-kejadian di luar nalar kita, seram,” sahut Darham. Rahman mengangguk.

“Soal air sungai itu, aku memang biasa mengambilnya waktu pertama kali sama Daus masuk survey itu, jadi aku ambil kembali ke sana, dan aku juga sumpah nggak tahu ada mayat Daus di sana, nggak mungkin juga aku tetap nekat bikin air kopi dari air mayat, karena aku sendiri juga ikut menyeruput,” Mereka pun kompak tertawa.

“Enak juga makan tengah malam gini, lega rasanya perut. Nggak lama mata sudah merem melek mengantuk,” kata Rahman. Rendy dan Darham mengangguk.

Selesai makan, mereka kembali ke kamar untuk beristirahat, hanya sebentar saja ketiga petugas survey itu sudah terbuai ke alam mimpi.
Begitu membuka mata, Rendy kaget karena semua keadaan di dalam kamar gelap tanpa adanya penerangan. Tak lama Rahman dan Darham ikut terbangun. Mereka mulai mencari-cari Handphone agar dapat menyalakan senter dan membuat penerangan di kamar mereka.

“Mati lampu ya, Ren?” tanya Darham.

“Ya, mati lampu. Mana juga Pak Toto nih! biasanya dia yang punya jadwal urus mesin genset, masa kita mau gelap-gelapan begini, mana panas lagi keadaan kamar,” gerutu Rahman.

Sebentar saja, masing-masing sudah memegang Handphonenya dan mulai menyalakan senter pada Handphonenya. Seketika mereka terdiam, kompak mereka melihat sekelebat bayangan yang sangat cepat lewat persis di depan jendela.

“Kamu liat nggak apa yang aku liat?” bisik Rendy kepada kedua temannya.

“Ya, kayak ada bayangan tapi kayak orang lari cepat, herannya nggak ada suara orang melangkah. Kira-kira itu apa ya?” tanya Darham.

“Jangan bilang itu hantu, bisa mati berdiri kita tiap hari yang diliat itu-itu aja, capek dan bosan aku,” sahut Rahman.

“Kau pikir hubungan mu sama pacar mu? Pake acara capek dan bosan, kita takutnya memang itu hantu tapi nggak tahu pula apa itu si Ridwan lagi, tapi rasanya nggak mungkin sebab si tulang lunak sudah diurus sama Kai Hasan dan dia benar-benar tidur sekamar dengan Kai Hasan dan Pak Bambang, mau macam-macam dia. Kai Hasan bisa obati dia segera, Pak Bambang bisa langsung dor dia kalau macam-macam,” jelas Rendy.

“Ya juga ya, terus yang tadi itu siapa? Bayangan siapa lagi? Apa kita cek aja keluar, Siapa tahu hantunya perempuan cantik yang bisa dibawa kencan,” imbuh Rahman.

“Hisss .. jangan macam-macam lah main cek segala. Ntar yang ada kita yang dikejar-kejar sama hantunya. Gaya mu, Man. Manusia biasa aja malas berurusan sama kamu yang sok ngebos itu apalagi hantu, capek dan bosan keles mau kencan sama kamu, paling juga diajak main catur,” ucapan Rendy membuat Darham tergelak. Rahman mencebikkan bibirnya.

“Tapi aku penasaran, nggak ada salahnya juga kita periksa. Ayo lah,” ajak Darham.

Memang Darham, soal keberaniannya jika dinilai dari rate 1 sampai 10, nilainya mencapai 7 sedangkan kedua temannya masih di bawah 5. Meski terkadang mereka kompak berlarian menghindari kejaran hantu. Takut bersama, berusaha berani pun bersama. Tak heran, karena kejadian di hutan kalimantan membuat ketiganya akrab.

Mereka melangkah pelan meninggalkan tempat tidur mereka, membawa senter Handphone di tangan mereka. Pelan sekali Rendy menggapai gagang pintu, membukanya kemudian mereka mulai mengintip keadaan di luar camp. Masih sangat sepi, tak ada siapapun. Keadaan di luar sangat terang, sementara hanya di kamar mereka yang lampunya padam.

“Itu.. itu apa !” pekik Darham.

Wajahnya tegang melihat ke bawah tanah. Rendy dan Rahman menoleh ke arah tunjukkan tangan Darham.
Terlihat ada seseorang yang sedang membelakangi mereka, dan dia terlihat bergerak terus menerus, seperti ada sesuatu yang dia lakukan.

Mereka terus memperhatikan tanpa bersuara, orang tersebut bangkit dari posisi duduknya, dia berdiri dan agak menyamping sehingga mereka leluasa melihat apa yang dia lakukan.
Mereka melihat dengan sangat jelas, Nanang menggaruk tangan dan badannya tanpa jeda.

Sampai kulit-kulit tangan hingga perutnya terkelupas habis, hanya tinggal menyisakan dagingnya saja berwarna merah muda mengkilap. Setelahnya, Nanang menggaruk wajahnya dan melakukan hal yang sama.

Mereka bertiga ketakutan, apalagi saat Nanang menoleh dan mulai memperhatikan mereka, Napas mereka memburu, sesaat kemudian mereka langsung menutup pintu dengan sangat keras, mengunci dan naik ke atas ranjang, bersembunyi dalam selimut masing-masing.

Tok … Tok … Tok … suara ketukan keras di pintu membuat mereka semakin ketakutan. Keringat terus bercucuran dari dahi mereka, tangan mereka gemetaran. 

“Rendy.. Rahman.. Darham .. bukain pintu dong, biarkan aku masuk,” pinta Nanang dengan suara berat seperti robot.

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang