Bab 11 ~ Penampakan Makhluk Astral Part 2

723 56 0
                                    


Semua mata tertuju pada hadapan Rendy, Daus, Darham dan Rahman. Mereka melihat Seorang laki-laki dan perempuan yang usianya sudah senja berpakaian serba hitam, sedang menatap kearah mereka. Darham maju, menghampiri mereka dan mulai berbicara.

“Yaki, Yadu. Damo mencail ka, sama mu Mita damo nupo macom-macom,” Laki-laki dan perempuan usia senja tadi lantas mengangguk, dia memberikan sesuatu ke tangan Darham, Darham menerimanya. Kemudian mereka menghilang.

“Mereka itu siapa?” tanya Rendy penasaran. Darham membuka genggaman tangannya, Di tangan Darham terlihat bungkus kecil ketika dibuka di dalamnya berisi cincin dengan batu permata berwarna biru laut, sangat indah.

“Mereka itu leluhur kami, yang kami tuakan dan hormati,” ujarnya sambil memperhatikan cincin yang sangat unik itu. Darham lantas memakainya. Daus seperti tak senang melihatnya.

“Mereka itu nyata atau bagaimana? Kok bisa tiba-tiba menghilang, terus kamu juga tadi kayaknya lagi ngomong sesuatu sama mereka, apa itu,” tanya Rahman.

“Mereka tidak ada di dalam dunia ini dan mereka hanya menampakkan diri saat perlu saja, mungkin untuk mengingatkan kita dan memberi perlindungan ini, tadi aku hanya minta ijin kita lewat disini, minta mereka supaya tidak marah karena kita tidak macam-macam di hutan sini. Ijin ini penting supaya kita diberi kemudahan dalam menjalankan tugas di Hutan ini,” terang Darham. Yang lain hanya mengangguk-angguk saja.

Rendy dan Rahman tiba-tiba merasakan sakit perut yang luar biasa, bahkan Rendy dan Rahman sampai membungkuk tak tahan dengan sakit yang begitu luar biasa di perut mereka. Peluh bercucuran dari dahi mereka, mereka menahan rasa sakit sehingga wajah mereka pucat pasi.

“Ada apa ini? Kenapa perut ku sakit sekali,” lirih Rendy.

Dia semakin tak tahan, pandangannya berkunang dan akhirnya dia pingsan. Sedangkan Rahman masih bertahan karena Darham tiba-tiba memberikannya air putih untuk diminum. Air yang sudah diberi rendaman cincin pemberian kakek tua tadi.

Anehnya, setelah meminum air rendaman cincin tadi. Nyeri perut Rahman berhenti. Darham melihat kondisi Rendy yang masih pingsan, Berdua dengan Rahman, mereka menggotong Rendy masuk ke dalam tenda. Darham hanya mengusapkan air bekas minum Rahman tadi ke wajah Rendy. Meski begitu, Rendy belum juga siuman.

“Biarkan saja dia beristirahat, sebentar lagi juga dia akan bangun dan jika dia bangun, berikan saja air putih rendaman cincin ini,” sebut Darham. Rahman memperhatikan cincin yang ada di genggaman tangan Darham.

“Ada apa dengan kami? Mengapa tiba-tiba sakit perut yang menjadi-jadi, sedangkan kamu dan Daus tidak apa-apa,” tukas Rahman. Darham mendekatkan diri kearah Rahman.

“Kita salah makan tadi, sepertinya Payau yang kita makan bukanlah binatang yang biasanya, entah itu apa. Nanti aku cari tahu. Kalian berdua terkena sakit perut itu sedangkan aku tidak, mungkin saja pengaruh dari cincin yang kugenggam ini makanya aman, kalau Daus… aku melihat Daus sepertinya ada yang aneh sama dia, tapi aku sendiri juga tidak tahu apa itu,” kata Darham.

Rahman langsung bergidik ngeri. Dia mulai memperhatikan Daus dari kejauhan yang masih asik mengasah parangnya setelah digunakan tadi.

“Sebaiknya hari ini kita istirahat saja, besok pagi saja kita memulai survey nya. Kita juga tidak mungkin mengerjakannya sedangkan waktu sudah menunjukkan Pukul lima sore, sebentar lagi gelap. Kamu jaga Rendy ya, kasih tau aku kalau dia sudah sadar, aku mau mengecek peta dulu memastikan membuat rencana untuk besok pagi,” papar Rahman. Darham mengangguk.

Rahman mengambil tas ransel dan menghampiri Daus. Rahman memperhatikan Daus yang begitu khusyu mengasah parangnya. Dia bahkan tidak menyadari jika Rahman sudah ada di sampingnya.

“Us,, itu parang sudah tajam, sudah-sudahlah mengasahnya. Kenceng amat mengasahnya, memangnya mau berburu lagi? Oya, untuk sore ini kita istirahat saja dan besok pagi-pagi kita memulai surveynya. Kamu setenda sama aku ya dan kita jalan bareng survey besok, aku mau ke tenda dulu buat rencana besok,” Daus tak menyahut, hanya anggukan kepalanya saja yang terlihat. Rahman pun meninggalkannya dan masuk ke dalam tenda.

Sekitar setengah jam, Darham masuk ke tenda Rahman. Dia memberitahukan Rahman jika Rendy sudah sadar dan dia sedikit demam. Namun Darham sudah memberinya air minum rendaman cincin pemberian leluhur Darham.

“Jadi, bagaimana keadaannya. Apa kira-kira besok sudah bisa melaksanakan tugas?” kata Rahman tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya.

“Besok sudah aman, bisa masuk kerja lagi seperti biasanya,” Rahman hanya mengangguk. Dia begitu serius dengan catatan apa yang harus dia dan anggotanya lakukan pada keesokan harinya.

Tak lama, suara ramai-ramai di sebelah tenda Rendy dan Darham. Rahman mencoba mendekatkan kupingnya mencoba mencuri dengar dengan apa yang terjadi. Penasaran karena tidak jelas mendengar, dia meninggalkan catatannya kemudian masuk ke dalam tenda dimana Rendy dan Darham berada.

“Ada apa ini?” tanya Rahman begitu dia tiba di depan tenda mereka.

Darham menoleh. Terlihat wajah cemasnya. Begitu Rahman menengok sebentar ke dalam tenda, dia kaget karena lantai tenda sudah penuh dengan muntahan Rendy berwarna hijau kemerah-merahan dan penuh dengan tulang-tulang. Sama seperti saat dia di Pondok Inuy beberapa waktu yang lalu.

“Lohh, kata mu tadi dia sudah nggak apa-apa, kamu sudah minumkan air rendaman cincin yang dikasih orangtua itu, terus mengapa dia masih muntah-muntah,” Darham mengerutkan alisnya.

“Sejak kapan aku bilang dia baik-baik aja dan sudah memberinya minum air cincin ini. Orang rendy baru aja bangun kok, baru aja dan begitu dia buka mata langsung muntah banyak begini,” jawab Darham. Rahman kaget.

“Jadi … yang ngomong sama aku di tenda tadi siapa, tadi kamu belum ada ke tenda ku nggak barusan ini?” Darham menggelengkan kepalanya.

“Kamu tadi suruh aku jaga Rendy, ya aku jaga dia sampai dia bangun dan aku stay aja disini, belum ada ke tempat mu apalagi sampai ngomong keadaan Rendy baik-baik aja, yakin kamu? Nggak salah orang?” Rahman pusing, dia mulai memikirkan siapa yang tadi berbicara dengannya.

Salah Rahman juga karena sangking sibuknya, dia tidak mendongak dan memperhatikan Darham dan hanya mendengarkan saja pembicaraan Darham dengannya. Dia mulai berpikiran yang tidak-tidak.

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang