Bab 4 ~ Penunggu Pondok

800 57 0
                                    

“Us .. Us .. Daus ! Aduhh nih anak,” Rendy kesal karena Daus hanya menoleh sekilas, tersenyum menggandeng tangan perempuan cantik tadi lalu masuk ke dalam pondok.

Randy bingung antar bertahan di tempatnya dan menjadi bulan-bulanan Hantu Bilau, atau bergabung bersama Daus masuk ke dalam pondok, meski dalam hatinya mengatakan bahwa ada yang ganjil dengan penampakan perempuan cantik tadi.

“Ouyyyy .. Ouyyyy,” terdengar suara hantu Bilau dari kejauhan, Rendy tak lagi berpikir dan langsung memutuskan berlari menuju ke tempat Daud berada. Dia langsung membuka Sepatu Safetynya kemudian masuk ke dalam pondok.

Rendy takjub dengan pemandangan dalam pondok, tempatnya sangat bersih kendati tidak banyak barang yang ada di sana, namun semuanya tertata dengan sangat rapi.

Berbagai macam kedabang sejenis topi untuk orang lokal berladang tersusun di dinding sebagai hiasan dari bentuk yang paling kecil, sedang sampai yang besar. Selain itu ada hiasan dari daun berbentuk kipas yang sangat besar juga menempel di dinding.

Di sebelah kanan dinding sebelahnya terdapat hiasan dari bulu burung yang cukup besar dan berbagai taring babi yang digantung. Cantik namun membuat bulu kuduk Rendy berdiri. Daus dan Rendy dipersilahkan duduk melapak di ruang tengah.

Perempuan tadi meninggalkan mereka menuju dapur. Daus nampak terpana melihat kecantikan perempuan tadi. Dia memang cantik, entah kenapa Rendy tetap merasa ada yang aneh dengan perempuan tadi.

Perempuan tadi keluar dari dapur dengan membawa nampan berisikan dua cangkir kopi dan makanan di piring yang terbuat dari Tepung sagu dan kelapa, lempeng sagu biasa orang lokal menyebutnya. Juga Pisang dan kelapa (Agit).

Rendy dan Daus diminta untuk memakan dan meminum hidangan yang telah dia sediakan. Rendy menolaknya dengan halus.

“Aku masih kenyang, ini aku juga bawa bekal makan jadi aku makan dan minum bekal ku saja,” Perempuan tadi hanya mengangguk. Sedangkan Daus dengan lahapnya memakan semua yang ada di depannya.

“Ini enak sekali, apa kamu yang membuatnya?” tanya Daus. Perempuan tadi mengangguk.

“Muyu intad manay? Ehh maksud ku kamu darimana?” Perempuan itu membuka suaranya.

“Bahasa apa yang kamu gunakan tadi? Kami nggak mengerti .. Ohhh kami tadi keliling mencari jalan menuju ke tenda kami, kami sudah tersesat lama disini tapi belum bisa juga kembali,” jawab Daus. Rendy lagi-lagi hanya diam terus memperhatikan keduanya.


“Maaf ya, Bahasa yang kupakai tadi Bahasa Tidung, bahasa sehari-hari kami yang ada di Kalimantan ini. Aku sempat lupa tadi kalau kalian pasti dari kota, tidak mungkin paham bahasa kami,” ujarnya dengan nada lembut dan logat khas Suku Tidung. Daus mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus mengunyah.

“Oya perkenalkan aku Daus dan ini teman ku, Rendy. Rendy ini sudah punya istri dan anaknya satu. Kalau aku masih bujang, hehehe,” dasar Daus nggak bisa melihat perempuan bening sedikit. Lalu saja jiwa nakalnya merengek-rengek. Rendy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku Nurhaliza, tapi panggil saja aku Inuy. Hari sebentar lagi gelap dan sebentar lagi akan hujan, sebaiknya kalian menginap disini saja dan besok pagi-pagi, kalian bisa memulai perjalanan kembali mencari jalan menuju tenda kalian,” tawar Inuy.

Daus antusias. Sedangkan Rendy melempeng saja. Sebab dia sudah gelisah dan tak ingin berlama-lama di pondok ini. Rendy merasa jika Inuy tadi berbohong sebab tidak ada tanda-tanda akan hujan, Hari juga masih siang dan cuacanya sangat panas. Tapi anehnya, dia bilang hari sudah gelap.

“Sebaiknya kami pergi saja, ini masih siang dan cuacanya masih sangat panas,” Rendy memberi kode kepada Daus untuk menghentikan aksi makannya.

Rendy berdiri dan bersiap keluar untuk memakai sepatunya. Baru saja dia memakai sebelah sepatunya, keadaan diluar tiba-tiba gelap, mendung dan sepersekian detik, hujan pun turun dengan derasnya. Rendy merasa heran.

“Nahh kan dibilangin juga ngotot amat, Inuy tadi pasti sudah terbiasa meramalkan cuaca. Bukti dia benar dan hujan, kita tidak ada pilihan lain lagi, Ren. Selain berteduh disini dan memastikan kita aman tidak dikejar-kejar Hantu Bilau itu. Besok lah kita kembali ke tenda, ngapain juga buru-buru,” Daus mendengus kesal.

Rendy tak berkutik dan masuk kembali ke dalam pondok. Inuy melihat keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Daus terlihat senang bercengkerama dengan Inuy. Bahkan Daus tak segan-segan menowel dagu Inuy yang terbelah. Jika dilihat sekilas, Inuy memang sempurna dengan kulit bening, putihnya asli kulit khas Suku Tidung.

Dengan tatapan mata teduh lengkap dengan mata hazelnya, membuat orang tidak akan menyangka bila Inuy berdiam diri di tengah hutan sendirian. Akan tetapi, berbeda dengan pandangan Rendy. Inuy beberapa kali tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang berwarna merah layaknya orang yang suka memakan daun sirih dengan kapur sirih, pinang juga gambir.

Rendy bergidik melihatnya, namun tidak dengan pandangan temannya yang sudah terbuai dengan kecantikan Inuy.

Rendy beberapa kali mencari akal supaya Daus tak dekat-dekat dengan perempuan itu, Rendy khawatir jika mereka berurusan dengan penunggu pondok yang mungkin sudah meninggal lama ratusan tahun yang lalu. Dengan penglihatan mereka di dalam hutan, semuanya tersulap menjadi pemandangan yang indah.

Ini yang harus dibuktikan oleh Rendy, tapi dia juga bingung apa yang harus ia lakukan. Daus malah semakin lengket dengan Inuy. Rendy memilih duduk di teras sambil memperhatikan hujan yang tak kunjung mereda.

“Sudah tersesat jalan selama dua hari ini karena gangguan Hantu Bilau, ditambah lagi penampakan orangtua yang memperingatkan di depan hutan kemarin. Kerja juga jadi terbengkalai, lahh sekarang musti berurusan lagi sama perempuan penunggu pondok, entah ini nyata atau tidak. Ya Tuhan,” gumam Rendy.

Rendy mulai merasa lapar, dia mengeluarkan bekal makanannya dari tas ranselnya. Botol minuman di taruhnya di depannya.

Baru saja dia membuka bekal makanan yang berisi nasi dan sarden kaleng. Tiba-tiba matanya melotot melihat sekumpulan belatung keluar dari dalam nasinya.

Rendy serta merta melemparkan tempat bekal makanannya begitu saja. Dia bergidik ngeri.

Dia bertanya-tanya. Bagaimana bisa makanan yang baru saja beberapa jam ditaruhnya di tempat bekal makanan sudah basi, busuk dan mengeluarkan belatung puluhan ekor dari dalamnya. Tangan Rendy gemeteran, Tak lama perutnya terasa mual. Rendy muntah.

Lebih mengherankan lagi, Rendy memuntahkan cairan lendir berwarna hijau kemerah-merahan dan isi muntahannya berupa tulang-tulang ayam dan tulang ikan yang cukup banyak.

Mata Rendy mulai berkunang dan pandangannya perlahan menggelap. Tubuhnya ambruk. Rendy pingsan.

“Rendy .. Rendy !!!!!!!” pekik Daus. 

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang