Bab 12 ~ Shock

726 58 0
                                    


Setelah Rendy muntah hijau kemerah-merahan disertai dengan keluarnya tulang dari tenggorokannya, Darham kemudian memberikannya air putih yang diberi rendaman cincin dengan harapan, rasa sakitnya akan mereda. Benar saja, Rendy pun mulai baikan. Dia berbaring beristirahat. Darham menjaga disampingnya.

Malam itu mereka bersiap beristirahat, tidak ada satupun dari mereka yang mengobrol atau begadang. Karena Rahman sudah mewanti-wanti agar tidur lebih awal dan mereka akan memulai survey keesokan paginya.

Namun pada Pukul setengah dua belas malam, tiba-tiba Daus keluar dari tenda. Rahman hanya melihatnya sekilas sebab dia masih sangat mengantuk. Dia pun melanjutkan tidurnya. Rendy pertama kali bangun dan membangunkan yang lainnya.

Wajahnya nampak cerah, tak seperti kemarin. Sepertinya dia siap untuk menjalankan tugasnya.

“Ham,… Darham.. bangun, ini sudah pagi, kita siap-siap mau jalan kerja. Aku sebentar ini mau ambil air dulu di sungai, setelahnya bikin kopi. Tolong, kamu bangunkan Rahman dan Daus ya,” Darham hanya mengangguk malas.

Matanya benar-benar seperti terkatup rapat, namun karena hari sudah pagi. Terpaksa dia bangun dengan badan yang terasa sangat berat. Dia meraih tas ranselnya, mengambil air putih dalam botol kemudian meneguknya sedikit. Tak lama dia keluar dari tenda.

Darham menuangkan air dalam gerejen dan mencuci mukanya sesaat, setelahnya menuju tenda yang ditempati Rahman dan Daus. Begitu membuka tenda, Darham hanya melihat Rahman sedangkan Daus tak ada di tempatnya.

“Man… man.. bangun, Daus mana?” tanya Darham. Rahman yang membuka mata kaget dengan pertanyaan Darham. Dia menoleh ke kanan dan kiri.

“Lohh, aku kira dia semalam hanya keluar sebentar untuk kencing, tapi kayaknya dia nggak ada balik. Selimutnya aja dingin, tandanya dia nggak ada tidur disini semalaman, kemana ya dia?” Mata Rahman membuka lebar.

“Sebaiknya kita tanya Rendy, dia tadi ke sungai. Siapa tahu aja ketemu Daus disana, mungkin dia sedang mandi atau cuci muka di sana,” Rahman mengangguk setuju.

Mereka keluar tenda untuk menyiapkan berbagai peralatan yang akan dibawa pagi ini, sesuai rencana Rahman membagi dalam dua kelompok tugas untuk mengerjakan dua jalur. Tak lama berselang muncul Rendy dengan membawa air yang ditaruhnya dalam gerejen lima liter.

“Ini air buat bikin kopi ya, aku buat perapian dulu. Si Daus mana?” Rendy bertanya. Rahman dan Darham saling berpandangan bingung.

“Lohh, bukannya Daus sama kamu, kali aja ikut kamu ke sungai karena saat aku dibangunkan Darham barusan. Daus memang sudah tidak ada di tempatnya,” Rendy hanya diam saja sambil mengumpulkan ranting-ranting kecil untuk membuat perapian.

“Kita tunggu aja, siapa tahu dia lagi cari sesuatu yang bisa kita makan buat makan siang, karena kemarin dia mengencang mengasah parangnya. Mungkin aja dia lagi berburu kelinci atau mungkin juga Payau lagi,” sahut Rahman akhirnya. Mereka mengangguk.

Saat melihat kearah perapian bekas mereka makan kemarin. Rendy terdiam cukup lama. Darham dan Rahman menjadi heran, mereka menghampiri tempat Rendy berada. Mata mereka melotot kaget, mereka masih ingat masakan Payau kari semalam masih tersisa setengah panci besar dan sisa-sisa tulangan pun direbus masih utuh di dalam panci kecil.

Namun tak satupun dari panci besar maupun yang kecil tersisa daging di sana, semuanya panci dalam keadaan bersih seperti tak pernah terjadi sesuatu atau pernah di masak di panci itu. Panci itu benar-benar bersih tanpa cela. Mereka semakin bingung, apa yang terjadi.

“Ada diantara kalian yang makan setelah kita tidur?” tanya Rahman, Darham dan Rendy kompak menggelengkan kepalanya. Rahman menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. Heran.

“Jelas-jelas daging Payaunya masih banyak, kita masih bisa buat makan selama dua hari. Harusnya kita tinggal masak nasi aja, tapi ini kok pancinya semua bersih seperti nggak pernah dipakee gitu, sebenarnya kita ini pernah makan daging Payau atau nggak sih kemarin?” Rahman menggulang bertanya. Jawaban Darham maupun Rendy tetap sama. Mereka pun tak tahu menahu soal itu.

“Sudahlah, nanti Daus kembali. Kita tanyain saja, kali aja dia menyalinnya kemana kek, fokus bikin minum aja ya? Haus sudah nih mau merokok sekalian ngopi,” ungkap Rahman sambil mengelus lehernya. Rendy tertawa pelan.

Rendy pun meneruskan membuat perapian, Rahman juga Darham menunggu dengan setia. Sesekali mereka membuka peta jalur jalan yang akan mereka lalui. Dari jalur satu ada 32 titik yang akan dipasang, sedangkan jalur dua hanya sekitar 26 titik saja. Rahman memberi tanda pada peta masing-masing berupa titik merah dan titik hijau untuk membedakan antara jalur satu dengan jalur dua.

Rendy pun selesai dengan tugasnya membuatkan tiga gelas kopi hitam dan mereka segera menyeruputnya. Jam sudah menunjukkan Pukul tujuh, tidak ada tanda-tanda keberadaan Daus akan kembali. Rendy mulai gelisah mencari teman kerjanya satu itu.

“Apa kita mencari Daus saja hari ini, Man. Soalnya susah juga kita membagi tugas jika dikerjakan tiga orang ganjil, minimal satu jalur dikerjakan satu kelompok jalur. Gimana?” Rendy memastikan. Rahman diam berpikir.

“Begini saja, hari ini sambil menunggu Daus kembali, kita jadi satu kelompok saja mengerjakan satu jalur. Waktu kita masih lima hari jadi mungkin masih aman,” jelas Rahman. Rendy dan Darham mau tak mau setuju saja.

Mereka mengambil tas ransel dan peralatan masing-masing, Berjalan kedua kalinya di Hutan Kalimantan ini tak begitu menyulitkan Rendy menemukan titik-titik jalur yang akan dipasang, kendati begitu mereka hanya bisa memasang 20 titik pada hari itu, sebab hari sudah mulai gelap dan mereka harus kembali ke tenda secepatnya. Mereka khawatir kemalaman.

“Karena tidak ada daging Payau, terpaksa untuk makan malam kali ini kita makannya sarden aja,” ungkap Darham.

“Ya, mau gimana lagi. Tapi aku boleh request nggak. Aku buatkan telur mata sapi aja ya, Ham. Lagi malas mau makan sarden,” ujar Rendy.

Darham menurut. Dia memulai memasak buat makan malam.
Setelah makan malam, mereka bersenandung bernyanyi dengan riang, bahkan Darham menari khas Suku Tidung. Yang lainnya hanya bisa menyaksikan saat Darham dengan gemulainya menari jepen di dalam hutan, mereka hanya bertepuk-tepuk tangan.

Setelah makan malam, bercanda. Jam menunjukkan Pukul sepuluh malam, mereka bergegas menuju tenda masing-masing untuk beristirahat kembali. Keadaan tenda kembali sepi.

Rendy dan Darham di dalam tenda, belum jua tertidur. Mereka malah duduk sambil merokok dan ngopi.

“Aku heran, sebenarnya kemana Daus ya? Nggak biasanya tuh anak menghilang begitu aja, aku tahu betul bagaimana dia itu,” kata Rendy.

“Ya, jadi bingung, sebenarnya anak itu kemana? Kita mau cari dia tapi tau sendiri gimana Rahman, dia itu orang yang begitu konsisten sama tugasnya. Dia malah lebih memilih menyelesaikan tugas sambil mencari Daus. Bukannya ketemu, ini sudah seharian dia menghilang,” jawab Darham. Rendy mengangguk.

“Sudahlah, sebaiknya kita tidur.. sekarang sudah hampir tengah malam, besok kita pasti kesiangan, bisa ngamuk si Rahman,” Rendy mengajak untuk tidur. Mereka pun bersiap berbaring. 

Tak lama terdengar teriakan keras dari tenda Rahman. Suaranya sangat kencang, sehingga Rendy dan Darham gegas mendatangi. Ketika mereka sampai di tenda, Rahman matanya melotot dan menunjuk-nunjuk kearah atas tenda. Namun dia menunjuk tempat yang kosong.

“Man.. man.. sadar kamu,” tukas Darham.

“Daus, Ham.. Daus tadi bergelantungan di atas tenda, mukanya penuh belatung dan … hihhhh ngeriii,” beber Rahman sembari menutup matanya dengan kedua tangannya.

“Kamu yakin lihat Daus? disini nggak ada siapa-siapa, Man. Mungkin tadi kamu lagi bermimpi, coba ingat-ingat lagi,” kata Rendy. Rahman menggelengkan kepalanya.

“Darham… Rendy … Rahman …,”

Terdengar suara Daus dari luar tenda. Suaranya seperti sedang memanggil dengan nada yang dimain-mainkan. Mereka bertiga kini tergugu, kaku. Shock. Apa benar di luar tenda memang Daus yang sedang memanggil?, Mereka saling berpandang-pandangan.    


       


 
   
      

 

   
   
 

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang