Bab 26 ~ Aneh

665 50 0
                                    


“Hahhhhh,” Rendy, Rahman dan Darham kaget, melongo bersamaan.

Rahman baru saja akan protes dengan perintah Suharto, suara teriakan dari kamar Nanang kembali terdengar. Trio tadi masih diam memastikan teriakan benar-benar dari dalam kamar Nanang, Suharto melirik mereka dengan sinis.

“Aduh, Pak. Palingan juga si Nanang lagi mimpi dirayapi si Ridwan, makanya dia kejang-kejang. Padahal sih kesenangan,” sahut Rendy. Rahman dan Darham tertawa.

“Kalian itu kapan seriusnya, apa kalian nggak mendengar suara teriakannya?”

“Tadi juga si Beliau tuh teriak-teriak nggak jelas, tapi begitu kami datangi dianya malah ngedumel bilang kalau kami hanya menganggu jam tidurnya aja, jadi biarin aja dia teriak-teriak bentar juga stop sendiri,” sahut Rahman santai.

Namun tidak hanya teriakan kali ini, suara dentuman keras terdengar, dan suara Nanang seperti melolong kesakitan, mereka bertiga yang tadinya enggan, langsung  gegas menuju ke kamar Nanang.
Sesampainya di depan pintu kamarnya, suara tersebut tiba-tiba berhenti dan sunyi tidak adalagi suara. Darham menempelkan telinganya di pintu kamar.

Tiba-tiba pintu terbuka dan Nanang terlempar keluar dari dalam kamarnya, Darham kaget bukan kepalang. Karena posisinya yang persis di depan pintu. Darham juga tak beranjak dari tempatnya, padahal sepasang mata merah menyala melihat ke arahnya. Ya, Mata Ridwan yang kerasukan. Rendy dan Rahman cepat menarik Darham yang tergugu di tempatnya.

“Kok santai sih, sudah tahu si Ridwan nggak jauh dari kamu, mau ya kamu kayak si Nanang dijadikan Bola Voli gitu,” sengit Rendy. Darham menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.

“Habisnya aku bingung, kok badannya dua kali lipat lebih besar dari kemarin-kemarin, apa dia mau membesar ya, hebat juga si Ridwan selama kerasukan hilang sudah lemah gemulainya,” tambah Darham lagi.

Rendy dan Rahman tertawa mendengar ocehan Darham, Ridwan pelan-pelan mulai keluar dari kamar Nanang, Ridwan merayap seperti cicak di lantai, gayanya menakutkan dengan mata merah dan liur berlendir yang tak berhenti dari mulutnya. Suharto tiba-tiba datang menarik Nanang agar menjauh.

Tak lama Kai Hasan pun sudah ada di tempat bersama dengan Bambang dan para Karyawan lainnya yang hanya datang untuk menonton. Mereka melihat Ridwan terus melakukan aksinya, merayap di lantai. Dia sama sekali tak takut jika Kai Hasan sudah ada di tempat dan akan mengeluarkan makhluk halus itu dari tubuhnya.

“Aku katakan kepada mu sekali lagi untuk keluar dari tubuh anak ini, apa kamu tidak dengar !!” hardik Kai Hasan. Ridwan malah tertawa keras.

“Hmmmm … Hmmmmm,” Ridwan menggeram, menakutkan. Dia berulangkali melihat ke arah Nanang dan Darham bergantian. Darham bergidik ngeri.

“Apa ini hantu jengkel ya sama kau? Kok daritadi dia melihat kamu sama Nanang ya... kalau aku pikir-pikir lagi kayaknya dia ada dendam pribadi sama kamu, kan kamu  bolak balik bilangin dia itu tulang lunak, bencong gitu,” bisik Rendy. Darham mendengus kesal.

Entah apa yang dilakukan oleh Kai Hasan kali ini, sebab hanya sebentar saja Ridwan seperi orang yang kepanasan dan dia membuka semua pakaiannya yang sebelumnya sudah compang camping tak karuan, Ridwan kini benar-benar telanjang.

“Busyet.. dibilang bencong malah kasih lihat cabe rawitnya,” celetuk Rendy. Rahman menoyor kepala temannya itu, Kai Hasan menoleh dan melirik tak senang. Rendy langsung menutup mulutnya.

Kai Hasan terus merapalkan, berkomat-kamit. Hanya sebentar Ridwan terus berteriak, melolong kesakitan. Tak lama badannya ambruk ke lantai dan tidak sadarkan diri. Kai Hasan meminta mereka bertiga untuk memeriksa Ridwan.

“Kenapa untuk urusan cek mengecek mayat dan  orang yang kerasukan selalu kita ya yang di suruh?” bisik Rahman.

Rendy dan Darham tak berani membuka suara karena Kai Hasan terus memandangi mereka. Cuit nyali mereka.
Pelan-pelan mereka maju melihat keadaan Ridwan, tak lama Ridwan membuka matanya. Mereka bertiga kontan kaget dengan gerakan tiba-tiba Ridwan. Namun sesaat akhirnya mereka bersyukur, sebab mata Ridwan tak lagi berwarna merah dan sudah tidak adalagi liurnya yang menetes.

“Aku dimana ini?” tanya Ridwan. Trio ini langsung mundur, mereka baru ingat jika Ridwan telanjang bulat.
Ridwan duduk dengan santainya, dia lupa jika burungnya kelihatan dan semua orang yang ada di sana tertawa melihatnya, kecuali Kai Hasan dan Bambang tentunya.
Bambang meminta agar Ridwan diberikan kain penutup tubuhnya yang polos itu.

“Dia sudah sadar, baguslah,” Kai Hasan berbisik kepada Suharto. Suharto manggut-manggut.

“Kata Kai Hasan semuanya sudah kembali aman, hanya Ridwan yang perlu dijaga agar tidak kembali lagi, Dia juga akan dimandikan oleh Kai Hasan, untuk pelindungnya supaya makhluk itu tidak kembali lagi ke badannya,” jelas Suharto.

Semua orang di basecamp bisa bernapas lega, mereka pun bubar dan kembali ke kamar masing-masing. Pak Balang dan Bu Alus, orangtua yang merupakan warga lokal yang mengungsi ke basecamp ternyata sangat mengenal Kai Hasan. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Pak Balang dan Bu Alus begitu hormat kepada Kai Hasan.

“Sebaiknya Pak Balang dan Bu Alus menginap saja di sini semalam, besok pagi saja kembali ke rumah. Jika semua sudah kembali aman nanti ada waktu, Saya pasti jalan-jalan ke rumah Bapak. Saya rindu makan jagung dan ubi rebus dengan sambel terasinya, betul-betul rindu Saya,” kata Kai Hasan.

“Ya, Kai. Kami harus menginap dulu semalam di sini, ini sudah malam sekali kalau mau pulang. Oya kapan pun Kai bisa singgah ke gubuk kami, kami sudah banyak menanam sayuran dan buah-buahan di sana,” setelah berbincang cukup lama, warga lokal itu pun disiapkan kamar untuk mereka beristirahat.

Tengah malam sekira Pukul satu, Bu Alus belum bisa memejamkan matanya. Suami dan anaknya sudah tidur sejak sejam yang lalu. Sedangkan dia begitu gelisah. Dia merasa cuaca sangat panas. Dia pun berinisiatif membuka sedikit tirai dan jendela kacanya dibiarkan terbuka begitu saja.

Dia duduk di atas tempat tidur, sambil sesekali tangannya mengipas mukanya. Jika di rumahnya, mungkin dia daritadi sudah mandi meski di tengah malam, akan tetapi saat di basecamp begini dia merasakan keanehan pada dirinya karena dirinya merasa begitu ketakutan.

Tak lama terdengar suara langkah kaki. Suara orang berjalan, Bu Alus hanya diam di tempatnya dan terus memandangi jendela yang sudah dia buka meski tidak semuanya. Jarak jendela dengan tempat tidurnya memang cukup jauh, akan tetapi jika ada orang lewat. Dia pasti akan melihatnya dengan jelas.

Matanya tak berkedip memandang ke jendela. Bu Alus bingung sebab suara langkah kaki sudah tidak terdengar lagi dan tidak ada tanda-tanda orang akan lewat di samping jendela kamar yang ia tempati bersama suami dan anaknya.

Dia melihat bayangan hitam melewati jendela tanpa suara langkah kaki, jadi seperti orang yang sedang terbang, tidak menapak. Dia sontak kaget, dia menggoyang-goyangkan tubuh suaminya. Berharap suaminya akan bangun dan melihat bayangan yang dia lihat barusan. Tapi, suaminya kali ini susah sekali dibangunkan.

Dia mencoba sekali lagi, dan suaminya kali ini langsung duduk dan bertanya menggunakan isyarat alisnya yang diangkat. Bu Alus menunjuk ke arah jendela. Pak Balang melihat di sana tidak ada siapa-siapa.

“Aku melihat ada bayangan hitam tadi lewat dekat jendela situ, tapi langkah kakinya tidak terdengar. Apa itu hantu ya?” Bu Alus takut-takut menyebutkannya.

“Kita lihat aja ya, Bu. Kita pastikan apa itu orang atau penampakan,” Bu Alus menolak.

“Nggak apa-apa, Bu, Kan ada Bapak nanti bisa bantu Ibu lari dari kejaran hantu,” sahut Pak Balang santai. Bu Alus mendengus kesal.

“Kirain bantu mengusir hantu, kalau bantu lari buat apa, aku juga bisa sendiri,” gerutunya. Pak Balang tertawa pelan.

“Ya, sudah tapi bagaimana dengan Miki, takutnya dia terbangun,”

“Anak ini kalau tidur, tidur mati jadi nggak mungkin dia bangun sekarang. Lagian kita mulai tidur tadi itu sudah lewat jam tidurnya, pasti dia kesiangan bangun besok, Ayok lah,” ajak Pak Balang kepada istrinya.

Mereka pun melihat keadaan di luar, memang tak ada siapa-siapa tapi ada suara langkah menuju kamar yang ada barisan belakang. Mereka  lantas bersembunyi diantara tirai jendela. Diam menunggu dengan tegang.

Tak lama Nanang pun terlihat turun ke tanah halaman Camp. Dia diam menatap ke arah depan. Dia begitu tenang, di tengah malam buta begini sendirian.

Dia terus menggaruk badannya tak berhenti, Pak Balang dan Bu Alus terus mengintip apa yang dilakukan oleh Kepala Penanaman itu, Pak Balang dan Bu Alus hampir memekik bersamaan, sebab Nanang terus menggaruk hingga kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Nanang seperti berganti kulit. Menjijikkan.   

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang