Bab 15 ~ Panggilan Telpon

674 64 0
                                    


Ponsel yang terjatuh diantara rerumputan terus menimbulkan suara Daus yang meminta pertolongan mereka bertiga. Mereka melotot tegang memperhatikan ponsel tersebut, tak lama suaranya berhenti. Rahman mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk pelan-plan mengambil ponsel berwarna putih tersebut.

Rahman memperhatikan layarnya sudah berubah hitam, dia lega dan mulai membersihkan ponselnya tersebut. Ketika dia menaruh ponselnya di kantong celananya, Rahman melihat Rendy dan Darham nampak tegang melihat kearah belakang mereka.

Dari kejauhan terlihat ada seseorang yang sedang berjalan kepayahan. Dengan sedikit pincang, kepalanya miring dan tangannya melambai-lambai kea rah mereka. Mereka tegang menunggu karena jarak orang yang berjalan tersebut masih sekitar dua puluh meter dari tempat mereka berdiri tak jauh dari posko itu.

Saat orang tersebut berjalan hampir mendekati dengan jarak kira-kira sepuluh meter. Mereka bisa melihat dengan jelas, Daus yang penuh lumpur dan belatung yang masih betah mengantung di seluruh wajahnya itu tersenyum menyeringai dan terus melambaikan tangannya.

“Tunggu aku, teman. Jangan kalian tinggalkan aku,” teriaknya.

Rahman, Rendy dan Darham tanpa komando, langsung lari terbirit-birit. Mereka sudah tak peduli lagi bagaimana mereka saling berlomba meninggalkan Daus yang posisinya hampir dekat dengan mereka.

Mereka berlari sangat cepat sekali, mungkin saja jika ada gelaran lomba lari tingkat RT. Akan sulit bagi juri menilai siapa diantara mereka yang keluar sebagai pemenangnya.

Ketika sudah merasa jaraknya cukup jauh dengan Daus tadi, mereka mulai lebih pelan berlari. Mereka beristirahat mengatur napas mereka yang memburu.

“Gila tuh orang, selalu saja usil sampai sudah jadi mayat pun masih juga mau usil sama kita, apa dia sudah lupa kalau dia udah jadi mayat, kok Daus makin seram ya, mampus kita kalau mesti pulang sama-sama dia,”tukas Rendy masih dengan napas tersengal-sengal.

“Awas kamu, Ren. Kamu itu yang paling akrab sama dia, khawatir aja tiap malam kamu dihantui sama dia,” ujar Rahman mengingatkan.

“Kita harus terus berlari, jangan sampai dia menyusul lagi. Perasaan kita tadi udah jauh berjalan meninggalkan hutan tapi nggak menyangka aja, Daus malah menyusul meski dengan gayanya yang kepayahan,” jelas Darham.

Mereka pun kembali berlari, sekitar beberapa menit akhirnya mereka sampai juga di pertigaan tempat penjual bensin yang mereka maksud dan tujuan mereka sebelumnya.

Mereka berteriak-teriak karena pondok penjual bensin tertutup pintunya. Tak lama berselang, keluarlah Bapak-bapak usia 50 tahun menggunakan sarung di badannya.

“Ada apa sih malam-malam teriak, ganggu orang tidur aja!!” bentaknya.

“Kami mau menumpang tidur disini apa boleh, Pak. Kami ketakutan karena diburu teman kami, kami mau aja kembali ke Camp tapi jemputan kami belum datang,” ujar Rahman.

“Ya, nggak mungkin kalian bisa ikut menginap tidur disini, memangnya kalian mau tidur dimana. Coba lihat,” Bapak tadi membukakan pintunya dengan lebar.

Terlihat di dalam pondoknya, barisan botol bensin dan gerejen di lantai, kemudian hanya satu dipan kecil yang cukup disana untuk bapak tadi tidur. Mereka pun menghela napas panjang.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan. Mau lari rasanya sudah nggak kuat. Minimal kita harus mencari tempat menginap agar kita terbebas dari si Daus,” tukas Rahman.

“Bukannya kita kesini tadi mau menelpon basecamp ya, kan disini ada jaringannya. Kenapa juga kita musti menginap disini, kasihan bapaknya harus menampung kita bertiga sedangkan tempat tidurnya kecil begitu,” ucap Darham. Rahman dan Rendy kompak menepuk jidat.

“Ampunn, gara-gara Daus semuanya jadi lupa, ya .. ya .. kan tadi tujuannya mau cari sinyal disini. Ya udah kita telpon aja orang camp. Kali aja dapat bantuan segera,” Rahman langsung mengambil ponsel di kantong celananya.

“Pak, maaf menganggu waktunya malam-malam, kami mau mengabarkan kalau Daus meninggal dunia, Pak. Mayatnya sekarang ini sedang mengejar kami. Kami ketakutan, Kami tunggu di pertigaan tempat penjual bensin Pak. Tolong bawa bala bantuan ya,” terang Rahman ketika panggilannya disambut dan terdengar suara dari seberang telpon.

“Maksudnya apa? Daus meninggal? Apa nggak salah kalian? Daus sekarang ini sedang main kartu di depan sama anak-anak, katanya kemarin dia ketiduran makanya ketinggalan dan nggak bisa ikut kalian ke Hutan, kalian ini kalau mau bercanda bukan saatnya,” sahut Suharto dari seberang telpon. Rendy dan Darham memperhatikan Rahman yang melongo.

“Kami tidak bohong, Pak. Bapak boleh tanyakan sama Rendy dan Darham. Kami bertiga jelas-jelas mengangkat mayatnya dari sungai dan diperkirakan Daus sudah meninggal lama beberapa hari saat dia pertama kali masuk hutan berdua dengan Rendy. Kalau bapak tidak percaya, sebaiknya tanyakan langsung sama mereka,” Rendy langsung merampas ponsel dari tangan Rahman.

“Maaf, Pak. Kami sekarang ini sedang bertarung antara hidup dan mati, jangan main-main, yang kami butuhkan sekarang adalah datangnya bala bantuan .. kami tidak tahu lagi bagaimana caranya mengangkut jenasah Daus dari hutan, tolong ini ditanggapi segera,” Rendy mulai terlihat kesal.

“Apa kalian yakin karena aku jelas-jelas masih hidup dan aku sekarang ini ada di camp, Loh,” sahutan dari seberang membuat Rendy menautkan alisnya. Dia melihat kearah Rahman dan Darham bergantian.

“Apa katanya?” tanya Darham penasaran.

“Kok suara Pak Suharto langsung berubah, dan katanya apa kalian yakin karena aku jelas-jelas masih hidup dan masih di camp. Kok seperti suara Daus ya?” Rahman merebut kembali ponselnya, melihat ke layar.

Rahman meneguk liurnya, di layar nomor kontak Daus tertulis disana. Lagi-lagi ponsel tak bersalah itu harus terhempas di lantai.

“Pe …perasaan tadi aku mencet nomor Suharto, kok malah Daus yang kuhubungi, siallll,” Setelah tak terdengar suara dari ponsel, Rahman kembali mengambil ponselnya.

Darham dan Rendy sudah capek dengan drama dari ponsel Rahman, mereka masing-masing mengeluarkan handphone, kemudian mata mereka melotot, kaget.

“Si Daus ternyata menelpon ku berkali-kali, apa tuh anak bawa-bawa Handphone terus ya, banyak amat sinyalnya sampe-sampe nelpon terus kerjaannya. Kamu gimana?” Darham menoleh melihat layar ponsel Rendy. Ternyata Rendy juga mendapatkan panggilan dari Daus.

“Coba saja pakai ponsel Bapak, siapa tahu ponsel kalian lagi eror makanya salah nelpon mulu,” Saran Bapak penjual bensin tadi.

Dia gegas mengambil ponselnya dan menyerahkannya kepada Rahman.
Rahman menerimanya kemudian beberapa detik menyalin nomor Suharto dan memulai panggilan.

Hanya dua kali deringan. Suharto. Kali ini benar-benar Suharto yang mengangkatnya. Dia meminta kepada mereka bertiga menunggu bantuan datang. Setelah menutup panggilan, Rahman menyerahkan kembali ponselnya kepada Bapak penjual bensin tadi.

“Sebaiknya sambil menunggu bantuan datang, kalian masuk lah dulu tapi pondok Bapak ini kecil. Biarlah kita duduk-duduk ngopi dulu di dalam, kelihatannya kalian capek sekali,” ajak Bapak tadi, mereka pun mengiyakan.

Bapak penjual bensin yang ternyata bernama Anwar itu membuatkan mereka kopi. Mereka duduk melantai sambil menikmati kopi hitam sambil sesekali berbasa basi bercerita dengan Pak Anwar.

“Banyak memang pantangan yang tidak boleh kalian langgar jika masuk ke Hutan Kalimantan, bukannya ingin menakut-nakuti kalian, tapi memang begitu adanya. Ada saja yang akan kalian alami, kalian ini sebenarnya sudah lama bekerja di perusahaan kertas disini?” tanya Pak Anwar.
Mereka kompak mengangguk.

“Kami berdua berasal dari luar daerah, hanya Darham anak asli disini. Kami memang biasa keluar masuk hutan tapi baru kali ini masuk secara langsung ke hutan, biasanya kami bertugas di kantor saja saat ke Kalimantan. Tapi kali ini memang harus masuk ke hutan untuk mulai membuka lahan perusahaan,”jawab Rahman. Baru saja Pak Anwar ingin berbicara, terdengar suara ketukan di pintu yang cukup keras.

“Rahman, Rendy, Darham dimana kalian… aku juga mau masuk, ajak aku dong,” Terdengar suara teriakan dari luar. Pak Anwar ingin berdiri membuka pintu, tapi mereka tahan dan kompak berteriak.

“Jangan, Pak… jangan !!! Itu Daus, teman kami yang sudah meninggal,” Pak Anwar kaget. 

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang