Di pagi hari yang cerah matahari condongkan sinarnya. Cielah, sok puitis banget gue. Oke lanjut. Cahaya yang ia pancarkan menerobos jendela membangunkan seorang insan yang masih kerek di atas tempat berbentuk persegi panjang dengan kasur oversize yang empuk. Halah gitu doang lama, di atas kasur! Udahlah pusing gue sok-sokan puitis. Badan gue menggeliat kek cacing kepanasan merasa keganggu sama cahaya itu. Gue mengerubuni seluruh badan pake selimut tebal dan lanjut lagi molor. Gue kan lagi merem, dari mana gue tau ada matahari? Gue kan sakti mandraguna. Jadi gue buka jasa santet dan pelet. Ekekekek. Astaghfirullah, tobatlah kau, Nak.
"Madaaa!!" panggil seseorang dari kejauhan.
Dari jauh aja kedengeran lumayan keras, apalagi deket. Gue mengernyit kesal sesaat dan hanya usik sekilas, terus lanjutin lagi mimpi gue yang sempat terganggu. Tentunya seluruh tubuh gue masih berselimut.
"Ya ampun, Mada! Bangun!!"
Suara nyokap terdengar dekat. Meskipun mata gue tertutup tapi telinga gue masih denger jelas. Sejak kapan masuknya? Gue nggak denger suara pintu yang dibuka samsek. Udah kayak makhluk halus aje padahal nyokap gue 'kan makhluk kasar.
Dia menggoyang-goyangkan tubuh gue brutal bahkan sampe nabok-nabok bokong gue. Sakit, coy. Tenaganya gak main-main. The power of emak-emak nih. Walaupun begitu gue tetep gak mau bangun. Melihat gue yang gak kunjung terjaga, dia membuka paksa selimut yang menutupi seluruh badan gue. Tangan gue di tarik secara sadis sampe badan gue tegak di tengah kedua mata yang sangat berat buat gue buka.
"Bangun, Mada! Hari ini kamu sekolah!"
Dengan suara lemah khas orang bangun tidur gue menjawab, "Apa sih, Mam. Ini 'kan hari libur." Mata gue masih sayup-sayup. Gue membanting badan gue lagi ke kasur dan tidur menyamping membelakangi nyokap.
"Ndasmu, hari libur. Sekarang hari senin! Hari ini hari pertama kamu ke sekolah baru jadi murid baru."
"Perasaan baru kemaren libur masa udah masuk lagi," jawab gue dengan mata terpejam dan tanpa menghadap ke arahnya.
"Maka dari itu, kemarin udah libur berarti sekarang masuk. Emang kau pikir udah hari minggu ke minggu lagi. Emang dalam seminggu, hari minggu dua kali. Dimana-mana udah minggu tuh ya senen, pinter."
Ajaib. Setelah mendengar itu, mata gue yang tadinya berat seketika jadi fresh. Gue membelalakkan mata sampe keluar satu senti. Untungnya mata gue nggak copot. Dalam satu kedipan gue bangun. Sontak gue panik dan natap nyokap kayak orang kesurupan.
"Mamah kenapa nggak bangunin daritadi." Gue melotot kek orang kerasukan. "Hiyaaattt!" Gue loncat dari kasur bagaikan spiderman dan lari ngibrit ke kamar mandi yang ada di kamar. Kemarin-kemarin jamban di kamar gue emang lagi direnov dikit. Jadi baru sekarang bisa di pake lagi.
Inilah kekuatan the power of kepepet. Dalam tiga menit gue selesai. Nyokap yang ngeliat gue keluar kamar mandi cepet terheran-heran. Saking cepetnya, nyokap gue belum beres bebenah kasur. Ia mengalihkan pandangnya ke arah gue. "Loh, Ma. Kok cepet banget?"
"Iyalah, Mah, orang aku nggak mandi."
Alamak keceplosan. Habislah aku. Gue mengutuk mulut laknat ini yang gak bisa diem. Nyokap yang mendengar kenyataan ini dari mulut gue seketika naik pitam. Ia berdiri mengepalkan kedua tangan di sisinya. Kepalan tangan itu ia naikkan ke kedua sisi kepalanya dengan telunjuk yang keluar membentuk tanduk. Kakinya kanannya ia gesek-gesekkan ke lantai sebagai pemanasan. Persis seperti banteng yang bersiap nyeluduk siapapun yang menjadi sasarannya. Kenapa pula gue harus bilang jujur. Ember banget mulut gue. Nyokap gue paling gak suka sama orang yang jorok.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR DULU, YA.] "Semua pemberian lo itu bikin gue jijik, jadi gak usah ngasih-ngasih lagi! Jijik ya? Kapan sih dia bisa lihat gue sebagai manusia, bukan lagi bakteri? *** "Asal lo tau, lo itu sampah, cocoknya dibuang!" Lagi-lagi dia pergi...