Dilanjut sakit, berhenti sakit. Lantas aku harus milih jalan mana? -
Mada
***"Mada," suara ceria memasuki indera pendengaran gue. Di sana, Bella mendekat bersama Gladys ke gue sama temen-temen yang lagi ngumpul di gazebo depan gedung kelas. Tas masih tersampir di punggungnya.
"Eh, elo. Kenapa?"
"Buat lo, kayak biasa." Wadah berbentuk kotak diarahkan oleh tangannya ke depan gue.
Masih dalam keadaan duduk, gue menerimanya. "Apa lagi kali ini?"
Itulah kebiasaannya setiap pagi. Ngasih gue sesuatu. Entah itu makanan atau barang.
Bibirnya bergerak membentuk senyuman. "Itu kue kering. Gue buat sendiri loh," ungkapnya berseri-seri.
"Pake repot-repot segala. Tapi thanks, ya!
"Wah elu, Bel." Suara Asep membuat perhatian gue teralihkan. Ia menggeleng gak terima. "Gak adil, cuman si Mada doang yang dikasih."
Bella mengkerut kesal. "Apaan, sih, lu, mau aja!"
"Buat gue mana?" pinta Atang sambil namprak.
"Gak ada!" ketusnya. Ketika pandangannya liat gue, sedikit melunak. "Dimakan, ya!" Setelah ngucapin itu, mereka pergi, melanjutkan langkahnya. Gue gak ngerti kenapa Bella sesensi itu sama Atang dan Asep.
"Glad," panggil Nino yang diam dari tadi. Bela dan Gladys yang baru jalan beberapa langkah sontak terhenti. Mereka berputar balik termasuk si pemilik nama.
Nino nunjuk ke bawah dengan datar. "Duit lo jatoh."
Sontak kami semua noleh ke arah telunjuk Nino. Kosong. Gue gak ada ngeliat duit jatuh sama sekali. Mau modus nih ceritanya.
"Mana?" Gladys berputar di tempat mencari uang yang dimaksud Nino tadi. Sesekali matanya beredar ke sekitaran tanah tempatnya berdiri sebelumnya.
"Ternyata lo mata duitan ya." Sa ae ni buaya satu caper.
Gladiys mendekat dan berhenti di hadapan Nino.
"Maksud Nino apa kayak gitu?"
"Hmm? Maksud gue? Apa, ya?" Nino malah balik nanya.
"Dasar cowok gak jelas. Nyebelin!" Gladys pergi sambil menghentak-hentakkan kakinya, disusul Bella.
"Warna mocca warna kuning, kalau suka bilang, anj***"
"Astaghfirullah, Atang!" Gue ngelus dada, lantas narik mulutnya kuat-kuat. "Mulut lo filter dikit ngapa. Lo mau gue bikin mulut lo mirip bebek!"
Dia menepuk tangan gue kasar, kemudian ngusap mulutnya. "Sakit, bege."
Si Atang memang sedikit kasar dan gak sabaran. Tapi gue tau di balik itu semua dia orang baik dan peduli.
"Ah, lama lo, Mad. Gue buka juga ni kue," ucap Asep gak sabaran.
Karena temen gue gak sabar, gue membuka tutup kotak itu. Aroma kue langsung tercium. Bentuknya ngingetin gue sama sosok Riri. Beruang. Tanpa sadar gue tertawa tanpa suara.
"Wih, baunya," kata Asep ceria. Dia mendekatkan badannya lebih dekat, lantas ngambil satu untuknya. Disusul Riko, Nino, dan Atang. Sementara gue sibuk memandang ke arah lain sambil senyam-senyum sendiri.
"Dih, ketawa sendiri lo."
Sontak gue menoleh ke Atang yang mengomentari perilaku gue barusan. Gue melebarkan bibir, melemparkan senyum manis ke dia.
Atang bergidik. "Anjir, senyum lo ambigu."
"Gue jadi inget Beruang Kecil gue." Gue mengambil cookies bentuk beruang itu. Memandanginya lamat-lamat dengan senyuman yang tak luntur sejak tadi. "Sayang, aku makan kamu boleh, ya?" Kerasukan apa gue tiba-tiba bilang gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR DULU, YA.] "Semua pemberian lo itu bikin gue jijik, jadi gak usah ngasih-ngasih lagi! Jijik ya? Kapan sih dia bisa lihat gue sebagai manusia, bukan lagi bakteri? *** "Asal lo tau, lo itu sampah, cocoknya dibuang!" Lagi-lagi dia pergi...