31. Tiba-tiba

13 1 8
                                    

Saya terima nikah dan kawinnya cinta atas nama Riri Syafira dengan seperangkat perjuangan dibayar luka
~Mada Ailean Joana
***

Langkahnya terhenti di depan gerbang. Gadis berambut sepunggung lurus itu berjalan santai memasuki kawasan SMA Nirwana dengan wajah tanpa ekspresi serta tatapan lurus ke depan. Tatapan memuja dan kekaguman dilayangkan para siswa siswi yang ia lalui. Rambutnya yang tergerai bergerak-gerak tertiup angin. Bagian belakangnya ikut bergoyang seirama dengan langkahnya.

Sebelumnya, gadis itu tak pernah sekalipun membiarkan rambutnya terurai. Biasanya ia menyatukan mahkotanya itu dalam satu ikatan. Tak sedikit dari mereka yang memujinya terang-terangan, namun banyak juga yang hanya memandanginya, takut pada tatapan tajam dan aura mencekam yang menguar dari sosok cewek kurus yang tidak tinggi, tidak juga pendek itu. Cara berjalannya pun terlihat elegan dan berwibawa, membuat mereka sungkan sekaligus takut di saat yang bersamaan. 

“Itu Riri?”

“Eh, anjir itu Riri, dari kelas 10 kan?”

“Cakep banget, gila, rambut dia digerai gitu.”

“Hooh, dikuncir aja dia cakep, apalagi ini.”

“Kalau aja Riri pacar gue.”

“Kalau aja dia gak galak.”

Pemilik nama lengkap Riri Syafira itu mengepalkan tangannya di sisi badan. Inilah yang tidak ia suka jika rambut sepunggungnya dibiarkan menjuntai. Para lelaki akan merespon demikian dan itu membuatnya risih. Kalau saja Riri tak lupa meletakkan kuncirannya. Kalau saja Riri ingat dimana ia menaruh cepol rambutnya. Kalau saja di rumahnya ada karet gelang. Kalau saja ia tak terburu-buru dan bangun kesiangan.

Ia menatap tajam dan dingin orang-orang yang mengatakan kalimat unfaedah itu, membuat mereka seketika terdiam dan langsung kicep. Sialan! Ia tak suka jadi pusat perhatian.  

Riri berbelok menuju koridor kelas sepuluh. Kemana pun langkahnya pergi, di situlah banyak mata mengawasi. Gadis berambut lurus itu mengacuhkannya, walau ada yang meletup dalam dirinya. Mau diledakkan pun percuma, hanya akan membuat energinya terkuras.

Di seberang sana, Mada menghunuskan pandangannya dari kejauhan. Riri merasa agak janggal dengan sorot mata lelaki itu.  Senyum yang dihiasi lesung pipi akan selalu menyambut, serta sapaan ceria akan Riri dengar walau Mada hanya dengan melihatnya dari kejauhan. Kali ini netra legam cowok itu tak menunjukkan kehangatan sama sekali. Terbesit pertanyaan dalam benaknya, tapi ia segera mengusir jauh-jauh.

Mada menggusur langkah, mendekat ke arahnya atau … lelaki berkupluk itu hanya ingin lewat? Riri tak memedulikannya. Netra legam milik Mada dan iris coklat milik Riri saling beradu. Tatapan Mada terlihat menusuk, sebaliknya gadis berambut hitam itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Saat mereka hampir berpapasan, tanpa diduga Mada menarik pergelangan tangan Riri.

“Ikut gue. Mau caper lo!”

Riri berontak, berusaha menarik tangannya. Tenaganya kalah kuat dibanding lelaki yang menariknya paksa itu sehingga usahanya sia-sia. Mau sejago apapun ia dalam karate, Riri tetaplah seorang perempuan.

“Lepasin gue, anj*g!”

Mada menulikan pendengarannya. Ia tetap menyeret Riri dengan langkah lebar membuatnya merasa tergusur karena langkah gadis itu kecil-kecil. Cengkraman lelaki itu sangat kuat dan ia sama sekali tak menyadarinya.

Bugh

Tandangan keras mendarat di bokong Mada sehingga ia terdorong ke depan dan cekalan mereka terlepas otomatis. Siapa lagi pelakunya jika bukan cewek saat ini bersamanya.  Mereka yang menyaksikan di pinggir lapangan, meringis ngilu seakan turut merasakan sakit.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang