Keluarga itu ibarat rumah, sejauh apapun kita pergi dan berlari, pada akhirnya di sanalah kita pulang mengistirahatkan diri.
~Mada Ailean JoanaCinta dalam keluarga itu ibarat dunia, kita memulai kehidupan di dalamnya, tapi kita tak akan bisa menemukan ujungnya.
~Marina Aili Joana***
"Yuhuuu, Papah menang," serunya terdengar gembira. Gue mendengus sebal denger pekikan itu, pertanda kekalahan mutlak gue. Meski awalnya gak mau, gue dan Papah akhirnya memainkan game playstation bersama di ruang tengah.
"Bukannya ngalah kek sama anak."
"Gak bisa, dong. Dalam permainan itu gak pandang status. Musuh, ya, musuh."
"Yuhuuuu, makanan sudah siap." Suara Mamih terdengar melengking. Tak lama kemudian, sosoknya datang sambil berkacak pinggang dan geleng-geleng kepala. "Ya ampun, kalian berdua pagi-pagi udah maen game ...," ia melirik Bokap yang tengah masang wajah datar. "Matiin dulu. Pah, makan yuk."
Tanpa mengucap apapun, orang yang jadi kepala keluarga itu melengos gitu aja. Gue liat ekspresi Nyokap sekilas keliatan bingung. Setelah memastikan layar mati, gue nyusul Papah tanpa melihat sosok wanita yang berdiri merhatiin dari tadi itu.
Di meja makan, suasananya terasa berbeda. Papah yang biasanya melontarkan kalimat candaan atau gombalan, sekarang tatapannya dingin dan datar. Entah Mamah nyadar sama perubahan suaminya itu atau nggak. Nyokap menyendokkan nasi ke piring Papah. "Mau sama apa aja?" Dari nada suara, keknya belum nyadar, deh.
"Terserah," sahutnya datar. Baru kali ini gue liat sikap Papah cuek dan dingin ke Mamah. Biasanya mah beuh haneut pisan ciga gorengan yang baru diangkat dari katel alias wajan. Biasanya kek gini:
"Sayang, Papah mau ini," katanya manja sambil nunjuk potongan tempe di piring. Gak liat apa ada anaknya juga. Aish, gak tau tempat emang. Di saat ini jiwa jombloku ngadat hayang boga kabogoh.
"Ini, Pah, Mamah buat khusus buat Papahku sayang." Gue dan Kak Mari cuma bisa melongo. Walaupun udah biasa, tapi tetep aja rasanya tuh kek ... huh, gimana gitu.
"Mamah tau bedanya tempe sama Mamah?"
"Gak tau, tuh, Pah."
"Kalau tempe bikin perut kenyang, kalau Mamah bikin hati Papah kenyang."
Mamih gue gerak-gerak kek orang kesurupan. "Ih, si Papah bisa aja, deh." Dia nonjok-nonjok lengan Papah lumayan keras bikin sang sempu meringis.
Gue bergidik ngeri plus geli. Jangan sampe gue muntah di sini gegara ngebayangin itu. Sudah cukup pikiran gue jalan-jalannya. Sekarang saatnya fokus ke makanan. Lapar kuring teh.
Mamah mengambil semua menu makanan dan menuangkannya di piring Papah.
"Ck, jangan semuanya juga," protesnya.
"Tadi katanya terserah," ketus Mamih. "Papah kenapa?" Pandangannya berubah sendu.
"Gak apa-apa."
"Kayak jawaban cewek aja," gumamnya yang langsung dibalas lirikan tajam sama sosok yang merasa tersindir. "Mamah teh ada salah sama Papah?"
"Tau, pikir aja sendiri. Jangan ganggu, Papah mau makan."
Gue cuma merhatiin itu sambil sesekali menyuapkan makanan ke mulut. Berasa nonton sinetron. Kalau Bokap cewek, pasti gue mikirnya 'lagi PMS kali'. Cuma sayangnya itu gak mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR DULU, YA.] "Semua pemberian lo itu bikin gue jijik, jadi gak usah ngasih-ngasih lagi! Jijik ya? Kapan sih dia bisa lihat gue sebagai manusia, bukan lagi bakteri? *** "Asal lo tau, lo itu sampah, cocoknya dibuang!" Lagi-lagi dia pergi...