36. Hujan

11 2 7
                                    

Sejarah mungkin bisa menjadi salah satu mata pelajaran yang gak disukai sebagian murid. Gue salah satunya. Selain ngebosenin, gurunya juga gak asyik. Pembawaannya boring, terlalu serius, meski bel udah bunyi tetep nyerocos gak berhenti-berhenti. Seperti saat ini, gue dan kawan-kawan harus terjebak sama Pak Botak alias Pak Jamal di kelas. Selain menjabat sebagai guru BK, Pak Jamal juga guru mapel sejarah.

Bel udah bunyi sekitar lima menit yang lalu. Tapi, anjer, ini kapan bubarnya coba. Hadeuh, nasib, nasib. Kepala gue manggut- manggut nahan kantuk. Sesekali nguap.

Gue iseng noleh ke samping liatin Riri. Serius amat merhatiin guru. Gue aja nggak tahan buat sekadar denger suaranya, berasa kayak di nina bobo-in. Lah ini, masih melotot. Udah gitu mukanya gak ada ekspresi sama sekali. Tapi gue suka natap dia lagi anteng gini. Seperti biasa, dia selalu keliatan cantik. Gue jadi ngehalu dia senyumin gue. Terakhir kali gue liat senyumnya saat dulu dihajar dan ... pas dia gak sadar. Ngebayangin Riri senyumin gue, bikin mesem-mesem, nih.

Mungkin karena merasa diperhatikan, Riri berdecak dan nengok ke gue dengan tatapan risih. Alisnya mengkerut gak suka. Ditatap begitu bukannya gue akhiri, senyum gue makin lebar sampe mata ketutup meskipun masih bisa liat. Matanya melotot, lantas menggerakkan bola matanya sekali ke depan, mengisyaratkan supaya nggak merhatiin dia terus. Gue geleng bersama senyum yang gak luntur dari tadi.

Pluk

Ada sesuatu yang nimpuk pala gue. Refleks tangan gue mengusap bagian kepala yang terkena tadi, lumayan sakit soalnya. Lagi enak-enaknya liatin bidadari malah diganggu. Siapa, sih? Gue memutar kepala buat mastiin. Dan, ya, gue gak bisa berbuat apapun karena pelakunya Pak Jamal. Dia berjalan mendekati bagku gue. Situasi kelas lagi hening dan pastinya sekarang gue jadi pusat perhatian teman-temen seruangan.

"Sini penghapusnya," semprotnya galak sambil mengulurkan tangan.

Gue nurutin perintahnya dan langsung diambil kasar.

Sebelum bicara, Pak Botak ngusap-ngusap kepala terangnya. Untung lagi mendung jadi gak terlalu silau. "Kamu ini, Mada, bukannya merhatiin saya malah liat ke arah lain. Kalau guru lagi ngomong tuh di perhatiin, biar pelajarannya masuk ke otak."

"Cie pengen diperhatiin." Ucapan gue disambut gelak tawa temen-temen sekelas.

"Diem semua!" bentaknya menghentikan kebisingan. "Kamu udah bikin kekacauan, keluar sekarang juga."

Gue tak bisa menahan senyum. "Asyik. Dari tadi dong, Pak." Gue menenteng tas dan berdiri, dan siap menyalami tangannya.

"Mau kemana kamu?"

"Kan Bapak nyuruh saya keluar."

Pak Jamal menggaruk kepala botaknya, keliatan bingung. "Kamu keluar tapi bersihin seluruh WC di sekolah."

"Yah, kok gitu, sih?"

"Atau saya tandain, nilainya kecil dan gak saya lulusin di mata pelajaran saya. Mau?"

Alarm bahaya, bisa-bisa gue gak lulus.  "Ampun, Pak. Nggak mau."

"Kali ini saya maafkan, tapi jangan berbuat ulah lagi."

Setelah bilang gitu, dia kembali ke depan kelas.
Gue melirik Riri sekilas dan sedang memusatkan matanya ke depan.

Pak Jamal ini guru botak ke dua setelah Pak Kepsek, cuman bedanya dia nggak punya kumis melintang. Dia termasuk salah satu guru terkiller setelah guru matematika. Murid-murid di sini biasa manggil Pak Jamal atau Pak Botak.

Bosan, gue melihat jam yang bertengger tampan di tangan gue. Terhitung udah hampir sepuluh menit berlalu semenjak bel bunyi, tapi guru kiler ini nyerocos terus gak berhenti-berhenti. Gak ada anak-anak yang berani negor dia. Nanti bernasib sama kek gue tadi. Temen-temen gue juga udah pada lenggut-lenggutan nahan kantuk.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang