39. Kangen

20 2 4
                                    

Ada itik melambai-lambai
Ikan koinya dimakan pulu
Yok sambil santai-santai
Marilah baca-baca dulu

Semoga sukaa^_^
***

Rasa itu banyak variasinya. Yang paling mengerikan adalah rasa bersalah. Yang paling menakutkan adalah kehilangan.~Psyche

Seperti siang dan malam yang diciptakan berpasangan, tapi mereka tak pernah ditakdirkan bersama. Persis, itulah kita.
~Mada Ailean Joana
***

Dua orang bapak megang masing-masing tangan Riri dan menariknya. Walaupun Riri bisa karate, tetap aja dia cewek. Gue menghampiri mereka dengan langkah marah. 

"Den, mau kemana?" kata  Mang Dindin buru-buru ngikutin gue dengan payungnya.

“Ayolah, Cantik, duduk dulu sini sama Om. Ayah kamu ngebolehin, kok.” Gue meninju rahang bapak-bapak yang ngomong barusan sampai badannya membentur meja. Sementara yang satu lagi, gue lepas paksa cengkramannya dari tangan Riri. Tapi, Ayah mana yang dia maksud? Apa mungkin bapak-bapak cuek  yang cuma nontonin dan duduk santai sambil nikmatin kopinya? Dia bapak-bapak yang diajak ngobrol sama Riri tadi. Atau bapak-bapak di seberangnya yang nyaksiin sambil ketawa-tawa?

“Sialan, bocah!” Kalau aja gue bisa berantem, gue habisin mereka satu-satu. Sekarang, bukan itu yang terpenting.

"Ikut gue,” kata gue sambil narik tangannya. Sekilas, rautnya terlihat kaget. 

“Lepasin," tepisnya saat posisi  hampir tiba di mobil. Keras kepala emang. Gue terpaksa ngangkat cewek ini layaknya karung beras. Seperti yang selalu gue lakuin kalau dia gak  mau.

"Mang, bukain.”

Gue meletakkan tubuh Riri dengan susah payah. Terlebih, dia berontak dan badan gue yang tinggi. Gue harus nunduk dan hati-hati supaya gak jatuh. Bisa berabe soalnya kalau gue jatuh. Setelah berhasil,  baru gue duduk di samping dia. Dengan segera, gue minta Mang Dindin kunci pintu sebelum Riri bangun  dari posisinya.  Kalau ngga, doi gue ini pasti bakal kabur. Penasaran, gue mengarahkan pandangan di mana bapak-bapak itu berada. Mereka diam aja. Gue kira bakal ngejar. Aneh, pasalnya tadi mereka marah. Tapi yaudahlah.

"Buka."

Gue menatapnya khawatir. "Lo gak apa-apa?"

"Gue bilang buka."

"Kita ke rumah gue. Ganti dulu baju lo, habis itu gue anterin ke rumah lo."

"Buka sekarang."

Ini cewek bener-bener. Gue meneliti penampilannya sekarang. Baju basah kuyup, rambut basah, dan bibirnya getar. Gimana gue gak cemas, coba?

"Gue gak bakal nanya soal tadi, tapi lo harus ganti baju dulu. Liat kondisi lo sekarang."

Pandangannya dialihkan ke luar jendela.
Tampak jelas sorot kemarahan di  matanya. Tangannya mengepal dan ia seperti nahan tangis. Gue gak tau dia marah karena apa. Entah karena gue bawa paksa atau soal kejadian tadi di warkop. Pengen rasanya gue peluk dan nenangin dia, tapi itu gak mungkin. Emang gue siapanya?

Gue  ngambil jaket di tas, lantas menyelimutinya dengan itu. Dia menoleh kaget dan hendak bicara, tapi gue lebih dulu berbisik di telinganya. "Jangan nolak. Biarin gue perhatian ke elo kali ini aja." Gue menjauhkan badan dan tersenyum padanya karena Beruang Kecil gue gak protes.
Sepanjang  jalan, kami cuma diem-dieman.

"Belok kiri,” kata Riri lama setelah mobil beranjak dari tempatnya.

"Rumah gue kan–"

"Rumah gue."

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang