44. Hanya teman

11 1 2
                                    

Sekeras apapun aku berusaha, aku akan kalah telak bahkan sebelum memulai pertandingan. Bagaimana tidak? Sainganku orang yang dia suka
~Arabella Thalia Putri
***

"Beruang Kecil?" Mada memanggil Riri yang sedang memusatkan matanya ke pemandangan luar. Tak kunjung mendapat respon, ia menghela napas. "Mereka udah minta maaf sama lo?" 

Perhatian gadis bermata kecokelatan itu teralihkan.

"Kakak kelas yang gangguin lo."

Lipatan alisnya hilang, rautnya berubah datar. "Oh, kerjaan lo."

Mada tidak mengetahui apakah lontaran kalimat itu berupa pertanyaan atau pernyataan. Yang pasti, Riri hanya mengucapkannya dengan nada datar.

Mada menggelang. "Gue gak terima lo digituin. Ucapan mereka bener-bener kurang ajar sama lo. Gimana gue bisa tinggal diam?"

"Siapanya gue?"

"Maksudnya?"

"Lo."

Sang lawan bicara tertegun. Riri benar, ia bukan siapa-siapanya. "Gue emang bukan siapa-siapa lo, tapi—"

"Gak butuh simpati lo."

Lelaki berkupluk dengan tulisan MJ di depan itu menggeleng tak setuju. "Gue gak bersimpati. Gue tulus ngelakuin itu buat lo."

Riri berdecih. "Lo bersikap seolah kita punya hubungan."

Kalimat itu menyerang hatinya. Dipandanginya dengan sendu sang gadis.
"Tapi gue sayang sama lo."

"Gue nggak, tuh."

"Bukannya suatu saat itu bakal terjadi?"

"Najis." Riri menghela napas. Mada tau, jika gebetannya seperti itu berarti ia akan berbicara panjang. "Gue ingetin lo sekali lagi, lo bukan siapa-siapa gue, begitu juga sebaliknya. Jadi jangan pernah ikut campur urusan gue. Kehadiran lo cuma bikin gue risih."

"Gue cuma takut lo diapa-apain. Gue marah kalau ada orang yang berani nyakitin lo. Gue cuma ngelindungin lo, Riri, apa itu salah?"

"Ngelindungin? Lo aja selalu gue banting."

Kepala Mada tertunduk selama beberapa saat. "Bisa gak, sih, lo hargain usaha gue sedikit aja?"

"Ngimpi." Riri memutar bola matanya melihat Mada terdiam. "Lo itu gak lebih dari sekedar sampah. Cocoknya dibuang!"

Ucapan menusuk itu terlontar tepat saat Bella mendekati meja Mada. Kepalanya dibuat mendidih. "Heh, cewek gila! Lo kalau gak suka sama dia setidaknya gak usah lo hina-hina."

Riri menatap datar pada sang pembicara,  lantas berlalu begitu saja. Bella mengambil alih tempat Riri tadi. Bisa ia lihat sorot terluka temannya itu. Tiba-tiba saja, Mada mencondongkan kepalanya ke bahu Bella membuat sang empu terkesiap. 

"Sakit, Bel," cicitnya parau.

Kapan, sih, lo bisa liat gue?—batin Bella

Bella mengangkat kedua tangannya dengan ragu. Ia mengelus punggung orang yang bersandar tanpa seizinnya itu lembut untuk memberinya ketenangan. "Makanya lo cari cewek lain."

Mada menggeleng. "Gak bisa, gue gak bisa."

"Lo bisa, Mad. Banyak yang mau sama lo."

Termasuk gue

"Tapi gue maunya dia."

"Tapi cinta tuh gak bisa dipaksain. Sadar gak, sih, pemaksaan cinta lo itu cuma bikin dia risih dan ilfil."

"Bisa! Dia pasti bisa jatuh cinta sama gue, suatu saat nanti."

"Ya kapan? Gak capek apa lo?"

Mada mengangkat wajahnya. Sorot terlukanya itu jelas terlihat membuat Bella berpikir, sebesar itukah cintanya untuk Riri?  Kalau saja ia memiliki kesempatan untuk mengajukan satu permohonan, ia akan meminta cinta Mada untuknya ... walau tak lama. Ia ingin menjadi Riri walau sebentar saja. Ia ingin merasakan seperti apa rasanya dicintai oleh orang yang ia cintai. Jika Bella bisa memilih, hatinya tak akan ia labuhkan pada seseorang yang sudah mencintai orang lain. Sebelum bertanding pun akhir kisahnya sudah tertebak. Sudah tentu ia kalah telak. Namun ini di luar kendalinya. Ia bisa apa selain menerima dan bersembunyi di balik kedok pertemanan.

"Gue ganteng 'kan?" Mada tiba-tiba bertanya.

"Iya, lo ganteng. Tapi ganteng aja gak cukup."

Mada mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali seakan memahami sesuatu. "Gue cuma kurang pinter. Dia pasti ilfil karena gue bego." Ekspresi lelaki berlesung pipit itu berubah semringah. "Mulai sekarang gue bakal lebih giat belajar."

Bella memutar bola matanya jengah. Sungguh, Mada benar-benar keras kepala. Entah apa yang dilakukan Riri hingga membuat Mada bisa jatuh cinta sedalam ini kepadanya. Ia heran. Andai saja ... andaikan saja dirinya yang berada di hati Mada. Andai saja Mada menyukainya juga. Ia pasti akan menjadi orang paling bahagia di dunia. Semua usaha yang ia lakukan rasanya sia-sia. Perhatian padanya, memberikannya sesuatu, mengirimi pesan, menelponnya, bahkan ia rela memberikan contekkan yang tak pernah ia kasih kepada orang lain. Bella pantang memberikan contekan, sekalipun itu ke teman dekatnya sendiri. Mada sangat istimewa baginya. Ia harus berbuat apalagi? Rasanya sudah buntu sekarang.

Perasaan lo buat gue cuma khayalan.

"Bella."

Bella tersentak dari lamunnya.

"A-ap-apa." Selekat itu Mada memandangnya membuat ia gugup sendiri.

"Bantu gue, ya?"

"Bantu apa?"

"Bikin gue jadi pinter." Mada tersenyum lebar sehingga nampak dua lesung di pipinya. Bella tak bisa menahan napas. Sedekat ini. Ia melihat wajah Mada sejelas ini. Pipinya seketika terasa hangat. Kondisi jantungnya, tak usah ditanya lagi. Sebentar lagi rasanya mau meledak. Menurutnya, Mada manis sekali.

"Gak usah senyum," ketusnya. Ia berusaha menyembunyikan reaksi tubuhnya itu.

Mada mengangkat sebelah alisnya heran. "Kenapa, sih? Masa senyum doang gak boleh?"

Lo bikin jantung gue dangdutan.

"Minggir, gue mau ke Gladys," alibinya.

"Yah, kok elo pergi, Bel. Gue belum selesai ngomong." Mada hanya memandang kepergian temannya itu dengan lesu. Tak lama, ia melebarkan bibirnya. Wajah Riri muncul di otaknya. Terbayang pula rencana-rencana yang akan ia lakukan untuk membuat dirinya lebih baik. Belajar, aktif di kelas, membaca buku, mempelajari mapel yang ia benci, dan lain-lain. Mada punya dua motivasi; motor dan membuat Riri menyukainya. (baca lagi part 42 kalo lupa)

Tiba-tiba musik pembangkit semangat reformasi berputar di kepalanya. Teterett teteteterett... Ia menatap ke depan dengan penuh tekad sambil bilang, "Gue, si anak bontot Papa Joan mulai sekarang bakal jadi orang yang rajin."

Buku LKS bahasa Indonesia di meja mendesis dan bersiul manja. Nuraninya tergoda dan meminta Mada membuka buku itu dan mulai belajar. Instrumen motivasi masih menggema mendukung keinginan nurani. Sayangnya setiap niat baik pasti ada setan yang terselip. Dia muncul menabur bubuk rasa malas dan hasrat menunda-nunda. Instrumen semangat itupun hilang seketika.

"Mulainya besok aja, deh, nanggung. Hari ini gue mau bermalas-malasan untuk yang terakhir kalinya."

***

Bersambung

Siapa yg sering kaya Mada🤫Aku aku aku😭Emang sesulit itu perang sama diri sendiri. Eee..malah curhat:v
Btw gimana pendapatmu di part kali ini? Votenya janlupp. See you next chapter🙌

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang