Pantesan sakit. Namanya juga jatuh cinta, bukan bangun cinta
~Mada Ailean Joana***
Setelah dari toilet, gue gak langsung ke kelas. Tujuan gue satu, nyari doi. Biasanya dia di taman belakang sekolah.
Kayaknya akan sedikit sulit buat gue tau tentang Riri. Dia begitu tertutup dan mengunci dirinya rapat-rapat, tak membiarkan orang lain masuk. Gue harus gimana buat bikin dia nyaman sama gue? Sepanjang yang gue amati, dia seperti merasa terganggu sama kehadiran gue. Tapi gue gak mau menjauh. Gue bertekad akan terus di sampingnya sampai kapanpun. Walaupun gue harus rela kalau sewaktu-waktu jadi sasaran pukulnya.
Dia itu lucu
Unik
Imut
Dingin
Meski begitu entah kenapa gue suka. Yang paling penting Beruang Kecil gue memiliki sedikit kemiripan sama 'dia'. Ya, dia, orang yang sampai sekarang gak bisa gue lupain.
Bagian dari dirinya yang paling bikin gue lemah, matanya. Gue suka matanya yang coklat, mata yang selalu berhasil bikin jantung gue berdegup gak karuan saat menatapnya. Apa gue udah suka sama cewek itu? Apa posisi 'dia' sudah tergantikan sama Riri? Secepat ini? Kalau dipikir lagi Riri gak pernah ngapa-ngapain gue. Justru gue yang ngapa-ngapain dia. Jailin dia, nyari masalah, dan bikin dia kesel. Malah gue yang jatuh ke perangkap sendiri. Jangan-jangan ini tuh karma, ya?
Sejak waktu gue melihat senyum yang di baliknya ada ketulusan di sana--walau dengan mata terpejam--gue menyadari satu hal.
Gue jatuh cinta sama dia.
Oke, ini emang gila. Kenyataan yang gue sanggah selama ini. Dia orang kedua yang berhasil bikin gue rela melakukan apapun setelah cewek sebelumnya.
Perasaan ingin memilikinya, membahagiakannya, dan terus di sampingnya membuat gue semakin yakin kalau gue emang beneran udah jatuh cinta sama dia. Cinta yang lama gak gue rasakan terakhir kali sejak 'dia' ninggalin gue. Gue gak nyangka secepat ini Riri nerobos ke hati gue dan bertahta di sana. Riri Syafira ... hihi ... namanya lucu kayak orangnya.
"Tuhkan bener. Lo di sini," kata gue setelah tiba di depannya. Riri ada di halaman belakang sekolah.
Mendengar suara gue, Riri mengangkat kepalanya dan berdecak. Gue ganggu lagi?
Gue duduk di sampingnya. Rasanya nyaman banget. Bukan karena kursinya tapi karena ada Beruang Kecil gue. Lucu ya? Gue bicara seolah-olah dia jadi milik gue. Gue gak peduli. Gue nyaman manggil dia gitu. Gemes banget.
"Lo udah makan?"
Gak dijawab lagi. Apa dia emang bisu atau gimana sih. Lama-lama gue kesel juga. Sabar, sabar.
"Lo laper gak? Lo haus?"
Dia mengalihkan pandangannya dari buku. "Lo aneh."
"Aneh gimana?"
"Gak jail."
Darah gue berdesir mendengarnya. Dia suka gue jailin? Jangan-jangan ...
"Lo mau gue jailin lo?" tanya gue sambil tersenyum lebar.
"Cih."
Gue tertegun sesaat. "Hehe, gue libur dulu lagi males."
"Pergi," usirnya tiba-tiba.
"Lo ngusir gue lagi? Gue gak bakal ngapa-ngapain, sumpah."
Gue cuman gak mau lo kesepian. Apa lo ngerasa seterganggu itu sama gue? Shit, jantung gue tiba-tiba ditusuk jarum.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR DULU, YA.] "Semua pemberian lo itu bikin gue jijik, jadi gak usah ngasih-ngasih lagi! Jijik ya? Kapan sih dia bisa lihat gue sebagai manusia, bukan lagi bakteri? *** "Asal lo tau, lo itu sampah, cocoknya dibuang!" Lagi-lagi dia pergi...