9. Ibu-ibu Arisan

23 5 6
                                    

Ehem cek. Tok tok tok.

Hai, readers. Aku datang lagi👻
Seperti biasa klik bintang dulu sebelum membaca. Yuk, bisa, yuk tinggalkan jejak dulu. Karena aku kelamaan ngilangnya, jadi part kali ini panjaaaang banget. Seneng kan klean? Ehehe, senengin ajalah. Oke langsung aja, cus ...

Selamat membaca;)

***

Masih dalam posisi telentang, kepala gue bergerak ke samping, dan melirik jam di nakas. Baru pukul delapan pagi. Gue terduduk dan bengong, masih berusaha ngumpulin nyawa. Hoam. Ngantuk banget. Untung sekarang libur, jadi aman-aman aja kalau bangun kesiangan.

Gue turun ke bawah. Kondisi rumah sepi. Kucing gue kemana, btw? Pagi-pagi gak keliatan. Gue mengarahkan langkah ke dapur. Terlihat Mamah dan Bi Inah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Mamah sedang membelakangi gue, seperti lagi ngoseng sesuatu. Sementara itu Bi Inah memotong tempe. Di meja makan ada berbagai makanan enak yang tersaji.

Gue mengambil tempat duduk di kursi ujung kiri yang dekat dengan posisi Mamah. "Wuih, ada makanan nih." Gue hendak menyomot satu.

"Jangan! Itu buat tamu Mamah." Perkataan Mamah membuat gue membatalkan niat. Gue mendesah kecewa. Padahal keliatannya enak. Pada akhirnya gue cuma duduk sambil curi-curi pandang sesekali. Waktu terus berjalan.

Ayo makan kami.

Gue menoleh ke makanan-makanan itu, memandangnya lekat. Padahal makanan di piring itu benda mati, tapi gue merasa seakan mereka bisa bicara.

Nyam-nyam yummi. Enak, loh.

Mereka meledek gue. Bisikan itu yang nyuruh gue makan mereka. Ada risoles sayur kentang, bolu kukus gula merah, pastel, tahu bakso, kue sus buah, pie buah, martabak kentang, sosis solo, dimsum keju, dan beberapa lainnya yang gak gue tau.

Glek

Ya Allah, menggodanya. Tangan gue terangkat tanpa sadar, terarah ke salah satu makanan terdekat. Satu aja gak apa-apa kali. Cuma satu doang kok. Beneran, janji, deh. Mumpung Mamah masih madep belakang. Mah, izin ngambil satu, ya! Hampir dekat. Dikit lagi. Makin dekat. Satu senti lagi ...

"Mada." Panggilan nyokap membuat gue refleks menarik tangan.

Gue tiba-tiba gugup gini. Jangan-jangan Mamah tau? "K-kenapa, Mah?"

"Nggak, sih, cuma manggil aja," jawabnya tanpa noleh. Gue mendengus. Mungkin emang Allah pun nggak ngizinin nyomot tanpa bilang. Yaudahlah gue minta aja sama Mamah nanti. Dia kan sayang sama gue.

"Siapa yang bakal datang, Mah?"

"Temen-temen arisan Mamah."

Itu artinya bentar lagi rumah gue bakal berisik sama ibu-ibu rempong. Malesin.

"Ini Mamah sama Bibi yang buat?"

"Nggak, sebagian ada yang beli."

Gue curi-curi pandang lagi. Huffftt. "Mah, pengen."

"Iya, nanti Mamah hitung dulu. Kalau nyisa buat kamu." Nah, kan, udah gue bilang pasti bakal dikasih. Gue kan anak kesayangan nyokap. Ekekekek.

Gue memperhatikan mereka yang sibuk wara-wiri. Sambil nunggu selesai, gue membuka ponsel yang dari tadi dibawa. Yang gue buka pertama aplikasi berwarna hijau bernama whatsapp. Gak ada chat kecuali dari grup dan beberapa nomor gak dikenal. Terlintas di pikiran buat nge-chat cewek dingin itu. Gue mencari nomornya di grup dan meneliti satu persatu. Gue gak tau yang mana nomornya. Hampir semua yang ada di grup sekontak sama gue kecuali lima nomor. Dua diantaranya terdapat nama dan foto profil, satu nomor tanpa profil tapi disertai nama, sedangkan dua lainnya gak ada nama dan foto. Dua nomor terakhir itulah kemungkinan nomor cewek itu. Mau nge-chat takut salah. Untuk mengatasi masalah ini gue menanyakan ke Bella sebagai admin. Untungnya dia ngasih. Tanpa ngang ngeng ngong, gue mengetikkan deret huruf membentuk kata setelah nge-save nomornya.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang