34. Misi

5 1 0
                                    

Lihat, kan, aku rela jadi orang lain demi memenuhi standarmu
~Mada Ailean Joana
***

Hening, satu kata itu mewakili suasana meja makan yang dihuni Mada sekeluarga. Kedua orang tua serta kakaknya heran melihat tingkah Mada pagi ini. Lelaki yang berstatus sebagai putra bungsu itu berubah 180 derajat. Ia kini merupakan si pendiam berwajah datar. Tak ada ekspresi jahil dan raut ceria yang menghiasi wajahnya. ‘Ada apa dengan Mada?’ kalimat ini kompak menghuni kepala mereka. Mereka saling lirik satu sama lain dan menggeleng seolah mengerti apa yang ada di pikiran masing-masing.

“Mada kenapa?” tanya Nema khawatir.

Mada yang semula fokus pada makanannya, mengangkat kepala dan menoleh kepada sang Ibu. Ia hanya merespon dengan gelengan tanpa ekspresi sebelum akhirnya melanjutkan aktivitas tadi.

“Kalau ada masalah cerita, Nak,” ungkapnya lagi.

“Gak ada, Mah,” timpal Mada lembut. Lelaki berkupluk itu menyuapkan satu sendok terakhir ke mulutnya, lantas ia beranjak menuju wastafel untuk menyimpan piring. Ia menyalami tangan kedua orang tuanya bergantian.

"Mada marah sama Mamah?" tanya Nema saat Mada mencium tangannya. Lagi-lagi, lelaki itu menjawabnya dengan gerakan kepala yang mengayun ke kiri dan kanan. Kemudian, ia melirik Marina yang ternyata juga sedang melihatnya. 

Marina tersentak dengan tatapan Mada yang terkesan dingin. Entah ada apa dengan adiknya itu pagi ini? Jujur ia sedikit khawatir. Ia coba mengingat apa dirinya punya salah sehingga Mada sedingin ini padanya?

"Gue tunggu di luar." Bahkan nada bicaranya pun datar. Tanpa mendengar jawaban apapun, Mada berlalu meninggalkan mereka yang masih terbengong-bengong.

"Mada kenapa, sih?" Nema menoleh ke arah putri sulungnya. "Dia ada masalah?"

Bukan kalimat atau kata yang ia tunjukkan, melainkan gestur tanda tak tau. Adiknya benar-benar janggal. Bisa dibilang, normal tak normal, sih. Eh, tapi gak normal, deng. Selalu ada saja kelakuan Mada yang membuatnya kesal. Adiknya yang selalu bikin emosi itu, kini tak ada lagi. Ada bagusnya juga, hatinya jadi damai. Tapi ia tak suka, benar-benar tak suka. Marina lebih suka Mada-nya jahil, bukan Mada yang pendiam seperti ini.

"Biasa, anak muda mungkin, Mah," ucap Joan membuat istri dan anaknya kompak melihat ke arahnya. Ia terkesiap mendapati tatapan sama yang terpancar dari ekspresi keduanya seolah mengatakan, ‘Masa iya, sampai segitunya.'

***

Di dalam mobil, tak ada percakapan antara kakak beradik itu. Mada yang pendiam, Mada yang dingin … benar-benar mengganggu Marina. Ia harus berbuat sesuatu. Ia akan memancing emosi adiknya itu. Marina melirik kupluk yang bertengger di kepala Mada, lantas merampasnya. Ia menunggu reaksi, namun sang korban bergeming. Perlahan tapi pasti kepala Mada bergerak ke samping dan melemparkan tatapan yang, mmm… horor, dingin, sekaligus tajam. Mada emang terlihat marah, tapi marahnya kali ini beda. Marina malas mengakui ini, tapi, kok, ia merasa takut, sih, sama adiknya itu? Kalau melihat Mada seperti ini, ia jadinya kayak sedang berhadapan dengan sang Papa. Mirip sekali. Walaupun Papanya tak pernah marah, tapi sekalinya marah nyeremin. Ya, kayak orang di depannya ini.

Marina tak boleh memperlihatkan nyalinya yang mengkerut seperti plastik terbakar. Ia segera mengembalikan tanpa berkata apapun. Interaksi keduanya tak luput dari perhatian sang sopir, Mang Dindin. Sesekali ia melihat spion depan. Tak beda dengan keluarganya, ia pun merasakan kejanggalan dari polah anak majikannya itu.

"Lo kenapa, sih?" Karena tak mendapat jawaban, Marina berkata lagi, "Kalau ada masalah cerita, dong."

Mada yang tengah melihat keluar jendela sambil menyilangkan dada, menjawab, "Gak ada." Tanpa Marina tau, ia mengulum senyum menahan geli.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang