41. Pilihan

6 2 2
                                    

Aku tak peduli, sebanyak apapun kamu tuangkan cairan natrium klorida di atas goresan lara yang kamu pahat, aku tak mempermasalahkannya, karena hatiku sudah menentukan pilihan; kamu atau tidak dengan siapapun
~Mada Ailean Joana
***

Tiga hari berlalu seusai kejadian itu. Kondisi gue agak mendingan. Gosip tentang gue pun lama-lama surut. Gue mulai menggeluti ilmu bela diri sama Kak Liam sejak kemarin.

Kelas masih kosong, hanya ada empat makhluk termasuk gue. Gue terlalu semangat sekolah. Penyebabnya, karena mau ngasih sesuatu buat calon pacar gue. Ternyata dia belum dateng. Jangankan Riri, temen-temen gua aja belum nampakin batang hidungnya. Sambil nunggu yang lain, gue main game di ponsel buat ngusir rasa bosan.

"Nih." Ada sebuah tangan yang nyodorin kotak bekal di depan meja gue. Gue ngikutin arah tangan itu dan berakhir di wajah cewek berbando biru laut. Dia Bella. Bibirnya melengkung ke atas. "Buat elo kayak biasa. Kali ini gue cobain resep baru. Kata Bibi, sih, enak. Gue juga mau lo nyobain." Ceria amat kedengerannya.

Gue keluar dari aplikasi dan menyimpan ponsel ke saku. "Gak cape apa lu ngasih gue terus?"

Lengkungan bibirnya seketika lenyap. Binar matanya pun redup. "Lo gak suka?"

"Bukannya gitu, cuman guenya gak enak, Lek, ngerepotin elo."

Kepalanya bergerak cepat ke kiri kanan beberapa kali. "Gue gak repot, sumpah! Malah  seneng bisa ngasih lo sesuatu kok."

"Kenapa?"

Wajahnya berpaling ke arah lain. "Ya karena g-gue temen e-elo lah."

"Cuma sama gue doang?" Gue nunjuk diri sendiri.

Pandangan Bella terpusat lagi ke gue. Lantas, kepalanya terayun ke bawah dan ke atas beberapa kali dengan energi penuh. "Heem, karena lo istimewa."

Alis gue terangkat sebelah. "Apa istimewanya?"

Bella mereaksinya dengan menggerakkan bola mata ke segala arah. "Y-ya gitu deh. Lo gak bakalan ngerti."

"Saran gue, mending lo gak usah sering sering-sering kasih gue sesuatu."

"Ih, kok, gitu?" Bibirnya melengkung ke bawah. "Kalau lo ngerasa gak enak, gak apa-apa, kok. Gue gak merasa terbebani sama sekali."

Seketika ucapan Riko menghantui. Apa bener kata Riko, Bella suka sama gue? Dari tingkahnya selama ini, sih, nunjukin tanda-tanda suka. Gue gak bego. Kalaupun iya, apa alasannya, ya? Apa mungkin karena gue ganteng? Hm...bisa jadi.

"Yaudah, nih, dimakan," ujar Bella. Jantung gue kayak kejedot sesuatu. Dunia di pikiran gue berakhir.

"Eh, serius ini?"

"Lo tadi udah ngangguk."

"Hah? Kapan?"

"Itu tadi, lo ngangguk beberapa kali. Artinya, lo setuju, dong."

"Hah? Jangan...." Ucapan gue menggantung karena sadar akan sesuatu. Ya ampun, pas gue ngelamun, mungkin tanpa sadar kepala gue ngangguk-ngangguk. "Yaudah, deh, makasih."

Tangan gue bersentuhan dengan tutup wadah biru dongker itu dan mau membukanya. Tapi, pendengaran gue nangkap suara langkah. Otak dan hati gue bekerja sama. Ngasih perintah supaya gue ngangkat kepala. Bener aja, ada sosok cewek berkuncir kuda dengan wajah datar khasnya. Cewek yang selama ini gue taksir.

"Morning, calon pacar," sapa gue cerah, secerah gigi emas terkena cahaya. Mata gue ngikutin sampai dia duduk di bangkunya. Cukup lama nunggu, gak ada suara, gak ada sapaan. Jangankan nyapa, dia liat gue aja kagak. Kapan, sih, dia bisa lirik gue yang ganteng ini? Hiks.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang