29. Perlindungan

21 2 8
                                    

Biarkan aku melindungimu dengan caraku
~Mada Ailean Joana
***

"Izin masuk, Bu."

Riri melangkah setelah mendapatkan izin guru. Tapi gue merasa ada yang beda. Entah cuma perasaan gue atau bukan. Langkahnya terlihat berat dan kaki kanannya agak digusur. Dia berjalan dengan terpincang-pincang.
Kenapa gak ada yang nyadar? Bahkan guru itu sekalipun. Mungkin karena mereka lagi fokus. Atau mungkin ada yang nyadar selain gue, tapi mereka acuh? Entahlah.

Riri kenapa lagi, sih? Hobi amat bikin gue cemas. Heran.

"Lo kenapa?" tanya gue setelah dia duduk di bangkunya.

"Gak papa."

"Jalan lo aneh."

Gue merhatiin wajahnya lebih rinci. Dagu kanan bagian bawahnya, kayak luka. "Lo kenapa?"

"...."

Gue memutar bola mata karena lagi-lagi Riri gak jawab. Sabar, sabar, anaknya Mamah Markonah gak boleh emosian, nanti gantengnya ilang. Percuma juga gue tanya sampe kiamat gak bakalan dijawab. Nanti pas istirahat gue urus tanpa banyak bacot. Gue mutusin buat merhatiin guru yang lagi menjelaskan, walaupun males sebenarnya.

"Jangan lupa PR-nya kerjakan. Dikumpulkan di pertemuan selanjutnya. Ibu pamit. Assalamu'alaikum."

Guru itu keluar. Mata gue terus mengikutinya hingga sosoknya tak terlihat lagi.

"Sss." Perhatian gue teralihkan mendengar suara seperti ringisan kesakitan.

"Tuh, kan, lo kenapa-napa," ungkap gue khawatir. Gue gak sengaja liat sikutnya mengeluarkan darah. "Ya ampun, luka lo ... ayo kita ke UKS sekarang!"

"Gak usah."

"Beruang Kecil," panggil gue serius. Gue merasa nada bicara gue terdengar dingin. Tapi itu gak bisa ngalahin sikap doi ke gue.

"Gak usah sok peduli."

"Terserah lo mau mikir apa. Kita ke UKS sekarang."

"Gak mau." Dasar bedegong!¹

"Lo ikut gue secara baik-baik, atau gue gendong lo paksa." Ancaman gue gak main-main.

Cewek yang gue suka itu melewati bangku belakang gue dengan langkah yang sama seperti tadi.

Baru dua langkah, gue buru-buru menegakkan badan, lantas menggendongnya ala karung beras. "Ck. Lama."

Gue merasakan pukulan-pukulan bertubi-tubi di punggung. Tapi itu gak ngefek, karena gue gak merasakan sakit sama sekali. Suruh siapa badannya ringan, kan gue jadi gampang nyulik lo.

"Lepasin gue, sialan!"

"Woy, itu anak orang lo culik." Suara Atang terdengar saat gue ngelewatin pintu.

"Lo mau kemana?"

"Woy, kampret!!"

Gue mengabaikan serua-seruan yang dilontarkan temen-temen gue. Sepanjang jalan menuju UKS, gue mendengar teriakan-teriakan siswi lain. Keberadaan gue dan Riri yang mencolok, menjadikan kami sebagai fokus bola mata mereka. Bodo amat!

Gue terpaksa ngelakuin ini karena cewek ini keras kepala. Gue gak mau lukanya infeksi. Gak salah kan? Gue emang lebay, tapi ... gue mau ngelindungin dia dengan cara gue sendiri.

***

Plak!

Tamparan keras mendarat tepat setelah gue nurunin dia di dalam UKS.

Gue gak mempedulikan tamparan yang barusan ia layangkan. Sakit, sih, tapi itu bukan masalah. Riri jauh lebih penting daripada rasa sakit yang gue rasakan di pipi kanan ini.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang