Meski kamu menusukku berkali-kali, mengapa membencimu rasanya sulit sekali?
~Mada Ailean Joana
***Pagi hari yang dingin, sedingin perasaan dia ke gue. Sekolah lumayan sepi. Hanya ada segelintir murid yang datang di jam segini. Gue salah satu dari mereka.
"Oy, Nin." Gue nyapa Nino. Cowok yang gue sapa mengalihkan pandangannya dari ponsel, melihat gue. Dia membalasnya dengan senyum doang dan ngelanjutin kegiatannya. Serius amat.
Atang, Asep, dan Riko belum datang. Setelah Nino, gue adalah orang yang paling rajin diantara mereka. Gue juga gak tau kenapa tapi semenjak gue ngakuin perasaan itu sama diri sendiri, rasanya gue lebih bersemangat buat sekolah. Tentunya buat ketemu ayang. Ehehehe.
Gue berjalan menuju bangku. Tas Riri udah nangkring di tempatnya. Cuman tasnya doang, orangnya gak ada samsek. Kemana, ya, kira-kira? Gue punya sesuatu, nih, buat doi.
Gue menarik satu kesimpulan mengenai keberadaannya sekarang mengetahui kebiasaannya itu. Halaman belakang sekolah. Ya, dia pasti ada di sana.
Gak ada.
Itulah kebenaran yang gue tau setelah mengeceknya. Riri kemana, sih? Mungkin di perpus. Gue cepet-cepet nemuin dia karena gak sabar pengen ngasih sesuatu. Dia pasti suka pemberian gue kali ini ... aamiin. Do'ain gue, ye. Semoga sogokan kali ini manjur, Ya Allah.
Gak ada juga. Area perpus dari ujung ke ujung sudah terjelajahi, tapi batang dengkulnya masih gak keliatan.
Tuhkan gue khawatir. Gue merasa de javu sama situasi ini. Terakhir kali gue nemuin dia dalam keadaan gak sehat. Apa Riri sakit lagi? UKS menjadi pilihan gue kali ini. Semoga gak kenapa-napa. Setibanya di UKS, bukan cewek yang gue harepin ada di sana, tapi jurig--eh, canda, deng--gak ada siapa-siapa.
Gue menggusur langkah dengan gontai dan tak tau arah. Oh Tuhan, dimanakah Beruang Kecilku. Njirlah, lebay amat gue. Nanti aja, deh, pas ketemu. Padahal gue pengen tau reaksinya--walau udah ketebak, sih, bakal kayak apa--tapi gue harus tetap optimis, karena kunci keberhasilan adalah keyakinan.
Mending ke taman sekolah aja, ngadem pagi-pagi keknya enak, tuh. Dari kejauhan gue liat ada siluet mirip Riri lagi duduk di gazebo. Gue memperhatikan sambil terus mendekati. Ketika jarak kami semakin dekat, bisa gue liat jelas kalau itu memanglah cewek yang bikin gue muterin sekolahan pagi-pagi.
Kayaknya dia belum nyadar sama kedatangan gue. Pandangan matanya kosong menatap ke depan dengan kepala yang di senderkan di tihang gazebo.
Mungkin karena masih sepi dan gak ada siapa-siapa, dia mau duduk di sini. Riri kan gak suka keramaian. Ada yang beda dari dirinya. Buku yang selalu dibawa kemana-mana gak terlihat wujudnya kali ini. Headset-nya pun gak tertancap di telinga. Tumben.
Pagi-pagi ngelamun sampe gak sadar gue di depannya
"Pindah lapak, Neng. Gak lagi jadi penunggu halaman belakang sekolah?"
Gesturnya menunjukkan keterkejutan akibat suara gue. Matanya mengarah ke atas, melihat gue yang masih dalam posisi berdiri. Gue duduk di sampingnya diikuti pergerakan matanya. Ia berdecak dan mendelik.
"Pagi-pagi ngelamun. Nanti kalau elo kesurupan gue gak mau tanggung jawab."
"Hm."
"Kosakata lo cuman itu, ya?"
"Hm."
"Mau gue ajarin kosakata baru, gak?"
"Gak."
"Mageran amat, sih, lu."
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHE
Teen Fiction[FOLLOW AUTHOR DULU, YA.] "Semua pemberian lo itu bikin gue jijik, jadi gak usah ngasih-ngasih lagi! Jijik ya? Kapan sih dia bisa lihat gue sebagai manusia, bukan lagi bakteri? *** "Asal lo tau, lo itu sampah, cocoknya dibuang!" Lagi-lagi dia pergi...